Foto: Vemale.com |
Oleh : Ika Cinthia Septiyani
Aku adalah cermin di toilet wanita di sebuah swalayan. Setiap hari tanpa henti aku melihat berbagai macam rupa manusia. Dari yang gendut, kurus, hitam, sipit dan lainnya. Bagiku semuanya sama, manusia. Kadang kala aku mendengarkan pembicaraan mereka secara seksama. Ada yang berbincang masalah kecantikan, ada juga yang berbincang mengenai suaminya. Entah, manusia memang ada saja pembicaraannya.
“Heh, sudah tahu belum tentang pegawai baru di toko buku sebelah?” ucap Sri salah seorang pegawai counter handphone sambil membetulkan bulu matanya.
“Oh, yang kecil itu ya?” tanya Hanifah yang juga pegawai counter handphone seraya memoleskan gincu merah di bibirnya yang tebal.
“Iya. Pegawai baru tapi sudah belagu!” Sri kini gantian memoles kelopak matanya dengan sapuan halus eyeshadow berwarna hijau muda yang serasi dengan seragam kerjanya.
“Belagu gimana maksud kamu?” Hanifah bertanya sembari membalikkan tatapannya ke wajah Sri.
“Itu loh, pegawai baru tapi sudah berani-beraninya makan di foodcourt mahal di lantai atas” ucap Sri ketus. “Kita saja yang lima tahun kerja di sini makannya nasi kucing terus.”
“Barang kali dia sudah punya uang. Sudahlah Sri, jangan ngomongin orang.”
“Lho? Kamu membela dia?” raut muka Sri berubah seperti induk ayam yang mengetahui anaknya diganggu.
“Kamu ini Sri, terlalu sibuk mengomentari orang, urus dulu saja hidup kita ini. Ayolah kerja!” kata Hanifah sambil pergi meninggalkan Sri.
**
Wajah Sri dan Hanifah adalah wajah yang paling ku hafal. Mereka setiap satu jam sekali selalu menyempatkan diri menghampiriku demi memandangi diri mereka secara utuh. Sri dan Hanifah memang berparas cantik dan bertubuh sempurna, sudah lima tahun mereka akrab denganku. Dari mereka yang masih berwajah polos, sampai saat ini yang telah berubah menjadi wanita dewasa yang mampu bersolek diri.
Lalu datanglah wajah baru yang menyambangiku. Wajahnya manis, berambut panjang terurai, kulitnya tidak terlalu gelap, tidak juga terlalu putih. Lebih tepatnya kuning langsat. Matanya bulat, bibirnya tipis dan hidungnya mancung sempurna. Dihadapanku dia tak bersolek, dia hanya mengusap wajahnya dengan tissue kemudian memoles gincu berwarna merah muda sehingga wajahnya tampak lebih segar.
Kemudian Sri dan Hanifah menyusul menghampiri, setengah berbisik-bisik ketika mereka berdua melihat gadis manis itu. Gadis manis itu kemudian pergi seraya melempar senyum dan menyapa mereka berdua.
“Eh, Sri! Itu kan anak barunya?” Hanifah berseru kepada Sri.
“Jangan keras-keras, kau ini memang cablak, deh” Sri menggerutu.
“Maaf-maaf, aku keceplosan” kata Hanifah sambil meringis. “Ku dengar namanya Siti.”
“Iya, kabarnya dia itu seorang mahasiswi yang kerja part time.”
‘Oalah, pantas saja dia mengambilnya sift malam.” Hanifah berkata sambil mengeluarkan lipstick yang ada di tas perlengkapan make up.
“Aku yakin, dia pasti ayam kampus” ucap Sri ketus.
“Hah? maksud kamu Siti jualan friedchiken?”
“Aduh, bukan itu. Kamu enggak gaul ah!” Sri berkata sambil memulas garis matanya dengan eyeliner. “Ayam kampus itu mahasiswi nakal yang bisa di booking.”
“Oh, cewek yang bisa dipesan gitu maksud kamu?” tanya Hanifah seraya mengambil pensil eyeliner dari tangan Sri. “Kamu kok tahu?”
“Aku nebak aja. Mahasiswi kota ini biasanya seperti itu” kata Sri.
“Kamu itu Sri, jangan berprasangka buruk kalau tidak tahu pasti juntrungannya! Wis gedhe mbok ya tobat to, Sri!” ucap Hanifah yang bermakna menasehati teman karibnya Sri.
