Oleh Dr. Ahmad Sudiro, S.H., M.H., M.M
Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara – Jakarta.
A. Pendahuluan
Pertemuan menteri ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk mengembangkan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang merupakan panduan untuk terwujudnya AEC. Declaration on ASEAN Economic Community Blueprint, ditandatangani pada tanggal 20 November 2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang disepakati dengan target waktu yang terbagi dalam empat fase yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013 dan 2014-2015. Penandatanganan AEC Blueprint dilakukan bersamaan dengan penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam blueprint tersebut.
Dalam AEC Blueprint memuat empat kerangka utama, yaitu:
1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas;
2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce;
3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, serta prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara Cambodia, Myanmar, Laos, Vietnam (CMLV); dan
4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Untuk mewujudkan AEC pada akhir tahun 2015, seluruh negara ASEAN harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas, sebagaimana digariskan dalam AEC Blueprint.
Salah satu elemen penting dalam pembentukan ASEAN sebagai pasar tunggal, adalah dalam konteks arus bebas jasa. Liberalisasi jasa bertujuan untuk menghilangkan hambatan penyediaan jasa di antara negara-negara ASEAN yang dilakukan melalui mekanisme yang diatur dalam ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS). Persetujuan AFAS antara negara-negara ASEAN di bidang jasa bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kerjasama diantara negara anggota di bidang jasa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing, diversifikasi kapasitas produksi dan pasokan serta distribusi jasa dari para pemasok jasa masing-masing negara anggota baik di dalam ASEAN maupun di luar ASEAN;
2.Menghapuskan secara signifikan hambatan-hambatan perdagangan jasa diantara negara anggota; dan
3.Meliberalisasikan perdagangan jasa dengan memperdalam tingkat dan cakupan liberalisasi melebihi liberalisasi jasa dalam GATTS dalam mewujudkan perdagangan bebas di bidang jasa.
Sejak disepakatinya AFAS pada tahun 1995, liberalisasi jasa dilakukan melalui negosiasi di tingkat Coordinating Committee on Services (CCS) dalam bentuk paket-paket komitmen, yang sampai saat ini telah disepakati 7 (tujuh) paket komitmen AFAS. Khusus untuk jasa keuangan dan transportasi udara negosiasi dilakukan di tingkat menteri terkait. Dalam liberalisasi jasa tidak diperkenankan adanya tindakan mundur dari suatu komitmen yang telah disepakati. Liberalisasi jasa dilakukan dengan pengurangan atau penghapusan hambatan dalam 4 (empat) modes of supply, baik untuk Horizontal Commitment maupun National Treatment, sebagai berikut:
1.Mode 1 (cross-border supply), yaitu jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada pengguna jasa dalam negeri;
2.Mode 2 (consumption abroad), yaitu jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada konsumen domestik yang sedang berada di negara penyedia jasa;
3.Mode 3 (commercial presence), yaitu jasa yang diberikan oleh penyedia jasa luar negeri kepada konsumen di negara konsumen;
4.Mode 4 (movement of individual service providers), yaitu tenaga kerja asing yang menyediakan keahlian tertentu dan datang ke negara konsumen.
Pada dasarnya liberalisasi jasa adalah menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa yang terkait dengan pembukaan akses pasar (market access) dan penerapan perlakuan nasional (national treatment) untuk setiap mode of supply di atas. Hambatan yang mempengaruhi akses pasar yaitu pembatasan dalam jumlah penyedia jasa, volume transaksi, jumlah operator, jumlah tenaga kerja, bentuk hukum dan kepemilikan modal asing. Sedangkan hambatan dalam perlakuan nasional dapat berbentuk peraturan yang dianggap diskriminatif untuk persyaratan pajak, kewarganegaraan, jangka waktu menetap, perizinan, standarisasi dan kualifikasi, kewajiban pendaftaran serta batasan kepemilikan properti dan lahan.
