Septi Peni Wulandari (kiri baju biru) saat memaparkan materi |
Kudus, Harian Jateng – Fakultas Psikologi Universitas Muria Kudus (UMK) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menggelar seminar nasional ”Educational Wellbeing” di Hotel @Hom, Kamis (20/8/2015) yang dihadiri sebanyak 120 peserta yang terdiri atas mahasiswa, guru dan dosen.
Dalam seminar tersebut, dibuka Rektor UMK Dr. Suparnyo SH. MS. Hadir dua pakar, yakni Septi Peni Wulandari (pendiri Jarimatika) dan Yuli Fajar Susetyo (dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada).
Trubus Raharjo M.Psi, Dekan Fakultas Psikologi UMK, menjelaskan, seminar ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia. ”Selain dari UMK sendiri, peserta antara lain datang dari Universitas Widya Mandala Surabaya, STAIN Kudus, Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Universitas Semarang (USM), dan UPI Bandung,” katanya.
Dia menambahkan, digelarnya seminar ini adalah sebagai ruang menyosialisasikan pentingnya informasi pendidikan yang mensejahterakan. ”Pendidikan selama ini hanya kurikulumnya sangat membebani peserta didik dan guru. Selain itu, pendidikan juga sering sekadar memberikan pemahaman kognitif ketimbang memberikan pendidikan yang membangun kemandirian,” paparnya.
Septi pada kesempatan itu memaparkan pentingnya pendidikan berbasis kemandirian dengan memberikan Rasulullah Muhammad SAW dan beberapa cendekiawan Islam yang telah ”sukses” di usia cukup muda.
Dia mengutarakan, Rasulullah telah melakukan magang usaha dan dagang pada usia 12 tahun, menjadi pengusaha mandiri sebagai manajer perdagangan regional di usia 17 tahun, dan di usia 25 tahun telah memiliki bisnis serta menjalin aliansi dengan investor.
”Kemandirian harus sudah ditanamkan sejak anak akil balig. Namun di kita, umum 17 tahun pun masih banyak anak yang belum mandiri. Padahal, dulu tokoh-tokoh Islam banyak yang telah mandiri di usia muda. Zaid bin Tsabit, misalnya. Pada usia 13 tahun menjadi penulis wahyu, dalam 17 malam mampu menguasai Bahasa Suryani sehingga menjadi penerjemah Rasulullah, hafal kitabullah, dan ikut serta dalam kodifikasi al-Qur’an,” terangnya.
Sementara Yuli Fajar Susetyo menyampaikan materi secara lugas dan penuh candaan, sehingga para peserta tidak bosan. Menurutnya, banyak ketidakadilan yang terjadi dalam praktik kehidupan dan pendidikan anak setiap hari.
”Kita lebih mudah menyalahkan ketimbang memuji. Anak akan selalu dipuji-puji saat mendapatkan nilai bagus di sekolah, sementara anak yang nilainya kurang bagus, akan menjadi bulan-bulanan cercaan,” katanya.
Parahnya, tak jarang guru juga memiliki penilaian negatif tertentu pada siswa. ”Padahal, penilaian negatif ini seringkali mengganggu karena hanya dengan kejadian sekali atau fakta tidak lengkap, guru telah memberikan atribut atau label negatif,” urainya. (Red-HJ34/UMK).