“Lho? Aku kan cuma berargumen, kalau bahasa ilmiahnya itu hipotesis sementara.” kata Sri seakan membela diri.
“Oalah, Sri, sekarang pakai kata-kata ilmiah, nyari duit ah, ngikutin kamu nambah dosa saja!” kata Hanifah sambil menggeleng-gelengkan kepala dan bergegas meninggalkan Sri.
“Hanifah itu sok alim banget, emangnya aku setan apa? Nambah dosa? Kan aku cuma berargumen saja, dasar Hanifah gendeng!” kata Sri sambil melotot memandangku.
**
Siti, nama gadis manis itu. Dia tak banyak bicara. Dihadapanku dia hanya memoles tipis wajahnya. Sudah sebulan dia bekerja di swalayan ini. Wajahnya mudah ku hafal. Raut mukanya selalu tenang dan nampak segar setiap hari. Belum pernah aku melihat dia berbincang dengan orang lain. Sampai suatu ketika Hanifah mengajak Siti berbincang-bincang.
“Siti ya?” sapa Hanifah sambil membetuk senyum diwajahnya.
Siti membalas dengan tersenyum.
“Mahasiswi ya?” tanya Hanifah seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Iya, mbak. Kok, mbak tahu?”
“Ya, tahu saja.” kata Hanifah.
“Biasanya berdua, kok, sekarang sendirian, mbak?” tanya Siti sambil tersenyum. Nampaknya Siti orang yang murah senyum.
“Oh, Sri sedang melayani pelanggan, jadi aku kesini sendirian.” jawab Hanifah.
Lalu mereka berdua berbicang-bincang lama sekali, nampaknya mereka langsung akrab pada perbincangan pertama. Siti yang santun, nampaknya pandai mengambil hati orang lain. Setelah berbincang cukup lama mereka kemudian bergegas pergi keluar toilet.
**
Hari itu, Sri dan Hanifah menyambangiku bersama. Sri sibuk merias wajahnya dengan berbagai perlengkapan make up. Katanya, ia belajar merias diri dari melihat video di youtube. Hal itu aku dengar dari perkataannya tiga tahun yang lalu kepada Hanifah yang kemudian mengikuti jejaknya.
“Si Siti makin hari makin kelihatan cantik saja ya?” kata Sri sembari menyisir rambut panjangnya.
“Memang dasarnya cantik kok, Sri.” Hanifah berkata sambil mengusap-usap sudut matanya.
“Sepertinya, Siti itu pakai jimat, deh. Auranya itu beda kalau aku lihat.” ucap Sri sambil menatap tajam ke arah Hanifah.
“Kamu jangan berpikiran negatif dulu, Sri. Si Siti itu memang cantik, manis, dan selalu ramah. Pantas saja dia disegani banyak orang.”
“Eh, gini-gini aku berpengalaman dalam menilai seseorang. Aura Siti itu berbeda lho, aku yakin itu!” kata Sri mantap.
“Sini lho Sri,” kata Hanifah sambil mendorong Sri agar lebih dekat dengan cermin. “Kamu bisa lihat wajahmu tidak kalau sedekat ini?”
Jarak antara wajah Sri dengan cermin hanya berjarak 2 centi meter.
“Ya jelas enggak liat, wong kamu dorong sampai sedekat ini, kok.” jawab Sri.
“Nah, itulah manusia, Sri. Saking dekatnya manusia dengan dirinya sendiri, manusia jadi tidak mengetahui bahkan tak melihat rupa mereka yang aslinya.” kata Hanifah sambil melepaskan dorongan tangannya pada tubuh Sri.
“Eh, kamu ngomong apa to, Nif?” tanya Sri nampak tak paham.
“Itu kamu, Sri. Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu mencari-cari kejelekan orang lain. Tapi, kejelekan diri sendiri kamu tak pernah mau tahu” Hanifah merangkul tubuh Sri. “Coba kamu bercermin, Sri. Apakah dirimu sudah baik segalanya? Apakah menurutmu dirimu sudah pantas untuk menerka-nerka keburukan orang lain? Bercerminlah, Sri! Lihatlah dirimu sendiri dahulu secara polos, jangan menilai orang lain buruk sebelum kamu tahu kenyataannya.” kata Hanifah kemudian tersenyum. Lalu mendekap erat sahabatnya, kemudian pergi meninggalkan Sri yang masih menatap tajam pada cermin