Salah satu jasa yang juga menjadi bagian dari liberalisasi perdagangan jasa dalam AEC 2015 yaitu jasa profesi hukum. Profesi hukum merupakan profesi yang sangat dibutuhkan masyarakat, bangsa, dan negara. Profesi hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Pembinaan dan pengembangan profesi hukum sangat penting dilakukan melalui organisasi lembaga pendidikan tinggi hukum dan/atau perkumpulan tenaga profesional yang menghimpun para akademisi hukum dan praktisi hukum.
Penerapan AEC 2015 secara langsung akan berpengaruh pada profesi hukum di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa liberalisasi jasa juga terjadi di sektor profesional hukum sehingga siap atau tidak siap para profesional hukum di Indonesia akan bersaing/ berkompetisi dengan para profesional hukum dari berbagai negara di ASEAN. Hal ini sesuai liberalisasi jasa dengan melakukan pengurangan atau penghapusan hambatan dalam mode movement of individual service providers, yaitu tenaga kerja asing yang menyediakan keahlian tertentu dan datang ke negara konsumen.
Oleh karena itu diperlukan wadah bagi seluruh profesi hukum guna melakukan upaya yang mengarah pada peningkatan dan pengembangan pembinaan kualitas pendidikan hukum sebagai salah satu bentuk partisipasi organisasi profesi terhadap peningkatan mutu/ kualitas pendidikan tinggi hukum Indonesia sehingga mampu bersaing/ berkompetisi secara global. Bentuk partisipasi profesi hukum ini dihimpun secara terorganisasi melalui suatu wadah perkumpulan yang disebut Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) sebagai organisasi profesional yang menghimpun para akademisi hukum dan praktisi hukum Indonesia. Organisasi profesi ini dimaksudkan sebagai forum komunikasi dan silaturahim antar para akademisi hukum dan praktisi hukum dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pembinaan mutu/ kualitas pendidikan hukum Indonesia sehingga mampu bersaing/ berkompetisi secara global.
Dalam rangka upaya di atas, maka APHI memiliki tantangan untuk turut berperan serta memberikan konstribusi positif dalam menghadapi AEC 2015. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji saat ini sebagai berikut:
1.Bagaimana peran Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dalam pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) Hukum, dan sertifikasi profesi hukum, serta upaya peningkatan dan pengembangan pembinaan kualitas penyelenggaraan pendidikan hukum Indonesia dalam menghadapi AEC 2015?;
2. Bagaimana peran Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dalam kerangka Mutual Recognition Arrangement (MRA)?.
B. Pembahasan
1. a. Peran APHI Dalam Pembentukan LAM Hukum
Lembaga Akreditasi Mandiri (selanjutnya disebut LAM) merupakan lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah atau masyarakat untuk melakukan akreditasi program studi secara mandiri. Dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 87 Tahun 2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi menyatakan bahwa tugas dan wewenang LAM, sebagai berikut:
a. Menyusun instrumen akreditasi Program Studi berdasarkan interaksi antar standar di dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
b. melakukan akreditasi Program Studi;
c. menerbitkan, mengubah, atau mencabut keputusan tentang status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi;
d. memeriksa, melakukan uji kebenaran dan memutuskan keberatan yang diajukan atas status akreditasi dan/atau peringkat terakreditasi Program Studi;
e. membangun dan mengembangkan jejaring dengan pemangku kepentingan, baik tingkat nasional maupun internasional;
f. menyusun instrumen evaluasi pembukaan Program Studi berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi bersama dengan Direktorat Jenderal;
g. memberikan rekomendasi kelayakan pembukaan Program Studi kepada Direktorat Jenderal atau PTN badan hukum;
h. melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berkala kepada BAN-PT
