Peserta Raker CDIS di Warung Ndesa Ngaliyan Semarang |
Semarang, Harian Semarang – Menurut penelitian Centre for Democracy and Islamic Studies (CDIS) Semarang, warisan colonial Belanda masih mengalir di Indonesia. Hal itu terbukti masih banyak warisan-warisan benda-benda maupun yang berupa mental dan karakter serta budaya.
“Saat ini kita telah menikmati sebuah warisan besar kolonial Belanda. Pendidikan yang saat ini kita nikmati, terutama kalangan mahasiswa adalah sebuah peninggalan Belanda guna memecah belah rakyat Nusantara,” ujar Aulia Abdurrohman, Direktur CDIS Semarang, kemarin dalam Raker CDIS di Warung Ndesa Ngaliyan, Semarang.
Baca juga: Apakah Indonesia Jadi Negara “Predatorik?”
Mulai dari awal abad ke-20 utamanya pasca perang Diponegoro, kata dia, dengan liciknya Belanda berupaya untuk memcah belah Nusantara. Lembaga pendidikan yang ada saat ini menjadi bukti sejarah bahwa kita telah di dikotomikan oleh kolonial dengan membedakan agama dan umum.
“Yang agama di madrasah, pesantren, universitas Islam. Sedangkan yang umum di SMP, SMA, universitas negeri. Seolah-olah kita juga dipecah mental dan jati diri kita oleh pengajar-pengajar kita sendiri yang tidak tahu dengan tahunya secara tidak sadar kita di kotak-kotakkan dengan keadaan,” beber dia.
Urusan dunia itu umum, kata dia, dan agama itu untuk urusan akherat. Bahkan model belajar di lembaga yang berbau atau rasa Islam juga secara tidak sadar mengotak-ngotakkan siswanya. Madrasah Islam yang juga mengampu pelajaran umum dan agama, secara lahiriah harus menghimpun semuanya, tidak memihak salah satu urusan dunia ataupun agama.
“Semua siswa harus berpakaian secara islami, harus memperbanyak zikir dan meminta ampunan kepada Tuhan, tanpa memberikan sebuah pengajaran bersosialisme. Hal ini juga terjadi di kalangan Universitas Islam, sebuah lembaga pendidikan yang harusnya tidak mengotak-kotakkan keadaan justru lebih parah dan ini salah satu penyebab besar kebobrokan sistem pendidik di Indonesia,” ungkap dia.
Skripsi mahasiswa harus ada kata-kata yang berbau Agama, kata dia, jika tidak ada, apa bedanya dengan universitas umum? Inilah sebuah prestasi besar kolonial Belanda yang berhasil mengumbar cara berpikir para kesatria dan srikandi Nusantara.
“Pencegahan hal tersebut hanya bisa kita lakukan dari diri kita sendiri, bagaimana kita harus mampu duduk bersama dengan menyambukan hati dan pikiran kita satu sama lain guna menemukan kebenaran yang sejati. Itulah ciri khas bangsa Nusantara,” pungkas dia. (Red-HJ44/Foto: Harian Jateng).