Oleh : Ainur Rofiqul Aziz
Kalau hanya hidup di alam empiri dan hanya menguasai bahasa ‘Surat’,
selebar apapun seseorang merentangkan tangannya,
gunung Galunggung tidak akan sanggup dipeluknya.
Maka beruntunglah kalian, bangsa yang hidup di dua alam: alam empiri dan alam imaji,
serta menguasai dua bahasa: bahasa ‘Surat’ dan bahasa ‘Sirat’.
Jangankan gunung Galunggung, bintang Kejora pun sanggup kalian rengkuh.
* * *
Seorang bocah laki-laki berjalan sendirian di tengah hutan. Langkah kakinya yang terbungkus oleh sepatu yang sedikit kedodoran terseret-seret, menimbulkan bunyi kemerasak setiap kali ia menginjak dedaunan kering. Waktu itu matahari sudah hampir ditelan cakrawala, sepuluh menit lagi azan magrib akan berkumandang. Ia harus sudah sampai rumah sebelum magrib, kalau tidak kakeknya pasti akan sangat khawatir.
Langit mulai menggelap. Dari kejauhan, sayup-sayup azan magrib mulai terdengar. Bocah laki-laki itu pun segera mempercepat langkah kaki-kaki kecilnya. Sekarang ia setengah berlari.
Senja telah tergusur malam. Langit di atas kepalanya kini menghitam, polos tak berbintang. Hanya ada sepotong kecil bulan yang bahkan cahayanya tak cukup memadai untuk menerangi jalan setapak yang menghubungkan desa Pesahib tempatnya tinggal dengan tempat yang baru dikunjunginya di dalam hutan ini.
Dengan napas terengah-engah dan tangan agak gemetaran, diambilnya senter kecil di kantong celana panjang birunya. Senter itu pun dinyalakannya, seketika cahaya senter langsung membelah kegelapan hutan. Anehnya, setelah lampu senter ia nyalakan, ia justru menjadi takut. Ia takut pada bayangan-bayangan aneh yang muncul setiap kali cahaya senternya menimpa tumbuh-tumbuhan di dalam hutan. Karena itu ia padamkan lagi cahaya senternya. Kegelapan pun langsung mendekapnya erat tanpa izin, tangan-tangan kegelapan menutupi matanya sehingga ia menjadi kesulitan melihat. Masalah baru pun timbul, ketakutannya tidak hilang, malah semakin membesar. Ia sungguh takut akan kegelapan ini. Maka ia nyalakan lagi senter kecilnya.
Lalu, tanpa memberi aba-aba, ketakutan pertamanya datang kembali. Jantungnya berdebar setiap kali bayangan-bayangan aneh itu muncul. Sekarang objek ketakutannya berganda, selain takut pada bayangan-bayangan aneh itu, ia juga takut pada debar jantungnya sendiri, karena itu ia padamkan lagi senternya agar bayangan-bayangan aneh itu tidak lagi mengakselerasi degup jantungnya. Tapi kemudian tangan-tangan kegelapan kembali mencengkeram kedua matanya, kali ini lebih erat dari sebelumnya. Ketakutannya pun semakin menjadi-jadi. Maka ia nyalakan lagi senternya. Begitulah seterusnya. Nyala-padam-nyala-padam. Bodoh sekali kelakuannya itu. Ketakutan semacam itu memang akan menjadi semakin dilematis dan berlipat-lipat bila sedari awal tidak dihadapi. Dan apabila terus dibiarkan, pada akhirnya hanya akan membuat orang bertingkah bodoh.
Karena perbuatan bodohnya yang selalu menyala-padam-nyala-padamkan senternya, perjalanannya menjadi sangat tidak efisien. Konsekuensinya, bocah laki-laki itu mulai merasa semakin jauh dari mana-mana. Ia merasa mana-mana sengaja menjauh darinya. Padahal ia tidak ingin ke mana-mana, ia hanya ingin pulang. Ia ingin segera sampai rumah. Yah, mari kita doakan, semoga rumahnya bukanlah mana-mana.
Akhirnya, sampailah bocah itu ke rumahnya tepat tujuh menit sebelum azan isya berkumandang. Di depan rumahnya, sudah ada kakeknya yang berdiri gelisah di depan pintu.
“Datang juga kau akhirnya. Dari mana saja kau? Seragam sekolah pun belum sempat kau ganti,” tanya kakeknya.
“Maaf, Kek. Tadi aku ketiduran di pangkuan bunda,” jawab si Bocah.