Pada saat ini LAM yang sedang dalam proses pembentukan adalah LAM Hukum, sebagai tindak lanjut hasil keputusan semiloka perguruan tinggi swasta bidang hukum. Salah satu keputusan penting dalam semiloka tersebut yaitu pembentukan Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dan Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia (APPSIHI) sebagai organisasi profesi yang menjadi salah satu persyaratan dalam pembentukan LAM Hukum. Oleh karena itu peran LAM Hukum sangat penting, karena sistem evaluasi dan penilaian melalui akreditasi program studi yang dilakukan oleh LAM merupakan salah satu upaya dalam menentukan pembinaan mutu/ kualitas kelayakan penyelenggaraan program studi hukum. Akreditasi program studi sarjana maupun pascasarjana merupakan sistem evaluasi dan penilaian penjaminan mutu secara komprehensif atas komitmen program studi terhadap peningkatan dan pengembangan pembinaan kualitas dalam penyelenggaraan program tridarma perguruan tinggi, untuk menentukan standar kelayakan mutu/ kualitas dari program studi tersebut. Sistem evaluasi dan penilaian kualitas dalam akreditasi program studi dilakukan oleh tim asesor yang memenuhi persyaratan dan terdiri dari pakar sejawat dan/atau pakar yang memahami penyelenggaraan akademik dari program studi yang diakreditasi. Keputusan mengenai mutu didasarkan pada evaluasi dan penilaian terhadap berbagai bukti dokumen/ data yang berkaitan dengan standar kelayakan yang ditetapkan dan berdasarkan nalar serta pertimbangan logis para pakar sejawat. Bukti-bukti yang diperlukan termasuk laporan tertulis yang disiapkan oleh program studi yang diakreditasi, diverifikasi dan divalidasi melalui desk evaluation dan/atau asesmen lapangan tim asesor ke lokasi program studi.
Program studi merupakan penataan program akademik bagi bidang studi tertentu yang didedikasikan untuk: (1) menguasai, memanfaatkan, mendiseminasikan, mentransformasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) dalam bidang studi tertentu, (2) mempelajari, mengklarifikasikan dan melestarikan budaya yang berkaitan dengan bidang studi tertentu, serta (3) meningkatkan mutu kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan bidang studi tertentu. Oleh karena itu program studi sebagai lembaga melaksanakan fungsi tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengelola ipteks selaras dengan bidang studi yang dikelolanya. Untuk menopang dedikasi dan fungsi tersebut, program studi harus mampu mengatur diri sendiri dalam upaya meningkatkan dan menjamin mutu secara berkelanjutan, baik yang berkenaan dengan masukan, proses maupun keluaran program akademik dan layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Mutu dan kapasitas penyelenggaraan program menjadi hal penting dalam rangka peningkatan kualitas para sarjana hukum yang akan berkarier secara profesional di berbagai bidang profesi hukum terutama dalam menghadapi AEC 2015. Tanpa adanya jaminan mutu/ kualitas dan kapasitas penyelenggaraan program yang baik, maka para sarjana hukum yang berkarier di lapangan-lapangan profesional akan tidak mampu bersaing/ berkompetisi dengan para sarjana hukum dari berbagai fakultas/sekolah hukum negara-negara ASEAN. Dengan demikian peran Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) sangat dibutuhkan dalam membentuk LAM Hukum yang memiliki tugas dan wewenang mengakreditasi program studi dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pembinaan kualitas penyelenggaraan akademik program studi hukum.
b. Peran APHI Dalam Sertifikasi Kompetensi Profesi Hukum
Sertifikasi kompetensi merupakan proses pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan dan/atau profesi tertentu yang diberikan oleh otoritas yang berwenang berbasis standar yang telah disepakati dan ditetapkan. Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional.
Adapun prinsip dasar sertifikasi kompetensi, yaitu:
a. Berorientasi pasar kerja;
b. Pengalaman sumber daya manusia;
c. Berbasis komptensi;
d. Tanggung jawab bersama;
e. Pengalaman profesi;
f. Adil dan tidak diskriminasi.
Beberapa kualifikasi dari sertifikasi kompetensi, terdiri atas:
a. Ditetapkan setelah melalui pengukuran/pengujian (assement);
b. Pengakuan dilakukan oleh industri pengguna dan masyarakat pengguna, melalui pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang mendapat lisensi dari Badan Nasional Standardisasi Profesi;
c. Berkaitan dengan kompetensi terkini dari pencapaian masa lalu;
d. Berlaku untuk waktu tertentu pada tingkatan kemampuan tertentu dan jenis kemampuan tertentu.
