Cerpen Buah Kehidupan

16

Oleh Ali Damsuki   

Menjadi  “Lautan Tenang” mungkin itulah suatu hal yang aku dambakan. Tanpa getaran ombak, angin gemuruh, dan desiran pasir yang hanya memberikan kenangan buruk dalam hidupku. Malu, takut, gelisah itulah yang menjerat hati selama ini. Mungkin tidak semua orang ingin hidup seperti aku, hidup menyendiri yang tak peduli dengan jeritan orang lain. Hidup meriah, keluarga besar, dan teman yang banyak itulah sebagian besar keinginan banyak orang dalam hidup.

Disusut gubug , dibawah jembatan rel kereta tua, menjadi tempat merebahkan tubuh setelah membanting tulang seharian mencari bekas kaleng usang. Sebab, itu semua akan menjadi sumber utama penghidupan. Setelah sang pencipta memberikan azab pedih kepada keluarga besarku. Nurani yang sakit terkadang murka kepada sang pencipta.

“Tuhan, apakah ini murkamu yang telah mengazabku atas perbuatanku dulu?! Ya, saya dulu memang selalu berbuat jahat, suka mabuk-mabukan, dan berfoya-foya, bahkan suka membangkang orang tua. Tapi, tidakkah tuhan memberikan kesempatan pada tubuh ini untuk memperbaiki diri” Kata  Indra dengan tangis dan marah.

Roda kehiduan memang benar adanya. Segala bentuk kejahatan akan menerima pahit, begitupun sebaliknya. Pohon yang ditanam apabila dirawat dengan niat kebaikan akan menghasilkan buah yang manis dan segar. Sedangkan pohon yang ditanam dengan niat buruk tentu, akan menhasilkan buruk pula. Jadi kehdupan nyata ini tidak akan memberikan pengkhianatan kepada siapapun.

Semenjak gemerlap kehidupan berada di diri Indra. Indra lupa akan tanggung jawab kepada sesama manusia lainnya. keluarga, teman, orang di sekelingnya, bahkan orang tua. Kemewahan yang menyihir hati Indra telah merasuk ke dalam diri, sehingga jiwa dikuasai oleh materi yang akan menjerumuskannya ke dalam kesesatan hati.

Suatu ketika ditengah dinginnya malam, tepat berada di Istana megah keluarga Indra. Indra telah melakukan pesta besar-besaran bersama teman-temannya yang baru dikenal semala seminggu.  Sedangkan posisi keluarga Indra telah berada di luar kota, jauh disana menjalankan tugas kantor. Sang pembantu Minahlah satu-satunya yang diberikan amanah oleh keluarga Indra ketika pergi.

“Ayo kawan-kawan kita pesta, kita akan minum 3 hari penuh tanpa ada yang mengganggu!” tutur Indra dengan mabok.

“Wah… hebat kamu ndra, bisa mengadakan pesta selama 3 hari penuh di tempat yang mewah. Saya beruntung punya temen seperti kamu. Apalagi kalau momen-momen seperti ini kita lakukan  setiap hari, pasti seru tuh…. gimana ndra? Sahut Wawan temen Indra.

“Kalau masalah itu mah kecil, bisa diatur. Jangan lupa lain kali kalian harus bawa pacar kalian untuk ikut merayakan pesta seperti ini. Oke kawan…!” sahut Indra dengan mabuk.

Tiga kali mentari muncul, tiga kali pula sang rembulan datang. Pergantian keadaan datang pesat tetap berlanjut. Entah gerakan jin apa yang telah merasuki jiwa Indra dan teman-temannya. Seolah hidup hanya permainan belaka. Dilain sisi jiwa minah takut dengan keadaan itu. Hati menciut, bibir membungkam tak berani untuk melaporkannya kepada sang majikan. Hanya tuhanlah tempat peraduan.

“Ya Tuhan,… Apa yang harus saya lakukan melihat semua ini? Saya teralu takut untuk menghentikan semua ini. mulutku terasa terkunci, badan tak mau pergi, sedangkan tuan tak juga kembali. Saya sangat merasa berdosa melihat dan berada di tempat seperti ini.” Tutur Minah dengan rasa takut.

Minah memang pembantu yang datang baru 2 bulan yang lalu. Sebab, dari pangalaman sebelumnya banyak juga pebantu-pembantu yang tidak betah dengan kelakukan Indra yang merugikan. Bahkan ada pembantu yang dibully oleh Indra, sampai diperkosa. Oleh karena itu, sang majikan sering gonta-ganti pembantu. Memang kejam, itulah ungkapan yang sesuai dengan sikap Indra. Bagai binatang yang gila nafsu dunia.