Mendengar jawaban dari cucunya, Sang Kakek pun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sampai kapan kau akan terus begini? Ingatlah, Cu. Ibundamu itu sudah lama meninggal. Pohon kenanga itu hanyalah pohon, bukan ibundamu. Ibundamu sekarang sudah tenang di alam barzah.”
Mendengar perkataan kakeknya, bocah itu hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tanpa berkata-kata.
“Sudah sana salat. Sebentar lagi isya,” kata kakeknya akhirnya. Ia sudah terlalu lelah dan bosan untuk menasihati cucu satu-satunya itu lebih jauh lagi. Setidaknya untuk hari ini.
* * *
Tiga tahun sebelumnya, saat Kahut—nama bocah itu—masih berumur sepuluh tahun, ibunda tercintanya mengalami musibah yang mengakhiri kehidupannya di dunia. Sebuah peluru nyasar yang bersumber dari senapan milik seorang oknum tentara yang sedang berlatih sendirian di hutan menembus dadanya.
Peristiwa naas itu terjadi pada suatu sore di hari Jumat. Saat itu, sang Ibunda sedang memetik bunga-bunga dari sebatang pohon kenanga yang tumbuh di dalam hutan. Kahut juga ada di sana pada waktu itu. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kucuran darah dari dada ibundanya. Ia melihat sendiri proses kematian ibundanya, dari awal sampai akhir.
Waktu itu, selama enam detik pertama setelah butir peluru menembus dada ibundanya, Kahut hanya menatap ibundanya dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Detik ketujuh ia mulai berteriak-teriak minta tolong. Teriakan minta tolong itu timbul-tenggelam di tengah-tengah kepungan tangisnya yang meraung-raung.
Oknum tentara bersenapan itulah yang pertama kali datang, disusul oleh warga desa yang datang berduyun-duyun. Sang Ibunda sempat dilarikan ke puskesmas satu-satunya di desa itu. Tapi, sebelum mobil ambulan yang akan mengantarkannya ke rumah sakit di kota datang, ibunda Kahut sudah berhenti bernapas.
Mengetahui bahwa nyawa Ibunda Kahut sudah tidak tertolong lagi, warga desa pun berang. Seandainya Kakek Kahut tidak menghalang-halangi, bisa-bisa oknum tentara itu sudah habis dihajar massa.
Sebelum napas terakhirnya ia hembuskan, Ibunda Kahut sempat berwasiat, “Kuburkan aku di bawah pohon kenanga di dalam hutan.”
* * *
Tidak sulit bagi warga desa Pesahib untuk menentukan pohon kenanga mana yang dimaksudkan oleh Ibunda Kahut. Sebab, hanya ada tiga pohon kenanga di dalam hutan yang terletak di sebelah timur desa itu. Dan hanya satu di antara ketiga pohon kenanga forma macrophylla yang letaknya saling berjauhan itu yang sering dikunjungi Ibunda Kahut. Tidak seperti dua pohon lainnya yang tinggi menjulang sampai lebih dari tujuh meter, pohon kenanga yang sering dikunjungi oleh Ibunda Kahut hanya setinggi dua setengah meter. Walaupun demikian, pohon itu lebih lebat bunganya dibandingkan dua pohon lainnya.
Setahu Kahut, berdasarkan penuturan warga desa, Ibundanyalah yang menanam pohon kenanga itu di dalam hutan sebelum melahirkan dirinya. Entah benar entah tidak cerita itu, ia tidak tahu-menahu. Sebab ia sendiri tidak pernah menanyakannya langsung kepada ibundanya.
Yang menarik, ada semacam ‘ritual mingguan’ yang selalu dilakukan Ibunda Kahut berkenaan dengan pohon kenanga itu setiap hari Jumat selepas asar. Hanya pada hari Jumat sore itulah, Ibunda Kahut selalu mendatangi pohon kenanga itu untuk memetik bunga-bunganya, yang kemudian akan diproses menjadi wangi-wangian. Sebelum memetik bunga-bunga dari pohon itu, Ibunda Kahut selalu membaca doa-doa berbahasa Arab yang tidak dimengerti oleh Kahut─sebab guru agamanya di sekolah belum pernah mengajarkannya.
“Kenanga ini adalah kenangan berharga untuk bunda, dan untukmu juga. Pohon ini menyimpan jawaban untuk pertanyaan yang tidak pernah kau tanyakan. Saat kau akil balig nanti, bunda akan menjelaskannya padamu,” jawab ibundanya waktu Kahut bertanya mengapa ibundanya selalu mengunjungi pohon kenanga itu setiap hari Jumat sore, dan selalu membaca doa-doa berbahasa Arab itu sebelum memetik bunga-bunganya.