Atas sertifikasi kompetensi tersebut, dalam profesi hukum terdapat beberapa profesional yang ada dalam lapangan hukum, antara lain:
a. Dosen hukum;
b. Perancang hukum (legal drafter);
c. Advokat;
d. Notaris;
e. Pejabat pembuat akta tanah;
f. Polisi;
g. Jaksa;
h. Panitera;
i. Hakim;
j. Arbiter atau wasit; dan
k. Auditor hukum.
Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi hukum tersebut, diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi kompetensi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu diperlukan program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesi hukum. Agenda peningkatan dan pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di berbagai lembaga hukum. Dengan demikian, orientasi peningkatan kualitas profesi hukum dapat dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan.
Berkaitan dengan sertifikasi kompetensi profesi dalam menghadapi AEC 2015 tersebut, pada dasarnya Indonesia telah menyiapkan sejak awal dengan beberapa kebijakan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi, antara lain: sistem pendidikan berbasis kompetensi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sistem pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi berbasis kompetensi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, serta kebijakan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi secara sektoral. Dalam sertifikasi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, telah menyiapkan secara sistem, struktur, kelembagaan dan pedoman sertifikasi kompetensi. Namun pada saat ini masih ada bebarapa hal yang menjadi pekerjaan rumah dalam membangun sumber daya manusia berbasis kompetensi untuk mengahadapi implementasi AEC 2015, yaitu: Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang masih terbatas; paket dan skema sertifikasi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Kualifikasi Okupasi Nasional (KON) yang sangat terbatas, penerapan pelatihan kerja dan pendidikan berbasis kompetensi dan kerangka kualifikasi yang terbatas. Dengan demikian masih sangat terbatas menghasilkan tenaga kerja terampil yang berkualifikasi nasional yang mampu berkompetisi di ASEAN dan internasional.
Salah satu upaya pemerintah dalam menyelesaikan pekerjaan rumah membangun sumber daya manusia berbasis kompetensi untuk menghadapi implementasi AEC 2015, antara lain membentuk Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden tersebut merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Kompetensi tersebut tentunya dapat dicapai dengan adanya capaian pembelajaran melalui trasformasi kemampuan berupa internalisasi pengetahuan, sikap, ketrampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja, sehingga rencana pembelajaran dan pendidikan sesuai dengan KKNI.
Dalam hal ini APHI memiliki peran untuk menjadi wadah dalam diskursus mengenai standar kompetensi profesi hukum yang ada di Indonesia. Sebagai organisasi profesi hukum yang merupakan wadah para akademisi hukum dan praktisi hukum, maka peran APHI sangat penting dalam diskursus untuk membangun sumber daya manusia yang berbasis kompetensi dan bersertifikasi guna menghadapi implementasi AEC 2015.
c. Peran APHI Dalam Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Hukum
Salah satu misi utama pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apapun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan.
Perguruan tinggi dalam konteks persaingan global menurut Indeks Daya Saing Global yang dipublikasikan setiap tahun oleh World Economic Forum memotret daya saing dari 142 (seratus empat puluh dua) negara di dunia disusun dengan menggunakan 12 (dua belas) pilar yang digolongkan ke dalam tiga kategori yang disebut “subindex”, yaitu “basic requirements” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “factor-driven”), “efficiency enhancers” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “efficiency-driven”) dan “innovation and sophistication factor” (pilar yang penting untuk perekonomian yang bersifat “innovation-driven”). Pilar yang masuk dalam subindeks “basic requirements” adalah: (1) institusi; (2) infrastruktur; (3) makroekonomi; (4) kesehatan dan pendidikan dasar. Pilar yang masuk ke dalam subindeks “efficiency enhancers” yaitu: (1) pendidikan tinggi dan pelatihan; (2) efisiensi pasar barang; (3) efisiensi pasar tenaga kerja; (4) perkembangan pasar keuangan; (5) kesiapan teknologi; dan (6) ukuran pasar.
