Oleh : Ainur Rofiqul Aziz
Perlukan guru didik? Realita pendidikan di Indonesia seakan sangat jauh dari harapan bangsa, bahkan terkesan memupuskan harapan rakyat. Menyoal tentang pendidikan memang tidak pernah luput dari kontroversial. Semua berkaitan erat dengan masalah uang. Seakan pendidikan di negeri ini identik dengan materi saja. Secara umum, komponen pendidikan terdiri dari seorang pendidik, peserta didik dan lingkungan pendidikan. Dengan demikian, dapat dipastikan segala problematika yang terdapat dilingkungan pendidikan pastilah bersumber dari tiga komponen tersebut.
Keberhasilan pendidikan adalah kemampuan mengaplikasikan apa yang telah diajarkan, baik itu peserta didik maupun pendidik. Jika antara peserta didik dan pendidik sudah mampu melampaui indicator keberhasila pendidikan, maka system yang telah berjalan tidak perlu lagi diotak-atik. Namum, realita yang terjadi selama ini setiap pergantian kementrian pendidikan, systempun ikut berganti. Entah dengan dalih tidak sesuai dengan situasi dan kondisi, atau karena factor pendidikan yang dalam kontek ini adalah dana.
Berbicara masalah pergantian system pendidikan, yang telah mengalami pergantian nama seperti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 1999 dan lain sebagainya. Dalam dunia pendidikan, ini sangat membingungkan bagi peserta didik. Bahkan pendidiknya pun banyak yang tidak mengetahui akan hal itu. Di era modernisasi saat ini, segala sesutau sangat bergantung pada pendanaan. Dalam kontek ini pemerintah sangat tanggap akan realita yang ada dikalangan pendidik. Sehingga inisiatif memberikan tunjangan kepada para pendidik inilah yang dipilih sebagai solusi.
Akan tetapi, adanya tunjangan untuk para pendidik justru malah semakin mengecewakan kepercayaan Negara. Sebab, meski telah mendapat gaji dan tunjangan yang layak, para pendidik tetap masih haus akan materi. Hal disebabkan karena sifat manusia yang materialistic dan tidak pernah merasa puas. Hal inilah yang menyebabkan maslah pendidikan di Indonesia tidak kujung tercerahkan.
Tidak heran jika orang tua murid rela mengeluarkan banyak uang demi memenuhi hak pendidikan anaknya. Melihat konstalasi pendidikan yang carut-marut, tentu tidak dapat dibiarkan terus berlanjut. Akibat ri’il dari system pendidika adalah hasil yang berimplikasi buruk pada keberlangsungan Negara. Negara akan sangat banyak dihuni oleh generasi kapitalis dengan karakter saku, apabila terdapat indikasi kanker “kantong kering” maka berbagai strategi akan dilakukan.
Tindakan pemerintah memberikan tunjangan kepada para pendidik ternyata tidak dapat menyelesaikan problematika didunia pendidikan. Jika demikian, tindakan bijak yang dapat dilakukan adalah pemerintah harus membuat program baru agar dapat meningkatkan kualitas dari para pendidik dalam koridor amal yang kongkrit, yaitu memotong 10% gaji pendidik guna untuk menunjang kemajuan anak bangsa yang tidak mampu merasakan pendidikan. Sehingga ada bukti kongkrit dari apa yang telah diajarkan kepada anak didiknya atau sesuai dengan slogan jawa, GURU digugu lan ditiru. Dan jika diinterelasikan dengan agama maka termasuk dalam zakat.
Digugu itu didengarkan setiap apa yang disampaikan oleh guru, dan ditiru itu adalah apayang disampaikan, diajarkan, dan dilakukan oleh guru memang pantas dan patut untuk ditiru. Sehingga tidak ada lagi istilah menimbun harta untuk perut sendir, yang ada adalah menimbun harta untuk anak bangsa.
Jika cara terseut masih tidak dapat memperbaiki keadaan, maka hal yang selanjutnya bias dilakukan adalah menarik semua tunjangan untuk dialih fungsikan sebagai biaya pendidikan bagi para peserta didik. Istilah pahlawan tanpa tanda jasa sudah tidak pantas lagi untuk dipersembahkah bagi para guru jika mereka hanya berorientasi materialistis. Lantas untuk siapa gelar pahlawan tanpa tanda jasa dipersembahkan ? ataukah istilah itu harus terkikis oleh guru “model” sekarang?
-Penulis adalah Mahasiswa Fakdakom UIN Walisongo Semarang