Kidung Hati Sang Pecinta (4)

0

Oleh: Muhamad Khoirul Umam

Minggu pagi yang ramah. Beraneka jenis burung berkicau merdu dan sangat nyaring, sahut-menyahut dari beberapa deret rumah, yang berada tak jauh jaraknya dari rumah Kang Maman. Usai salat subuh berjamaah di musholla, tak henti-hentinya beberapa orang menyapa Kang Maman dengan menyungging seulas senyum di paras mereka. Ia merasa laiknya selebritis dadakan yang disambut warga kampungnya dengan penuh antusias dan hangat. “Ada apa dengan hari ini ya? Aku kok spesial banget kayaknya?” kata Kang Maman membatin. “Karena momen lebaran kali ya?”

Rasa penasarannya tidaklah berkurang, namun menebal dan bertambah, semakin membuncah di dada. Bahkan, saat ia berjumpa dengan ibu paruh baya penjual daun pisang dan bapak tua yang biasanya mangkal di pinggir jalan untuk menjajakan es dawet. Biasanya, mereka hanya terdiam membisu sewaktu berpapasan, malahan kini bersikap sok akrab dan menanyakan ini dan itu, dan beberapa hal tentang dirinya. “Iki ono opo to jan jane?” kata Kang Maman dalam hatinya.

Kang Maman memutuskan untuk menemui Tarso, teman karibnya—yang rumahnya hanya berjarak beberapa tapak kaki. Sesampainya di kediaman sobat kentalnya itu, mereka asyik ngobrol ngalor ngidul. Selanjutnya, Kang Maman mengutarakan maksud dan tujuan yang sebenarnya. “Gini So, aku jan jane gumun tenan, wong-wong kok podo aneh yo, ora koyok biasane,” kata Kang Maman sambil menyeruput secangkir teh hangat yang dihidangkan sang tuan rumah.

“Maksud sampeyan kepriye, Kang? Nek sampeyan ngomonge sepotong-potong, trus aku iso mudeng ngunu?” kata Tarso sambil mendehem-dehem dan terbatuk-batuk beberapa kali. Ia memainkan kumisnya yang tipis dengan jari tangannya seperti laiknya Meneer zaman VOC Belanda.

“Ngene, So. Biasane wong-wong kan meneng wae nek ketemu aku. Saiki kok wong-wong dadi grapyak ngunu, njanur gunung to?” kata Kang Maman. “Kayaknya kau harus melakukan penyelidikan secara tuntas tas, tas, tas.”

“Oke, siap, Kang!” kata Tarso seperti prajurit yang mematuhi perintah dari sang komandan kompi.
* * *

Sepekan telah berlalu. Tarso telah mengumpulkan data dan melakukan wawancara sambil lalu dengan beberapa warga yang ditemuinya di kedai kucing andalannya. Beberapa responden tidak mengetahui bahwa Tarso sedang melakukan penyelidikan dan pengusutan atas perintah dari Kang Maman. Maka, beberapa warga yang ditanya dapat memberikan keterangan yang dianggapnya cukup detil dan sangat memuaskan.

Tarso mempercepat langkah kakinya menuju rumah Kang Maman. Ia mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. “Tok, tok, tok.” Belum ada sahutan dari sang empunya rumah. Rupa-rupanya Kang Maman sedang asyik terlelap dalam buaian mimpi indahnya. Maka, Tarso memberanikan diri untuk memanggil nomer hape temannya itu, untuk mengabarkan kedatangan dirinya. Saking menderunya suara hape yang mendengking-dengking di atas meja kamarnya, mengejutkan Kang Maman dan membangunkannya. “Halo… Nopo So? O, wis tekan umahku to awakmu? Oke, tak raup dhisik yo?” kata Kang Maman.

Setelah mendengar uraian gamblang dan detail dari Tarso melalui riset mendalam dan penyelidikan selama tujuh hari tujuh malam lamanya, maka Kang Maman hanya manggut-manggut dan mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. “O jebule ngunu to? Tiwas ge-er koyok-koyoke aku wis dadi artis kondang seantero kampung? Hehehe

Semarang, 25 Juli 2015, pukul: 00: 32 WIB

Penulis adalah Alumus S2 UIN Walisongo Semarang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here