Berdasarkan Indeks Daya Saing Global yang dipublikasikan setiap tahun oleh World Economic Forum tersebut, maka daya saing pendidikan tinggi dan pelatihan merupakan salah satu pilar subindeks “efficiency enhancers” yang memiliki peran strategis dalam menentukan daya saing global Indonesia. APHI dalam rangka persaingan global tenaga kerja di ASEAN harus mempu menjadi katalisator antara perguruan tinggi dengan dunia profesional hukum agar kebutuhan akan profesi hukum masyarakat global dapat terpenuhi dari lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Beberapa upaya yang dapat dilakukan APHI, antara lain:
a. Evaluasi kurikulum pendidikan hukum di perguruan tinggi oleh APHI disesuaikan dengan dinamika profesi hukum di lapangan;
b. Mengadakan program klinik hukum dan magang mahasiswa semester akhir di kantor profesional hukum yang melayani praktik hukum secara langsung;
c. Mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi profesional hukum bekerja sama dengan perguruan tinggi agar tercipta profesional baru untuk memperluas keterbukaan tenaga kerja dalam negeri;
d. Mendorong perguruan tinggi hukum untuk melibatkan para profesional hukum menjadi staf pengajar mata kuliah yang berkaitan dengan latihan kemahiran hukum, sehingga mampu mentransformasi pengalaman praktis kepada peserta didik di perguruan tinggi.
Melalui berbagai upaya di atas, maka dimungkinkan peran serta APHI untuk memperkuat pendidikan hukum di perguruan tinggi dalam rangka menghadapi AEC 2015. Dengan adanya kolaborasi antara APHI dan perguruan tinggi hukum, maka peningkatan dan pengembangan pembinaan kualitas penyelenggaraan pendidikan hukum dapat direalisasikan dengan baik dalam menghadapi AEC 2015.
2. APHI dan Mutual Recognition Arrangements (MRA)
Mutual Recognition Arrangements (MRA) bertujuan untuk memfasilitasi mobilitas para profesional di ASEAN berdasarkan pada kualifikasi/sertifikat berbasis kompetensi, dan pada saat yang sama, meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan para profesional. The ASEAN MRA menyediakan mekanisme untuk kesepakatan tentang kesetaraan prosedur sertifikasi kompetensi dan kualifikasi di ASEAN. Ketika negara-negara ASEAN saling mengakui kualifikasi masing-masing, tentu akan mendorong pasar bebas dan terbuka untuk tenaga kerja di seluruh wilayah dan meningkatkan daya saing sektor tertentu di setiap negara ASEAN. Pada saat yang sama akan memenuhi kebutuhan tenaga terampil di negara yang kekurangan tenaga terampil. Standarisasi kelayakan kompetensi untuk bekerja di negara tuan rumah akan dikenakan peraturan yang berlaku di negara tersebut.
Agar profesional asing diakui negara anggota ASEAN dan untuk memenuhi standar kelayakan kompetensi serta syarat bekerja di negara ASEAN, maka profesional berusaha untuk meningkatkan mobilitas internasional tenaga kerja profesional di kawasan ASEAN sejalan dengan kebijakan ASEAN. Setiap negara anggota ASEAN memiliki standar kelayakan sendiri, sertifikasi dan peraturan pengakuan kompetensi pekerja di setiap sektor. Oleh karena itu, ada kebutuhan MRA untuk memfasilitasi kesepakatan tentang standar kelayakan kompetensi yang setara untuk bekerja di bidangnya masing-masing. Dengan demikian tujuan MRA untuk memfasilitasi mobilitas profesional antara negara-negara ASEAN dan mendorong pertukaran informasi tentang praktik-praktik terbaik dalam pendidikan dan pelatihan, agar para profesional yang berbasis kompetensi dapat tercapai.
