Oleh Dian Marta Wijayanti SPd
Penulis adalah Guru SDN Sampangan 01 UPTD Gajahmungkur Kota Semarang
Dampak negatif sekolah gratis di Indonesia jarang sekali dipahami insan pendidikan di Indonesia. Padahal, mereka sering membahas dampak sekolah gratis, sekolah gratis di Indonesia, pengertian sekolah gratis, artikel sekolah gratis, makalah sekolah gratis sekolah gratis di Indonesia 2015, bahkan kumpulan makalah sekolah gratis dan juga sekolah gratis ke luar negeri. Lalu, apa sebenarnya dampak negatif sekolah gratis?
Euforia “sekolah gratis” telah menyatu di hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi di beberapa sekolah banyak terpampang slogan “Sekolah Gratis”. Hal itu semakin menguatkan anggapan bahwa pendanaan pendidikan sepenuhnya menjadi beban pemerintah. Tapi, benarkah demikian?
Perlu diketahui bahwa keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama. Tidak hanya pemerintah, namun masyarakat juga memiliki kewajiban dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Seperti yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab XIII pasal 46 ayat 1 bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat”. Artinya, sinergi antara pemerintah dan masyarakat sangat penting. Pemerintah dan masyarakat bukanlah puing yang mampu berdiri sendiri, melainkan harus bersatu untuk mendapatkan hasil maksimal.
Salah Tafsir
Adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejak bulan Juli 2005 menimbulkan kesalahpahaman wali murid. Banyak wali murid beranggapan pengertian “gratis” di sini adalah ketiadaan pengeluaran biaya sama sekali untuk keperluan pendidikan anak. Padahal, pengertian BOS adalah program pemerintah untuk pendanaan biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Tujuan BOS yaitu untuk (1) membebaskan pungutan bagi seluruh peserta didik SD/SDLB negeri dan SMP/SMPLB/SD-SMP Satap/SMPT negeri terhadap biaya operasional sekolah; (2) membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pengutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta; (3) meringankan beban biaya operasi sekolah bagi peserta didik di sekolah swasta.
Keberadaan BOS memang banyak membantu penyelenggaraan pendidikan khususnya bagi peserta didik yang kurang mampu. Jika sebelumnya banyak anak “putus sekolah” karena tidak mampu membayar sekolah. Setelah adanya BOS, anak dari keluarga kurang mampu pun bisa merasakan bangku pendidikan. Namun yang menjadi permasalahan di sini adalah “salah tafsir” masyarakat terhadap pengertian sekolah gratis.
Pengertian sekolah gratis harus disikapi dengan cerdas. Kebijakan pemerintah memang tidak memperkenankan sekolah menarik iuran secara “paksa”. Tapi dengan adanya transparansi antara pihak sekolah dengan masyarakat (wali murid) terhadap pendanaan sekolah, tentu akan menjadi pertimbangan lain jika secara suka rela wali murid berpartisipasi dalam membantu pendanaan pendidikan.
Banyaknya fasilitas sekolah seperti laboratorium, komputer, lapangan olahraga, mushola, LCD, peralatan ekstrakurikuler dan berbagai sarana prasarana (sarpras) lainnya tidak mungkin sepenuhnya dapat dibiayai dari BOS. Maka dari itu, sangat disayangkan jika masyarakat menyerahkan seluruh biaya pendidikan kepada pemerintah. Sebagai bagian dari kunci keberhasilan pendidikan, masyarakat memiliki peran penting dalam hal ini. Mengingat untuk kepentingan bersama, partisipasi masyarakat sangat din anti oleh pihak sekolah.
Fenomena banyaknya sekolah dengan sarpras serba terbatas dan pengurangan kegiatan ekstrakurikuler merupakan efek kurangnya kesadaran masyarakat dalam membantu menyukseskan pendidikan nasional. Selama ini, banyak sekolah yang mengurangi kegiatan ekstra karena tidak mampu membayar honor pelatih dari luar. Ada pula yang beralasan kurangnya sarpras sehingga kurang mampu menunjang pengembangan potensi siswa. Hal ini sangat disayangkan jika yang menjadi akar permasalahan adalah “biaya”.
Di lain sisi, beberapa wali murid tidak dapat bekerja sama dengan baik. Karena muncul istilah “sekolah gratis”, mereka tidak mau ikut memperhatikan perkembangan dan kebutuhan anak. Mereka beranggapan kebutuhan anak “cukup” menjadi tanggung jawab sekolah. Apapun yang diberikan sekolah, itulah kebutuhan anak. Tanpa memperhatikan dan mempertanyakan, orang tua “pasrah bongkokan” terhadap sekolah.
Kondisi ini tentu mempengaruhi hasil belajar siswa. Jika dulu wali murid bisa mengatakan “Belajar yang rajin ya Nak, Bapak Ibu bekerja keras untuk membayar sekolahmu”. Tapi karena sekarang sekolah gratis, orang tua banyak yang tidak mempedulikan gaya belajar anak.
Kerja sama
Kerja sama antara pihak sekolah dengan masyarakat perlu ditingkatkan. Dengan adanya kerja sama, sekolah bisa menyampaikan kebutuhan siswa selama pembelajaran. Selain itu, sekolah secara transparan juga bisa menyampaikan batas kemampuan yang dapat dilakukan untuk menunjang keberhasilan siswa. Dengan adanya keterbukaan pihak sekolah dan masyarakat yang ditengahi oleh komite, sekolah dapat mengambil solusi bersama. Jika wali murid berkenan, maka adanya sumbangan “suka rela” dapat menjadi alternatif solusi untuk memperbaiki kondisi yang belum maksimal.
Transparansi seperti ini sangat penting untuk dilakukan. Jangan sampai masyarakat salah sangka terhadap sekolah. Sekolah tidak pernah memaksa wali murid untuk membayar iuran sekolah. Hanya wali murid yang mampu serta berkenanlah yang diharap partisipasinya untuk membantu sekolah dalam mewujudkan harapan anak didik.
Sebagus apapun program pemerintah tanpa adanya dukungan masyarakat maka tidak akan terlaksana dengan baik. Mengingat sampai sekarang memang pemerintah kita belum mampu membiayai seluruh biaya pendidikan secara maksimal, maka turun tangan masyarakat menjadi dambaan. “Janganlah menanyakan apa yang sudah diberikan pemerintah kepada kita? Tapi, apa yang sudah dapat kita berikan kepada pemerintah?”
