Oleh Ridwan Nanda Mulyana
Solusi musibah asal dan pemakaran lahan hutan harus dicanangkan. Sebab, bencana pembakaran lahan dan hutan yang disusul oleh bencana asap, terutama di Sumatera dan Kalimantan merupakan salah satu dari sekian persoalan bangsa yang rutin terjadi setiap tahunnya, disamping masalah lain seperti banjir dan urbanisasi setelah Idul Fitri (terutama di Jakarta dan kota-kota besar). Entah kurang persiapan atau lalai dalam mempersiapkan diri, negeri ini selalu saja kecolongan. Jika musim hujan, bencana banjir rutin datang. Jika musim kemarau, bencana kekeringan dan kebakaran lahan yang disertai bencana asap pun selalu datang menghampiri negeri ini.
Tercatat bahwa persoalan lingkungan ini telah terjadi secara rutin sejak kemarau 1997. Ditahun itu, selain dilanda oleh krisis ekonomi yang berujung pada krisis multidimensional, Indonesia juga dilanda kekeringan yang panjang dan parah. Serupa dengan tahun itu, kini Indonesia pun sedang dilanda kekeringan sebagai akibat dari fenomena El-Nino.
Namun, seperti yang telah menjadi rahasia umum, kebakaran lahan dan hutan yang berujung pada bencana asap ini bukan lah hanya diakibatkan oleh faktor alamiahberupa musim kemarau panjang semata, melainkan yang utamanya adalah karena ulah manusia yang diiringi oleh kelambatan pemerintah dalam merespon fenomena tersebut. Dalam hal ini, Editorial Media Indonesia pada Senin (7/9/2015) lalu menyebutkan bahwa 90% penyebab kebakaran hutan yang selama 18 tahun turin terjadi ini ialah karena ulah manusia. Hal ini memang beralasan, mengingat jika bencana ini murni karena faktor alam, dampak dan sebaran bencananya sudah pasti tidak akan seluas ini. Apa lagi jika didukung oleh kesigapan respon pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi persoalan ini.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Jum’at (4/9) tercatat ada 156 titik panas sumber asap dengan keterangan 95 titik di Sumatera dan 61 titik di Kalimantan. Diperkirakan ada 25,6 juta jiwa yang terpapar kabut asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Di bidang ekonomi, musibah ini telah mengurangi kunjungan wisatawan, mengganggu aktivitas ekonomi (bisnis) dan transportasi (terutama penerbangan), yang diperkirakan kerugian dalam setahun ini mencapai Rp. 7,3 triliun.
Dalam bidang kesehatan, dari sekitar 25,6 juta yang terpapar asap, ada sebanyak 6.762 yang sudah menderita infeksi saluran pernapasan akut (ispa). Dan pada bidang lingkungan, selain banyak kawasan hutan dan lahan yang rusak, musibah ini jelas berdampak buruk terhadap kehidupan flora dan fauna di daerah sekitar Sumatera dan Kalimantan, serta membawa efek yang negatif terhadap kualitas udara. Pada Kamis (3/9/15), indeks standar pencemaran udara di Riau telah mencapai 500, yang artinya telah memasuki kategori berbahaya (lihat: Kompas, 5/9/2015).
Hal ini belum termasuk kerugian di bidang pendidikan, karena bencana ini pasti mengganggu kegiatan belajar siswa, serta “rasa malu” yang semestinya dirasa oleh pemerintah dan umumnya oleh bangsa ini, karena bencana asap ini juga membawa dampak negatif terhadap negara tetangga kita disekitar Sumatera dan Kalimantan. Kemampuan dan keseriusan untuk menanggulangi bencana yang rutin terjadi sejak 18 tahun ini pun tentu dipertanyakan.
Akar PermasalahanMenurut hemat penulis, ada beberapa faktor yang semestinya kita perhatikan sebagai akar permasalahan dari musibah rutinan ini, yang antara lain:Pertama, motif ekonomi dan keserakahan para pemilik kapital besar. Jelas memang jika pembukaan lahan (termasuk hutan) ini berkaitan erat dengan usaha para pemilik modal untuk memulai atau mengembangkan sayap ekonominya, terutama dalam bidang perkebunan sawit atau industri pengolahannya. Mungkin saja kata “cukup” tidak ditemukan dalam kamus ekonomi dengan prinsip liberalisme-kapitalisme seperti saat ini. Segala upaya terus dilakukan agar pundi-pundi rupiah terus bertambah, entah caranya benar atau salah, entah bagaimana dampaknya terhadap lingkungan alam dan masyarakat sekitar, maupun terhadap masa depan.
Kedua, mental instan yang semakin membudaya dan disertai kurangnya edukasi kepada masyarakat dan pekerja. Kita semua tahu, membuka lahan dengan cara membakarnya, apalagi di musim kemarau yang kering ini tentu merupakan cara yang paling cepat, mudah dan murah (instan). Di era ini, terasa atau tidak, mental instan memang telah menjadi budaya bagi sebagian manusia. Cara yang paling “enak” dinomor satukan, tanpa terlebih dulu berpikir panjang tentang dampaknya, apalagi berpikir tentang proses yang dapat menguras keringat, waktu dan biaya.
Padahal jika dikelola dan dilakukan dengan benar, pembukaan lahan ini tentu tidak akan begitu merusak alam, jika apa yang kita dapat dari alam (seperti rumput, daun, akar, ranting atau kayu, dsb.) ini terus kita olah untuk dikembalikan kepada alam dalam bentuk yang lain (seperti pupuk kompos), atau pun diolah untuk memberdayakan (ekonomi) masyarakat (seperti dijadikan sebagai bahan membuat kerajinan, dan sebagainya).