* * *
Kakek Kahut sendiri yang menggali liang lahat untuk tempat peristirahatan terakhir Ibunda Kahut. Letaknya tidak tepat di bawah pohon kenanga itu, melainkan berjarak dua setengah meter ke barat darinya. Setelah jasad Ibunda Kahut dikebumikan, semua warga desa pun pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya Kahut dan kakeknya yang masih tinggal.
Di bawah pohon kenanga itu, Kahut duduk bersandar sambil memeluk kedua kakinya sendiri dan menangis terisak-isak. Selama beberapa saat kakeknya hanya membiarkannya. Setelah isakan tangis Kahut agak mereda, kakeknya pun mengajaknya pulang.
“Sudahlah, ikhlaskan saja kepergian ibundamu. Perpisahan memang menyakitkan, apalagi jika mendadak seperti ini. Tapi tidak ada gunanya juga kau terus menangis seperti ini, ibundamu juga pasti tidak akan senang melihatmu cengeng begini, ” kata kakeknya sambil mengusap-usap lembut ubun-ubun Kahut. “Masih ada kakek di sini. Kakek yang akan merawatmu. Jangan khawatir, Cucuku.”
* * *
Kepergian ibundanya menuju alam kubur merupakan kehilangan besar bagi Kahut. Sebab ibundanya merupakan sosok terdekat baginya, sosok yang kasih sayangnya pada dirinya paling nampak jelas dibandingkan orang lain. Selain itu, ibundanya merupakan satu-satunya orang tua bagi Kahut.
Kahut tidak pernah memiliki ayah, ia juga tidak pernah bertanya kepada siapa pun mengapa ia tidak memiliki ayah. Sebab, bagi Kahut, keberadaan ibundanya sudah lebih dari cukup untuk mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Selama masih ada ibundanya, ia merasa tidak membutuhkan sosok seorang ayah.
Setelah kematian ibundanya, Kahut sering terlihat murung. Seluruh semangat hidupnya seperti telah habis diisap oleh perasaan kehilangan yang menyesaki dadanya.
Sampai suatu hari, saat Kahut tengah tidur siang, di alam mimpinya, Kahut bertemu dengan ibundanya di dalam hutan, di tempat di mana pohon kenanga itu berada. Tapi ada yang berbeda di sana. Di sana tidak hanya ada satu pohon kenanga, melainkan dua!
Kahut terbangun dari tidurnya dengan terkejut, napasnya memburu. Segera setelahnya, Kahut langsung berlari kalang-kabut menuju hutan, ke tempat di mana pohon kenanga misterius itu hidup. Sesampainya di sana, pohon kenanga itulah yang pertama kali menjadi pusat perhatiannya. Namun, tidak ada keanehan yang dijumpai Kahut. Pohon kenanga itu masih seperti biasanya, menjulang setinggi dua setengah meter dan berbunga sangat lebat.
Arti mimpinya mulai nampak jelas saat Kahut mengalihkan pandangannya dua setengah meter ke arah barat dari pohon kenanga itu. Di sana, tepat di atas pusara ibundanya, menyembul sebuah tanaman berdaun hijau, semacam tunas—atau mungkin lebih tepat disebut bibit—yang tingginya tidak lebih dari dua puluh setengah sentimeter. Tunas pohon kenanga!
* * *
Semenjak tunas pohon kenanga—yang seolah-olah sengaja ditanam oleh seseorang itu—muncul di atas pusara ibundanya, hampir setiap hari sepulang sekolah Kahut datang mengunjunginya. Hari demi hari ia terus mengawal pertumbuhan pohon kenanga itu. Lama kelamaan, ia mulai menganggap pohon kenanga itu sebagai ibundanya sendiri.
“Allah sudah menghidupkan bunda lagi, dalam wujud sebatang pohon kenanga,” begitu penjelasan Kahut kepada kakeknya, yang membuat kakeknya gelisah.
Berulang kali Kakek Kahut berusaha menjelaskan bahwa manusia yang sudah mati tidak mungkin hidup kembali menjadi pohon, tapi Kahut sama sekali tidak menggubrisnya, ia tetap yakin seyakin-yakinnya bahwa pohon kenanga itu adalah wujud reinkarnasi dari ibundanya. Kakek Kahut juga sudah berulangkali menjelaskan bahwa ruh ibundanya sekarang sedang berada di alam barzah untuk menanti Israfil meniup sangkakalanya, tapi Kahut sama sekali tidak mempercayainya.
