Kakeanem, Ekpsresi Kemarahan Khas Bahasa Orang Pati

0


Oleh Hamidulloh Ibda
Penulis lahir di Pati dan peneliti Bahasa Indonesia di Pascasarjana Unnes
Kakeanem adalah ekpsresi kemarahan khas bahasa orang Pati Jawa Tengah. Secara sepintas, terlihat kasar, namun sebenarnya ada katarsis sendiri dalam idiomatik bahasa khas Kabupaten Pati ini. Idiom kakeanem, kakeane, atau ada yang menulis kakekanem, merupakan idiom marah, ekspresi kesal terhadap sesuatu yang tidak pas di hati dan pikiran, terutama bagi warga Pati.
Dalam kajian linguistik, saya memahami kakeanem sebagai salah satu variasi bahasa khas Pati, meskipun sebagian daerah kalau marah juga memakai kakeanem. Akan tetapi, idiom kakeanem paling banyak dijumpai di Kabupaten Pati. Unik, aneh, dan kadang juga lucu ketika mendengar orang Pati bilang kakeanem.
Bahasa khas Pati, dialek khas Pati, memang unik. Kata-kata seperti leh, go, a, motorem, bahkan kakenam menjadi bahasa khas Pati yang tidak dimiliki daerah lain di Jawa Tengah. Terlihat medok, namun menjadi ciri khas warga Pati yang unik dan bahkan menjadi ungkapan budaya yang nilainya tinggi.
Seperti contoh, “kakenam, kuwe ninggal konconem dewe leh, atau kakeanem kuwe, pacare konconem dewe dok embat leh” dan sebagainya. Kakenam di sini, adalah ungkapan kemarahan yang muncul sebagai idiom budaya khas Pati. Lalu pertanyaannya, boleh tidak mengucapkan kakenam? 
Makna Kakeanem
Kakeanem, secara struktur bahasa berarti “kakekmu”. Artinya, itu menunjuk pada sesuatu yang dekat dengan kita, yaitu kakek. Bahasa lain juga demikian, seperti mbahem, pakanem, adinem, kanganem, bojonem, buyutem dan sebagainya. Jadi secara struktur bahasa, kakeanem itu tidak kasar, karena sama seperti bapakem, ibumen, adinem dan sebagainya. 
Akibat disepakati sebagai bahasa kasar, maka lahirlah pengetahuan dan kesepakatan masyarakat Pati bahwa “kakeanem” itu kasar. Padahal kalau bilang adinem, kanganem, ibunem tidak kasar. Jadi sangat lucu ketika kakeanem dikatakan sebagai bahasa kasar.
Dalam percakapan sehari-hari, di Pati dan eks Karesidenan Pati (Pati, Jepara, Kudus, Grobogan, Rembang, Blora) pasti kita sering mendengar bahkan mengucapkan “kakeanem” sebagai ekspresi marah kepada perbuatan atau orang jahat. Kalau di Jawa Tengah selain eks Karesidenan Pati, mengucapkan kakeanem adalah “kekeamu” dan sebagainya.
Banyak warga Pati memaknai kakeanem sebagai bahasa kasar dan kurang bahkan tidak sopan diucapkan. Padahal kakeanem adalah ekspresi marah dan kakeanem budaya untuk melawan kejahatan. Jadi, kakeanem di sini justru digunakan untuk memerangi kejahatan atau perbuatan jahat. Kalau kata-kata, diungkapkan untuk memerangi kejahatan, apakah itu kalimat buruk? Anda pasti bisa menyimpulkannya sendiri.
Idiom untuk mengungkapkan kemarahan yang senada dengan kakeanem sangat lah banyak. Di Pati sendiri, ada mataem, lambeem, ndasem, utekem, pikiranem dan sebagainya. Sedangkan bahasa lain seperti jancuk, dobol, asu, cukimai, fuck you, mother fuck dan sebagainya.
Kalau menurut Emha Ainun Nadjib (2014), kata-kata seperti cukimai, jancuk, diucapkan karena menunjuk pada yang paling dasar kepada harga diri manusia. Jancuk adalah reaksi, protes, kemarahan, atas perbuatan jahat. Jadi kalau ada perbuatan jahat, maka dia bilang jancuuuuk!
Jancuk, mother fuck, kakeanem, itu semua diucapkan dan muncul sebagai idiom budaya, karena kemurnian manusia selalu bereaksi terhadap perbuatan jahat. Jadi tidak ada kakeanem, diucapkan untuk perbuatan jahat, justru protes terhadap kejahatan. Baik atau tidak? Tentu baik. Jadi di sini, jamaah kakeanem adalah sekumpulan orang yang melawan perbuatan jahat. 
Namun permasalahannya, jancuk sudah populer daripada kakeanem. Sebab, ada dua orang yang rajin mempromosikan bahasa itu, mereka seperti Sujiwo Tedjo dan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun. Pertanyaanya, kakeanem belum dikenal luas dan bisa go nasional. Padahal jumlah masyarakat Pati yang merantau baik di dalam maupun luar negeri juga lumayan banyak.
Digunakan atau Tidak?
Ilmu sosiolinguistik mengajarkan kepada masyarakat bahasa agar menggunakan bahasa sesuai konteks, baik mitra tutur, waktu, tempat, dan kondisi saat berbahasa. Bahasa baik pun, akan menjadi kasar dan berbahaya ketika diucapkan salah konteks dan tidak tepat waktunya. Misalnya, adik teman kita mati, saat mendengar kabar itu, kita terus bilang di hadapan teman kita “alhamdulillah, adikmu mati”. Ungkakan tersebut tentu salah. Alhamdulillah itu kalimat thayyibah, tapi jika salah mengucapkannya juga menjadi salah dan berbahaya.
Sama seperti kakeanem, menjadi salah ketika kita mengucapkan kepada orang tua atau orang yang di atas kita. Namun akan tepat, jika diucapkan untuk melawan kejahatan. Misalnya, “kakeane polisi kae, dalane durung bener, tapi nilang-nilang wong terus”.
Kata kakeanem digunakan atau tidak, itu sesuai konteks. Hakikat kakeanem hanya kata-kata seperti air yang mau dibuat apa, bergantung pemakai bahasa tersebut. Kakeanem hanyalah alat untuk mengekspresikan kemarahan warga Pati dan sekitarnya terhadap perbuatan jahat. Sebab, hakikat kakeanem sama seperti bapakem, adinem, masem, mbakyunem dan sebagianya. Tidak ada ukuran baik dan buruk bagi kata kakeanem jika diucapkan sesuai konteks.
Jika Anda sebagai warga Pati tidak memahami konteks atau diglosia bahasa “kakeanem”, maka akan sangat bahaya jika Anda mengucapkan kakeanem tidak tepat sasaran. Jika tidak tepat sasaran, ngawur dan ngalor-ngidul misuh-misuh karepe dewe, itu namanya KAKEANEM.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here