Budaya Megengan khas Pati. |
Pati, Harian Jateng – Megengan, tradisi khas Pati menyambut bulan Ramadan atau bulan puasa sudah dilaksanakan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah sejak dulu. Jika di Semarang ada tradisi dugderan, maka di Pati ada tradisi Megengan sebagai salah satu cara mengekspresikan untuk menyambut datangnya bulan puasa Ramadan.
Tiap daerah memang memiliki budaya dan tradisi unik. Entah itu berupa akulturasi Islam, Jawa, Hindu, Budha, akan tetapi tradisi tersebut dalam perspektif sejarah dan filologi menjadi kekayaan lokal yang harus dilestarikan.
Megengan, menurut Ngalimun, perangkat Desa Dukuhseti Pati, adalah tradisi tasyakuran yang digelar warga Pati untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. “Ya acaranya ada doa-doa, biasanya tahlilan, di musholla maupun masjid,” ujar dia kepada Harian Jateng, Rabu (17/6/2015) kemarin di Pati.
Warga Pati, memaknai Megengan hampir sama dengan kondangan atau tasyakuran. Akan tetapi di daerah lain, seperti Demak dan Kendal, Megengan diartikan tasyakuran dalam bentuk membawa makanan ditaruah di sebuah tempat, kemudian menjadi rebutan warga. Akan tetapi, Megengan di Pati sangat berbeda dengan Megengan di daerah lain di Jawa Tengah.
Megengan, menurut Ngalimun bisa diartikan berjamaah. “Me itu kan awalan kata mau melakukan, kalau geng, itu kan jamaah, gerombolan, tim, grup. Kalau an, itu akhiran kata atau pekerjaan. Jadi megengan itu berjamaah untuk melakukan kegiatan. Kalau megengan puasa Ramadan, berarti berjamaah untuk melakukan kegiatan ibadah di bulan puasa Ramadan,” kata dia.
Akan tetapi, secara budaya Jawa, Megengan diartikan sebagai salah satu tradisi berkumpul dan tasyakuran dengan makan-makan. “Tapi kalau di Kendal dan Semarang, Megengan itu diartikan sebagai pasar tiban yang digelar menjelang Ramadan, yang menjual makanan dan jajanan tradisional khas daerah setempat,” ujar dia.
Dalam rangkaian Megengan di Pati tersebut, warga sekitar membawa makanan berupa nasi dan lauk-pauk lengkap, juga jajanan berupa buah, roti, dan juga minuman. Setelah kiai atau takmir masjid atau musholla berdoa bersama dalam rangka mengucapkan rasa syukur karena telah diberi umur hingga bisa berjumpa dengan bulan puasa, maka usai doa bersama tersebut warga makan bersama.
Saya bisa menyimpulkan, lanjut dia, Megengan itu intinya adalah doa, pertemuan dan makanan. “Puasa itukan menghindari makan dan minum. Jadi Megengan itu menjadi tanda bahwa kita akan masuk bulan di mana kita tak boleh makan dan minum di siang hari selama satu bulan full,” jelas dia.
Makanya, lanjut dia, di dalam tradisi Megengan di Pati, warga yang datang ke musholla atau masjid membawa makanan dan juga minuman yang beraneka ragam.
“Kalau di sini, makanan yang dibawa warga sekitar diberi nama asahan,” ujar dia.
Asahan tersebut, kata dia, ada yang berupa nasi lengkap dengan lauknya. “Nasinya ada yang nasi biasa, ada yang nasi uduk. Kalau di daerah Tayu ke utara, kebanyakan lauknya tak hanya ayam, namun ikan laut dan tambak. Ya bandeng, muzaer, ikan tongkol, beserta lalapan mentimun dan sambal,” beber dia.
Uniknya lagi, cara penyajian asahan untuk tasyakuran megengan tersebut dilapisi daun pisang. “Karena kebanyakan warga punya pohon pisang sendiri, jadinya lapisan bawa dikasih daun pisang,” beber dia.
Tradisi Megengan, menurut Ngalimun yang juga mantan Ketua IPNU Ranting Dukuhseti Pati tersebut sudah dilaksanakan sejak dulu. Tradisi ini juga sudah biasa digelar di Pati secara umum yang dilaksanakan satu hari sebelum puasa.
“Ada yang satu hari sebelum puasa, dan ada juga yang malam pertama saat salat Tarawih,” papar guru SMK tersebut. Biasanya kirim doa kepada para arwah leluhur, katanya, dan meminta kekuatan kepada Allah agar dalam puasa satu bulan ke depan diberi kelancaran dan keberkahan.
Menurut dia, kalau pas tanggal 27 Ramadan, biasanya juga digelar khataman Quran. “Kalau di sini juga ada tasyakuran tanggal 29 Ramadan, yaitu bancaan dengan membawa apem dan dimakan bersama,” ujar dia.
Intinya, lanjutnya, kita penuh syukur. “Di awal Ramadan kita syukuran, di akhir bulan Ramadan menjelang Idul Fitri juga tasyakuran,” pungkas dia. Di akhir Ramadan atau pas salat Idul Fitri, katanya, nanti warga Pati juga membawa asahan saat ke masjid atau musholla, setelah salat id selesai, maka makan bersama sebagai wujud rasa syukur karena sebulan penuh bisa berpuasa. (Red-HJ38/Foto: Harian Jateng).