Disinilah peran dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait (termasuk LSM dan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat) untuk melakukan edukasi dan pendampingan agar para pekerja atau masyarakat sekitar dapat membuka lahan dengan benar, dan apa yang di dapat dari alam bisa terkelola dan terolah dengan baik, bahkan dapat memberikan nilai lebih. Dalam hal ini, edukasi untuk melawan “mental instan” pun harus menjadi fokus perhatian. Edukasi pun harus juga diarahkan pada pembentukan karakter mental bahwa: “menjaga (masa depan) lingkungan-alam adalah yang utama daripada membukanya untuk kepentingan ekonomi”. Dalam hal ini, Pemerintah, LSM dan masyarakat harus sepakat tentang adanya “pembatasan atas pembukaan lahan”.
Motif ekonomi dengan modus instan pembakaran lahan pun mempunyai titik temu. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT) seperti yang dikutip oleh Sridewanto Edi Pinuji menyebutkan bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar jauh lebih murah, yang hanya perlu biaya Rp. 600.000-800.000 per hektar. Sedangkan tanpa membakar menghabiskan biaya sekitar Rp. 3,5 juta-Rp. 5 juta. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan harga lahan. Hasil penelitian Cifor menunjukkan bahwa harga lahan yang telah dibuka (dibakar) mengalami pelonjakan, dengan perbandingan, yang sebelumnya Rp. 8 juta dapat meningkat menjadi Rp. 11 juta. Ya, begini lah memang cara pikir manusia di era serba instan ini: “tidak mau rugi, ingin mengeluarkan biaya sekecil-kecilnya, namun ingin (terus) untung sebesar-besarnya”. Meskipun pada akhirnya memberikan kerugian untuk orang lain.
Akar permasalahan yang ketiga menurut penulis adalah tentang penegakkan hukum dan kesiapan pemerintah.Dalam hal ini, sudah seharusnya negara (baik melalui pemerintah pusat maupun daerah) untuk hadir dalam melindungi rakyat dan (kekayaan) lingkungan alamnya dari kejahatan, yang jika terjadi kelalaian dalam hal ini, pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi negara, baik secara materil maupun nonmateril. Untuk itulah perangkat hukum (perundang-undangan) dibuat dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan serta mencegah sekaligus menjerakan para pelaku kejahatan (pelanggaran). Kondisi demikian tentu hanya akan terjadi apabila hukum yang telah dibuat itu tidak lupa untuk ditegakkan.
Artinya, penegakkan hukum adalah faktor yang harus diperhatikan dan hal utama harus dijalankan. Penegakkan hukum ini tentu bukanlah penegakkan hukum “pisau” yang “tajam kebawah, tumpul keatas”, melainkan penegakkan hukum yang tegas, adil, tidak pandang bulu. Tidak hanya menyasar rakyat kecil yang menjadi pekerja atau eksekutor karena dibayar untuk mencukupi kebutuhan perut, melainkan juga harus mampu mengungkap dan menjerakan aktor utama dibalik kasus pembakaran lahan dan hutan ini. Berkaitan dengan kebakaran hutan dan asap tahun ini, hingga 5 September lalu, telah ada setidaknya 45 orang pelaku yang menjadi tersangka, di Kalimantan Barat 9 orang, Riau 31 orang, dan di Jambi 5 orang tersangka (Media Indonesia, 7/9/2015).
Selain itu, pemerintah (baik pusat dan daerah) semestinya juga harus sigap. Bencana yang rutin terjadi setiap tahun ini semestinya menjadi ajang pembelajaran dan evaluasi diri. Apabila tidak mampu mencegah dan menghentikan secara total musibah ini, setidaknya ada upaya untuk meminimalkan dampaknya sedari awal dengan melakukan prediksi dan memberikan peringatan sedari dinisaat kemarau datang, bukan harus diingatkan terlebih dulu oleh media, jeritan masyarakat maupun keluhan dari negara tetangga.
Dengan melakukan prediksi, kesiagaan dan peringatan awal yang disertai dengan penegakkan hukum yang adil dan tegas, maka bencana ke(pem)bakaran lahan-hutan dan asap ini pun jelas tidak akan memberikan dampak yang sebegitu parah terhadap kehidupan lingkungan, kesehatan, ekonomi, sosial dan pendidikan masyarakat sekitar.
Di atas semuanya, segala musibah yang menimpa bangsa ini hendaknya dijadikan sebagai masalah bersama. Artinya, untuk mengatasi masalah tersebut harus dilakukan dengan bersama-sama. Jangan hanya mengandalkan dan menyalahkan pemerintah, dan di sisi lain, pemerintah pun jangan lupa untuk melibatkan masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya yang ada di dalamnya untuk ikut berperan dan berpartisipasi dalam menanggulangi bencana ini. Dengan rasa kebersamaan (gotong royong), masalah seberat apa pun pasti akan terasa lebih ringan untuk diselesaikan.
Wallahu’alam bish-shawab.
– Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah, Demisioner Staff Ahli Kementerian Sosial-Politik BEM FIB dan Divisi PSDM HMJ Sejarah, Undip. Aktif Menulis dibeberapa Media Lokal dan kolom mahasiswa media Nasional.