Zamhuri, peneliti Puskindo UMK |
Kudus, Harian Jateng – Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah mencurigai statemen anggota Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi.
Sebelumnya, Tulus menuturkan bahwa masuknya RUU Pertembakauan dalam prolegnas tahun 2015 ini, ada sesuatu yang mencurigakan sebagaimana dilansir salah satu media nasional yaitu portalkbr.com, bisa menjadi pertanyaan balik, apa motif dari statemen itu.
Sebab, dia tidak merinci apa yang dimaksud dengan kalimat ‘’ada sesuatu yang mencurigakan terkait masuknya RUU Pertembakauan’’, ia juga menuding RUU itu sebagai kedok melindungi petani tembakau dan hanya menguntungkan sektor industri.
Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, mengutarakan hal itu, Senin (14/9/2015).
‘’Statemen Tulus Abadi ini patut dicurigai, jangan-jangan itu pesanan dari kelompok yang ingin menggulingkan industri kretek nasional,’’ tegasnya.
Zamhuri mengatakan, mestinya Tulus bisa mengkaji kretek dari berbagai sisi, sehingga akan mendapatkan pemahaman yang utuh terkait industri kretek yang merupakan warisan budaya bangsa ini.
‘’Kretek sudah ada sejak ratusan tahun silam di bumi Nusantara dan telah terbukti memberi manfaat (maslahah) kepada masyarakat, tetapi kemudian dipersoalkan gara-gara adanya desakan masyarakat internasional,’’ ujar dia.
Terkait adanya desakan dunia internasional itu, mestinya bukan melemahkan potensi dan kekuatan industri kretek nasional yang harus dilakukan. Sebaliknya, elemen masyarakat di negeri ini harus jeli melihat mengapa industri kretek dipersoalkan, bukan malah memberi respons positif tanpa reserve terhadap agenda terselubung yang bisa mengancam keberlangsungan industri kretek nasional.
‘’Pengaturan masalah tembakau, misalnya, tidak cukup hanya dilihat dari isu kesehatan, karena masalahnya telah melebar menjadi multiproblem. Masalah pertembakauan bukan sekadar ‘bisnis asap’ semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke dalam ‘tulang sumsum’ sistem ekonomi masyarakat dan menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun rupiah,’’ paparnya.
Peneliti Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) ini menambahkan, hingga kini, regulasi yang menjadi landasan yuridis dalam pengaturan masalah pertembakauan, kurang memadai dan lebih banyak merespons isu tembakau dari dimensi kesehatan. Itu pun dari berbagai kajian, soal dampak kesehatan akibat mengkonsumsi asap kretek masih bisa diperdebatkan.
Hal itu, menurutnya, antara lain bisa dilihat dalam UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan tembakau sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Padahal, lanjut dia, dalam negara hukum yang demokratis, mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Yakni persamaan dalam setiap proses politik, tidak ada kelompok yang memonopoli, berlakunya nilai-nilai yang disebut sebagai kebajikan publik, serta menerima perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan.
“Pemahaman ini juga mestinya dipahami oleh kelompok anti tembakau, termasuk Tulus Abadi,’’ Zamhuri menandaskan. (Red-HJ55/Puskindo-UMK).