Suasana FGD, Selasa (22/9/2015) |
Kudus, Harian Jateng – Bidang Industri Agro Kimia dan Hasil Hutan (IAKHH) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Dinperindag) Provinsi Jawa Tengah menggelar Focus Grup Discussion (FGD) Blue Print Pembinaan Industri Hasil Tembakau (IHT) Jawa Tengah di Aula Masjid Darul Ilmi Universitas Muria Kudus (UMK), Selasa (22/9/2015).
Acara yang dibuka sekaligus dipandu Kepala Bidang (Kabid) IAKHH Dinperindag Provinsi Jawa Tengah, Ratna Kawuri SH., ini dihadiri para pelaku usaha IHT, dinas/instansi terkait di Jateng, Demak, Kudus, dan Jepara, serta asosiasi IHT di Kudus. Narasumber dalam kesempatan itu adalah tim penyusun blue print IHT dari Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) UMK, yang terdiri atas Dr. Mamik Indaryani MS., Zamhuri, dan Edy Supratno.
Dr. Mamik Indaryani MS., pada kesempatan itu menyampaikan berbagai problem IHT di Jawa Tengah. Menurutnya, ada empat persoalan pokok yang dihadapi IHT, yakni masalah bahan baku tembakau, politisasi tembakau, industri rokok, dan kelembagaan bisnis IHT.
‘’Untuk bahan baku, persoalan yang dihadapi antara lain jumlah produk masih belum memenuhi kebutuhan tembakau dalam negeri, kualitas masih perlu ditingkatkan sesuai permintaan, dan penggunaan pupuk yang cocok untuk varitas tembakau Temanggungan,’’ katanya.
Terkait politisasi tembakau, tambahnya, bisa dilihat dengan kebijakan (adanya Peraturan Daerah) tentang pembinaan IHT yang komprehensif, jelas dan tegas untuk pelaku IHT dan stakeholder di Jawa Tengah bagi keberlanjutan usaha dan bisnis IHT.
‘’Kami membayangkan, Provinsi Jawa Tengah memiliki sikap berbeda dengan provinsi lain, terkait keberlanjutan IHT. Perlu keberanian lintas sektoral untuk mendukung keberlangsungan industri kretek ini. Industri tembakau adalah satu-satunya yang bisa bersaing di pentas global, tanpa ada campur tangan pemerintah,’’ tegasnya.
Edy Supratno, memaparkan IHT dari sisi budaya, dengan memotret dua kota (kabupaten), yakni Temanggung dan Kudus. ‘’Di Desa Campursari, di lereng Gunung Ngrau, ada Balai Desa yang membanggakan diri sebagai ‘Negeri Tembakau’ di saat tembakau di serang sana sini,’’ jelasnya.
Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar Temanggung, tanaman tembakau diyakini dibawa oleh Ki Ageng Makukukan, baik yang di Lereng Sindoro Maupun Sumbing. Tembakau diambil dari kata ‘’Iki Tambaku’’.
Ritual-ritual dan budaya banyak lahir mengiringi adanya pertanian tembakau. ‘’Di Temanggung, setiap tahun mereka nanggap wayang berjudul ’Kembalinya Dewi Sri’, ada berbagai tradisi kenduren (lekas macul, lekas tandur. Wiwit, membuat jenang, membuat larapan dan anyap-anyapan), hingga tradisi penghormatan terhadap Ki Ageng Makukukan dan juga ke makam Sunan Kudus yang dianggap sebagai guru Makukuhan.
Di Kudus, kebudayaan yang muncul, antara lain berdirinya Museum Kretek, Tari Kretek (tercipta ketika museum kretek akan diresmikan), dan tradisi di kalangan pekerja kretek, seperti iripan (arisan), munculnya pasar tiban, warung fajar, hingga yang terbaru adalah Gerbang Kudus Kota Kretek. ‘’Ini sesuatu yang istimewa, karena banyak kebudayaan dan tradisi terbentuk dari keberadaan kretek,’’ paparnya.
Agus Suparyanto dari Forum Komunikasi Perusahaan Rokok Kecil Kudus, mengatakan, bahwa IHT itu dikriminalisasi, seolah-olah rokok adalah nuklir, bahkan sampai ada kelompok yang membawa-bawa agama dengan mengeluarkan fatwa haram.
‘’Bagaimana nasib kelompok pelaku IHT kecil di Kudus? Kami mengharapkan, adanya fasilitasi bukan sekadar pada fisik saja. Di luar itu, apakah rasa nasionalisme kita sudah hilang, sehingga mendiskriminasi kretek yang merupakan hasil penemuan orang Indonesia?’’ ungkapnya.
Dia pun menegaskan, jika kretek merupakan temuan asli orang Indonesia, maka harus berani melakukan penolakan kepada asing.
“Anehnya lagi, Kudus sekarang ada Peraturan Bupati (Perbup) Kawasan Tanpa Rokok (KTR), padahal Kudus memiliki satu monumen (Gerbang Kota Kretek) yang sedemikian besar,” katanya. (Red-HJ33/HUMK).