Salat Ied yang dilakukan di Lapangan Simpanglima Semarang |
Semarang, Harian Jateng – Banyak umat Islam bertanya, kapan dan apakah salat Idul Adha 23 September 2015 atau 24 September 2015? Menurut Aji Sofanudin, penilit Litbang Kemenag Kota Semarang, Selasa (22/9/2015) jawabannya memang beragam dan diskursus.
Baca juga: Ini 35 Lokasi Salat Idul Adha Muhammadiyah 22 September 2015.
“Tahun 2012 di Masjid At-Taqwa TK ABA Ngaliyan, Bapak Nurbini, khatib salat Idul Adha menyampaikan bahwa pelaksanaan salat Idul Adha itu ada kaitannya dengan pelaksanaan Wuquf di Arofah. Tanggal 09 Dzulhijjah, para jamaah haji wuquh dan kita yang di tanah air menjalankan ibadah puasa sunah Arofah. Argumentasi yang dibangun adalah ibadah yang kita laksanakan adalah sah sesuai syariat, selain mengikuti hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah juga sama dan sebangun dengan Kalender Saudi Arabia. Pelaksanan Ibadah Kurban/salat Idul Adha itu ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji di Mekkah, begitu penjelasan beliau,” kata dia.
Esok harinya, lanjutnya, di Masjid Ar-Raudloh Perum BSB Ngaliyan, khatib salat Idul Adha, Bapak Afnan Anshori, menyampaikan bahwa pelaksanaan salat Idul Adha adalah benar sesuai dengan syariat. Kita diperintahkan untuk mengikuti ulil amri, ayatnya Athiulllah wa’athiurrosul wa ulil amri minkum (QS An-Nisa: 59).
“Argumentasi yang dibangun adalah bahwa pelaksanaan salat Idul itu sesuai dengan mathla’ masing-masing daerah, tidak harus mengikuti Saudi Arabia. Tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji di Mekkah, begitu argumentasi beliau,” ujar dia.
Tahun 2013, lanjut Aji, sebagaimana kita tahu bahwa pelaksanaan Idul Adha antara yang mempedomani “teori wujudul hilal” maupun menggunakan “imkanurrukyat” sepakat satu suara. Hal ini karena hilal di atas 2 derajat.
“Tahun 2014, terjadi perbedaan kembali dan fenomenanya sama dengan tahun 2012. Ringkas kata, pelaksanaan salat Idul Muhammadiyah sama dengan Arab Saudi dan pelaksanaan NU dan Pemerintah berbeda selisih sehari dengan Arab Saudi,” ujar mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Unnes tersebut.
Tahun 2015, lanjut dia, faktanya sama tetapi fenomenanya berubah. Melalui Maklumat nomor 01/MLM/I.0/E/2015 tanggal 09 Rajab 1436 H / 28 April 2015 M Muhammadiyah telah menetapkan hari Arofah (9 dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari selasa 22 September 2015. Itu artinya Idul Adha jatuh pada 23 September 2015. Sementara pemerintah (dan juga NU) menetapkan Idul Adha jatuh 24 September 2015. Faktanya sama, sama-sama berbeda antara tahun 2012, 2014, dan 2015.
“Yang membedakan adalah, pelaksanaan Idul Adha antara Muhammadiyah dan Saudi Arabia tidak sama. Padahal biasanya sama,” beber dia.
Argumentasi yang dibangun, ujar dia, ada keterkaitan antara pelaksanaan Idul Adha dengan Wuquf di Arofah pun tidak bisa diterapkan tahun 2015 oleh para khatib Muhammadiyah. Ini di luar tradisi.
Menurut Aji, ada beberapa penyebab perbedaan. “Secara umum ada dua metode penentuan awal bulan Qomariyah, metode hisab (hitung) dan rukyat (melihat). Dengan wacana penyatuan kalendar hijriyah nasional yang disepakati berbagai ormas di MUI, sebenarnya problem hisab-rukyat sudah selesai. Sepengetahuan saya, yang belum disepakati sebenarnya hanya 1 masalah saja, soal kriteria, soal berapa derajat? Itu saja. Muhammadiyah berpatokan di atas 0 derajat, sementara NU berpatokan di atas 2 derajat,” jelas dia.
Sekiranya NU bermurah hati untuk menurunkan harga, kata dia, sementara Muhammadiyah juga berani “menaikkan” harga, barangkali masalah perbedaan ini bisa selesai. Memang susah, namun jika ada kemauan pasti ada solusi. Muhammadiyah bisa belajar dari fenomena tahun 2015 ini, tidak harus 0 derajat, ya katakanlah antara 0 sampai dengan 2 ada angka 1.
“Barangkali bisa berdalih, kenapa Arab Saudi menetapkan 10 Dzulhijah jatuh 24 September 2015 itu karena sedang ada cuaca ekstrim, tetapi faktanya tinggi hilal juga masih di bawah 0,5 derajat (bahkan ¼ derajat),” pungkas dia.
Pemeritah cq Kemenag juga, kat adia, saya kira tidak harus sama dengan kesepakatan MABIM yang mempedomani 2 derajat. Terlalu luas negara kita kalau harus sama dengan Singapura dan Brunei.
“Salat Idul Adha aja koq diributkan, bukankah salat Idul Adha itu sunnah? ,” pungkas dia. (Red-HJ44/Foto: AS/Harian Jateng).