Waktu terus bergulir. Kokokan ayam, terangnya matahari tidak pernah akan hilang hingga dunia menghilang. Begitu pula dengan kehidupan Indra. Setelah melakukan pesta besar bersama teman-temannya. Dia pun tetap melakukan hal yang merugikan orang lain. Di sekolah tempat ia belajar, dia sering melakukan onar bahkan melakukan pemakalakan di sekolah.

“Serahkan… uang yang ada disakumu!” suruh Indra terhadap Wiwin salah satu temen di sekoahnya.

“Jangan Ndra, ini uang untuk membayar buku dan semester tahun ini..!’” minta Wiwin sambil menangis.

“Saya tidak peduli…!!! itu urusan kamu, yang penting saya dapat uang untuk membeli minuman….!! perintah Indra dengan kasar.

“ Tolong ndra, Jangan… jangan. Apa salah saya kepadamu. Saya kan tidkan pernah mengganggumu. Apalgi kamu anak orang kaya, uang sekecil ini pasti tidak ada gunanya buat kamu” tutur Wiwin sambil merintih.

“Ah….. Bodo amat. Sudah sini berikan! Jangan banyak omong!” sahut Indra dengan kasar.

Kehidupan Indra, memang sangatlah menakutkan. Sampai takutnya kelelawar yang menakutkan pun tak mau singgah didalamnya. Dulu kehidupan Indra sangatlah harmonis, penuh canda tawa dan kebahagiaan. Karena dia anak Tunggal dan dimanja. Kejadian waktu ditinggal oleh kedua orang tuanya yang sibuk kerja, menjadikan dia bersikap seperti itu.

Di malam yang sunyi, bertemankan rembulan dan bintang yang bersinar, serta suara-suara malam yang bertaburan. Indra seringkali melamun dan menyayangkan kondisi tersebut. disaat itu pula tetesan air mata tak mampu dibendung lagi. Seluruh perasaan tercurahkan dengan malam yang sunyi dan sendiri di teras luar.

“Ya… Tuhan mengapa saya sering sendiri. Padahal saya memiliki Orang Tua, untuk apa mereka ada? Saya tidak ingin mereka mencari uang untukku, saya hanya ingin perhatian mereka, kasih sayang mereka. Kapan itu bisa terjadi, Tuhan?” Tutur Indra dalam hati sambil menatap ke arah langit tua.

Sesekali itu pun, Minah si pembantu melihat dan memperhatikan Indra di luar sampai sedih. Sesekali Indra terkadang meluapkan kesedihannya dengan teriak sekeras-kerasnya di depan teras. Tak lama kemudian sampai tertidur di depan teras. Saat itu, Minah masih berda di tempat peranjakan memperhatikan Indra yang tidur. Kemudian dia pergi  mengambilkan selimut untuk Indra.

“Ma’af Tuan…. Ini selimut untuk tuan. Saya sangat sedih melihat tuan seperti ini. Saya tahu tuan sering ditinggalkan orang tua, tapi mengapa tuan melakukan hal-hal yang buruk. Alangkah baiknya tuan berdo’a semoga orang tua tuan baik-baik saja, agar nanti pulang selamat. Coba, kalau orang tua tuan sudah tidak ada apa yang akan terjadi pada tuan?” tutur Minah kepada Indra dengan pelan.

Mentari pun muncul dengan sinarnya menggantikan gelapnya malam. Pasangan burung saling bersautan menyambut datangnya pagi. Indra pun terkejut melihat selimut yang berda di badannya.

“Siapa yang memberikan selimut ini? saya tadi malam ngapain saja?” tutur Indra dengan persaan yang gundah.

“Oh ya… sudah pagi. Saya harus pergi ke sekolah. Waduh saya juga lupa, hari ini ada Ujian Semester. Saya belum belajar lagi”. Tutur Indra sambil bergesa-gesa.

Sangatlah aneh, padahal selama sekolah Indra tidak pernah merasa dia sedang belajar di sekolah, apalagi belajar sebelum ujian. Hal itu pun menjadi sebuah kebingunagan di mata Minah yang selalu memperhatikan kehidupan Indra.