Ada beberapa MRA yang telah disepakati ASEAN sampai tahun 2009, yaitu MRA untuk jasa-jasa engineering, nursing, architectural, surveying qualification, tenaga medis (dokter umum dan dokter gigi), jasa-jasa akutansi dimana semua MRA ini ditandatangani para menteri ekonomi ASEAN, tetapi MRA di bidang jasa hukum sampai saat ini belum disepakati ASEAN. Namun pada waktunya jasa profesi hukum juga akan disepakati, karena jasa profesi hukum tertentu saat ini telah terliberalisasi secara global, seperti jasa hukum advokat, arbiter, dan konsultan hukum. Dengan demikian APHI sebagai organisasi profesi para akademisi hukum dan praktisi hukum memiliki peran penting dalam memfasilitasi mobilitas para profesional hukum Indonesia guna menghadapi AEC 2015.
C. Penutup
APHI memiliki peran strategis dalam rangka pelaksanaan AEC 2015. Peran stategis ini paling tidak dalam konteks keberadaan oganisasi akademisi hukum dan praktisi hukum untuk meningkatkan dan mengembangkan pembinaan kualitas penyelenggaraan pendidikan hukum dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selain itu peran APHI tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan peningkatan dan pengembangan kemampuan anggota APHI yang berwawasan global dan tersertifikasi profesi hukum sesuai dengan standar kelayakan kompetensi, sehingga mampu bersaing/ berkompetisi di arena AEC 2015.
Agar peran APHI ke depan semakin optimal, maka diperlukan berbagai upaya dan program nyata yang harus dilakukan dalam menghadapi AEC 2015. Salah satu upaya dan program APHI bekerjasama dengan APPSIHI dan APTISI saat ini yaitu pembentukan LAM Hukum yang bertujuan untuk peningkatan dan pengembangan pembinaan kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum, serta memastikan standar kelayakan pengelolaan program studi hukum melalui akreditasi, sehingga setiap program studi hukum secara kapabilitas dan kualitas mampu bersaing/ berkompetisi secara global di kawasan ASEAN.
Curriculum Vitae
Dr. Ahmad Sudiro, S.H., M.H., M.M., saat ini sebagai Dekan dan dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara serta dosen luar biasa di berbagai universitas/ perguruan tinggi lainnya, dengan Jabatan Fungsional Lektor Kepala (LK/IV-C). Pendidikan terakhir Pascasarjana Program Doktor (S-3) Fakultas Hukum – Universitas Indonesia.
Pembicara mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan non-formal, antara lain; Training and Education Creative and Effective Writing; Training and Education Research Quantitative; Course of International Transaction Business; Training and Education of Airspace Law Lecturer; Training of Learning Method; Upgrading of International Law Lecturer; Training of Taxonomy Bloom; Training of International Legal Research for Lecturer; Training and Education of Journal Management; Training and Education of Grand Design Strategy Deployment Program; Training of Trainers Entrepreneurship Education; Training and Education of Professional Mediator; Training and Education of Arbiter Ad-Hoc; Training and Education of Advocate; Training and Education of Professional Leadership.