* * *
Tiga tahun telah berlalu semenjak sebuah tunas pohon kenanga pertama kali muncul di atas pusara Ibunda Kahut. Sekarang tunas pohon kenanga itu telah menjelma menjadi sebatang pohon berbunga lebat yang tingginya hampir sama dengan pohon kenanga senior yang terletak di dua setengah meter sebelah timur dari pohon itu.
Selama tiga tahun ini pula Kahut selalu mengunjungi pohon kenanga itu. Hampir setiap sore hari ia datang, sekadar untuk duduk bersandar padanya. Sesekali ia juga suka mengobrol dan mencurahkan isi hatinya kepada ‘ibundanya’ itu. Tak pelak, seluruh warga desa Pesahib pun mulai menganggapnya gila.
Orang yang paling merasa sedih dengan perilaku Kahut yang tidak waras itu tentu saja adalah Kakek Kahut. Tak henti-hentinya Kakek Kahut berusaha meluruskan kembali akidah cucu satu-satunya itu yang sudah sangat bengkok. Tak henti-hentinya pula Kahut membantah segala penjelasan kakeknya.
“Kakek jahat…!!! Aku tidak boleh menyayangi ibundaku sendiri…!!!” jerit Kahut suatu hari, ketika kakeknya melarang dirinya untuk terus-terusan mengunjungi pohon kenanga itu.
* * *
Setiap malam, setelah shalat tahajud, Kakek Kahut selalu memohon kepada sang Pencipta untuk mengobati akal cucunya yang sudah tidak beres. Bunyi permohonan itu selalu sama setiap malamnya. “Ya Allah, Tuhan yang Maha Pemberi Petunjuk, berilah cucuku petunjuk jalan untuk kembali ke jalan-Mu. Kembalikanlah cucuku ke jalan yang engkau ridhai, jangan biarkan ia semakin jauh tersesat sampai kesulitan mencari jalan pulang.”
Suatu hari, Tuhan mengabulkan permohonan Kakek Kahut. Sebuah peristiwa yang Kakek Kahut sendiri pun tidak tahu-menahu tentangnya berhasil mengembalikan lagi kewarasan Kahut.
Sebagaimana peristiwa yang menjadi penyebab hilangnya kewarasan Kahut, peristiwa yang mengembalikan kewarasan Kahut juga terjadi di alam mimpi. Pesan-pesan Tuhan kepada manusia memang seringkali lebih mudah dipahami apabila datang melalui mimpi. Mimpi-mimpi semacam itu dapat menjadi ‘momen pencerahan’ yang sangat berkesan bagi orang-orang yang pernah mengalaminya.
Mimpi itu datang pada suatu sore di hari Jumat. Saat itu Kahut tengah tertidur pulas di bawah pohon kenanga yang ia anggap sebagai ibundanya itu. Mimpinya itu berlatar tempat di dalam hutan di mana dua pohon kenanga yang sangat bernilai baginya berada. Yang agak aneh, tidak ada satu pun pohon kenanga di sana. Dan di sana, Kahut melihat sosok ibundanya sedang bergandengan tangan dengan seorang lelaki berwajah ramah. Lelaki itu terlihat sedikit lebih tua dibanding ibundanya.
Dalam mimpinya itu, ibunda Kahut berkata, “Anakku, gunakanlah akal sehat dan hati nuranimu. Pohon kenanga itu hanyalah simbol dan metafora. Jangan kau kacaukan akal dan hati nuranimu dengan apa-apa yang hanya sekilas kau lihat dengan matamu. Memang pohon dapat menyimbolkan manusia, dan manusia dapat menyimbolkan pohon. Tapi pohon tetaplah pohon, dan manusia tetaplah manusia.”
Setelah ibundanya berkata demikian, Sosok laki-laki berwajah ramah itu mengusap-usap lembut ubun-ubun Kahut. Lalu, terbangunlah Kahut dari tidurnya. Ia bangun tanpa terkejut. Tak ada hentakan. Yang ada hanya ketenangan.
Sebenarnya Kahut tidak benar-benar memahami arti dari mimpinya. Ia bahkan tidak mengetahui makna dari kata ‘metafora’. Tapi yang jelas, setelah mimpi itu, Kahut langsung berjalan pulang ke rumah dengan hati yang damai. Kali ini, saat langkah-langkah kakinya menyibak hutan, tidak ada lagi ketakutan konyol yang menghantuinya. Hari belum terlalu gelap, magrib masih sekitar empat puluh menit lagi, karena itu ia tidak perlu menyalakan senternya. Kali ini, kemanapun ia melangkah, ia merasa seperti sudah berada di dalam rumah. Mana-mana telah menjadi rumah baginya.
-Penulis adalah mahasiswa Fakdakom UIN Walisongo Semarang.