“Ada apa dengan Tuan ya? Padahal  tuan sebelum-sebelumnya tidak pernah seperti ini. bahkan saya yang berada di satu atap, tidak pernah dianggap ada olehnya. Sebenarnya ada apa?” tanya Minah dalam hati.

“Miin…Bi Minah, tolong buatkan sarapan untukku pagi ini, saya sudah terlambat!!” perintah Indra dari kamar mandi.

“Iya, tuan. Saya sudah siapakan nasi goreng buat tuan”. Sahut minah dari dapur.

“Ada apa dengan tuan? Padahal dia sebelumnya juga tidak pernah memanggilku. Aku dianggap ada saja tidak”. Tanya minah dalam hati.

“Ya sudahlah, semoga ini awal yang baik bagi kehidupan tuan Indra” harap Minah.

Sesampainya di sekolah tempat dia belajar, Indra mulai belajar dengan siswa lainnya. Walaupun dia dianggap sangatlah asing bagi teman dan gurunya. Sebab, dia melakukan tidak sewajarnya yang biasa dilakukan.

“Indra, kamu tidak sakit kan? Kamu tidak sedang tidur kan?” tanya Bu guru di kelas

“Ibu, apa-apaan sih…. Ya tidaklah bu. Ibu lihat kan saya belajar di sini sam temen lainnya. masak ya saya dibilang lagi sakit, apalagi ngelindur”. Sahut Indra dengan semangat.

“Tumben-tumbenan” Gerutu Ibu guru dalam hati.

“Oh ya sudah…. ibu hanya tanya. Teruskan saja kerjaan kamu”. Tutur Ibu guru dengan senang.
Setelah beberapa bulan, lama orang tua Indra tidak pulang. Indra menjalani kehidupan seperti orang normal lainnya. Dia belajar di sekolah, bermain, dan mencoba belajar dari kehidupan masa lalunya. Seketika di malam hari, ia mulai ingat dengan orang tuanya.

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak kunjung pulang juga?” tanya dalam hati di kamar sendiri.

Tiba-tiba Minah si pembantu datang, “Ada apa tuan? Kenapa tuan melamun?” tanya minah dengan pelan kepada Indra

“Bi.. Saya ingat Ayah dan Ibu, kenapa mereka tidak kunjung pulang? Saya sangat merindukan mereka”. Tutur Indra dengan sedih.

“Tenang tuan, mereka pasti akan kembali. Tuhan akan melindungi mereka. Saya yakin orang tua tuan juga sangat merindukan tuan” sahut Minah dengan bijak.

“Iya, terimakasih bi” Tutur Indra

“Ya sudah… sekarang tuan istirahat. Ini kan sudah malam, besok tuan harus sekolah kan?” kata Bi Minah

“Iya bi” ucap Indra

Sementara itu, ketika si minah ingin keluar kamar. Dering telp kamar menjerit memanggil tangan yang halus. Si Indra pun terbangun, seketika itu kedua jemari indra mengangkat telp tersebut. kemudian tiba-tiba Indra tak mampu membendung derasnya air yang keluar dari matanya. Ternyata dia mendapat kabar tentang meninggalnya kedua orang tua Indra dalam pesawat, saat perjalanan pulang.

“Ayah…. Ibu…..?” tutur Indra dengan menangis.

“Tuan Indra, kenapa?” tanya Bi Minah

“Bi… Ayah dan Ibu meninggal bi di pesawat” sahut Indra sambil menangis

“Sabar ya Tuan. Mungkin ini ujian sang pencipta kepada tuan. Jadi tuan harus sabar.” Tutur Minah menasehati.

Beberapa bulan silam, setelah kematian kedua orang tuanya. Indra sudah tidak sekolah lagi, rumahnya sudah disita, serta seluruh hartanya telah di berikan kepada panti asuhan. Sebab, karena kelakukan Indra waktu bersama kedua orang tuanya, dia tidak pernah melakukan kebaikan. Orang tua indra berniat melimpahkan seluruh kekayaan untuk panti asuhan.

Dari sini, Indra mulai sadar bahwa kehidupan ini berputar dan tidak berhenti pada satu titik saja. Dia mulai bejar dari arti kehidupan, bahwa segala apa yang dilakuakan akan memberikan dampak, baik itu positif maupun negatif. Disamping itu, Indra juga mulai belajar dari nol untuk hidup. Dia hidup sendiri di gubug tua di bawah jembatan rel kereta api.Wallahu ‘alam bi al-shawab.

-Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here