Pembicara aktif meneliti dan menulis buku serta naskah di berbagai jurnal ilmiah nasional dan internasional, antara lain; Current Air Transport Regulations in Indonesia (International Law Journal “Annals of Air and Space Law”, Vol.XXXVIII, Mc.Gill University, Montreal-Canada); Aspek Hukum Transportasi Udara Jamaah Haji Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada); Hukum dan Keadilan “Nilai Keadilan Pada Pelaku Usaha dan Konsumen Dalam Hukum Transportasi Udara Niaga” (Jakarta: Raja Grafindo Persada); Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Jakarta: Raja Grafindo Persada); Hukum Angkutan Udara Berdasarkan Undang-Undang RI No.1 Tahun 2009 (Jakarta: Raja Grafindo Persada); Ganti Kerugian Dalam Kecelakaan Pesawat Udara: Studi Perbandingan Amerika Serikat – Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Ekonomi – Universitas Indonesia); Pengantar Hukum Udara (Jakarta: Lemlitbang Untar); Kewajiban Pengangkut Kepada Pihak yang Menderita Kerugian Dalam Undang-Undang Penerbangan Nasional (Jurnal Hukum “LEX PUBLICA”, Vol.1, No.1); Asuransi Wajib Kecelakaan Penumpang dan Asuransi Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Kecelakaan Transportasi Udara (Jurnal Hukum “KERTHA PATRIKA”, Vol.37, No.2); Konsep Keadilan dan Sistem Tanggung Jawab Keperdataan Dalam Hukum Udara (Jurnal Hukum ”IUS QUIA IUSTUM”, Vol.19, No.3); Kajian Penyelesaian Santunan Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara Nasional yang Menderita Kerugian (Warta Penelitian Perhubungan, Vol.23, No.6); Product Liability Dalam Penyelenggaraan Penerbangan (Jurnal Hukum & Pembangunan, Tahun Ke-41 No.1); “Pertukaran dan Penetapan Jalur Penerbangan Dalam Perjanjian Bilateral Angkutan Udara” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.1); “Tanggung Jawab Negara Peluncur Terhadap Pihak yang Dirugikan Dalam Peluncuran dan Pengoperasian Satelit Ruang Angkasa” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.1); “Hukum dan Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Reformasi” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.2); “Perlindungan Hukum Pada Konsumen Pengangkutan Udara” (Jurnal Ilmiah Hukum Honeste Vivere, Vol. XIX); “Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pembentukan dan Pengiriman Pasukan International Forces in East Timor” (Jurnal Ilmiah Hukum Trisakti, No.1); “Tanggung Jawab Pengangkut Udara dan Asuransi” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.4); “Tinjauan Hukum Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Angkutan Udara” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.1); “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia dan Permasalahannya” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.37); “Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional” (Buletin Ilmiah Tarumanagara, No.34); “Ruang Lingkup Tindak Pidana Ekonomi di Bidang Perbankan” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.9); “Pelaksanaan Pemberian Hak-hak Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik di Indonesia” (Jurnal Ilmiah Era Hukum, No.1); Penelitian, “Penilaian Mahasiswa Terhadap Kualitas Pelayanan Jasa Pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara” (Jakarta: Lemlitbang Untar); Tanggung Jawab Pengangkut Udara Dalam Angkutan Penumpang di Indonesia (Jakarta: Lemlitbang Untar); “Pemeriksaan Dokumen Hukum atas Aset-aset PT. Perusahaan Pengelola Aset” (Jakarta: PPA-BPPN);
Pembicara juga aktif sebagai pimpinan dan pengurus serta anggota dalam berbagai organisasi, antara lain; Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (DPN – APHI), Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), Asosiasi Mediator Profesional Indonesia (AMPI), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Pusat dan DKI Jakarta, Asosiasi Perusahaan Periklanan Seluruh Indonesia (APPSI), Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (FPPTHI), Himpunan Masyarakat Hukum Udara (MHU), Himpunan Masyarakat Transportasi Indonesia (HMTI), Himpunan Pengajar Hukum Internasional (HPHI); Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Universitas Tarumanagara. Selain itu pembicara aktif sebagai narasumber dan penyaji/pembahas makalah dalam berbagai pertemuan ilmiah dan konferensi, baik nasional maupun internasional, antara lain; “New Indonesian Air Transportation Policy Based on Civil Aviation Act of 2009”, “The Role of Air Transport in Stimulating the National Economic Development in Indonesia”, and “The Legal Liability of Air Carriers and Other Business Activities at the Airport in Indonesia”, “Legal Analysis on Indonesia Comparative Advantage in the Asian Economic Society”, “Indonesia Aviation Law in the Framework of the Asian Multilateral Air Agreements”. (Email: ahmads@fh.untar.ac.id).
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Kemandirian Program Studi Ilmu Hukum Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015”, diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung dengan Asosiasi Penyelenggara Program Studi Ilmu Hukum Indonesia (APPSIHI) dan FPPTHI di Semarang, tanggal 27-28 April 2015.