Syal merah. Foto: Aliexpres.com |
Oleh Ainur Rofiqul Aziz
Syal warna merah dengan motif ala the gunners masih setia menemani hari-hari acong, ya! pemuda dengan semangat juang yang tinggi pagi itu bangun lebih awal daripada hari-hari biasanya, nampaknya persiapan tempur pagi itu sudah disiapkan dengan baik oleh acong. Pemuda yang bernama asli ahmad najib mubarok itu sangat senang bisa mengikuti kejuaraan bela diri taekwondo.
Berbekal keberanian serta restu dari orang tua tentunya, acong bergegas menuju tempat bertandingnya para takwondoin.
Acong yang sehari-hari disibukkan dengan pekerjaan sampingan demi menyelesaikan sekolahnya seperti yang diharapkan orang tuanya itu masuk ke babak final dengan perjuangan yang sangat berat. Tetangganya tidak banyak yang mengetahui bahwa acong mempunyai bakat seni bela diri yang mengandalkan kelihaian kaki itu.
Acong yang hanya dikenal sebagai anak ingusan dari desa itu diam-diam mengikuti latihan rutin seni bela diri taekwondo yang diadakan di tempatnya master andreas, ketertarikannya dengan seni bela diri dari korea itu berawal dari pertemuannya dengan Naf’an yang juga atlet taekwondo nasional. Ya! tempat dimana acong bekerja demi cita-cita yang mulia itu adalah milik Naf’an sendiri. Acong selalu bekerja sepulang sekolah ditempatnya Naf’an, dimana dia harus mengucurkan keringatnya demi lembaran kertas yang menjadikan buta para tikus-tikus berdasi. Pintu yang menjadi pijakan awal acong sedikit terbuka ketika Naf,an memberi tawaran untuk mengikuti latihan di tempatnya master andreas.
Entah apakah itu petunjuk dari ilahi robbi atau malah ujian dari yang maha kuasa, karena Acong sendiri merasa berdosa ketika harus mengikuti latihan ditempatnya master andreas. ya! karena latihan yang diselenggarakan demi mengubah warna sabuk itu diselenggarakan seminggu dua kali tepat setelah shalat maghrib, dimana acong harus ke mushola untuk ngaji dengan pak kyai, sebagaimana pesan dari ibu acong yang rambutnya mulai memutih itu. pesan yang tidak mungkin acong lupakan, pesan yang selalu melekat ditelinga acong, seperti bayangan yang tak pernah pergi dari tubuhnya.
Dalam lamunan yang panjang acong teringat pesan yang selalu dikatakan oleh ayahnya “jadilah anak yang bermanfaat” pesan yang singkat dan penuh makna ini disadari acong ketika melantunkan ayat suci al-quran dan terhenti disalah satu ayat yang berbunyi ‘Al-Khairunnasu anfauhum linnas. Acong tersadar bahwa orang yang paling baik adalah yang memberikan manfaat bagi sesamanya. Ya! itu mengapa ibunya selalu menyuruh mengaji yang benar. Ternyata semakin majunya zaman dengan banyaknya fasilitas yang sungguh membius umat manusia dalam ke fana’an, akan semakin sedikit orang yang mendalami ilmu agama.
Semakin bingung acong mengambil keputusan, apakah merelakan waktu ngajinya demi menyalurkan bakat terpendamnya atau memenuhi keinginan orang tuanya yang menginginkan anaknya pintar dalam urusan agama.
Praaaanggg!!!. Lamunan acong buyar ketika mendengar suara piring pecah dari dalam rumah, nampaknya ibu acong yang sudah sakit-sakitan itu tak kuasa lagi menahan tubuh yang mulai bergetaran itu. “kenapa gak minta tolong aku bu…” ucap acong seraya memegangi pundak ibunya dan membawa ke kasur yang sudah tak empuk lagi. “besok pagi kamu pergi ke kuburan, doakan ayahmu nak….” kata ibu acong dengan nada rendah, acong mengiyakan apa ucapan ibunya itu.
Setelah ziarah ke makam ayahnya, setelah membelikan obat untuk ibunya, setelah selesai sekolah, setelah bekerja di toko akhirnya acong menetapkan hatiuntuk menyalurkan bakat yang memang secara alami dia miliki. Secara diam-diam dia mencuri waktu ngaji untuk melatih kaki-kaki yang rasanya seperti pistol dalam genggaman rambo. Entah angin apa yang membius otak acong untuk melampiaskan semua nafsunya.
Terkadang acong merasa berdosa sendiri ketika harus berdusta kepada ibunya, izin ngaji malah ia gunakan untuk berlatih seni bela diri. Keinginan untuk jujur pada ibunya selalu kandas dalam ketakutannya jika ibunya tidak memberi izin untuk mengikuti latihan di tempatnya master andreas. Keinginan yang kuat dari acong untuk meraih impiannya menjadi atlet taekwondo nasional membuat acong berani mendustai ibunya.
Entah tak tau atau memang acong telah terbius dari nafsu kakinya untuk meluncurkan berbagai jurus tendangan yang membuat kesenangan tersendiri dalam hatinya, kepuasan yang tak bisa dikatakan dengan kata-kata, kenikmatan yang menyelimuti seluruh aliran darah dalam nadinya.
Hingga acong lupa dengan petuah yang selalu disampaikan pak kyai, bahwa menyakiti orang tua adalah dosa besar seperti yang dikatakan nabi “Apakah kalian mau kuberitakan tentang tiga macam dosa besar? Para sahabat menjawab : “Betul wahai Rasulullah, kami mau mendengarnya”. Rasulullah saw. bersabda: “Menyekutukan Allah, dan menyakiti kedua orang tua”. Ketika itu Rasulullah adalah keadaan bersandar, lalu beliau duduk dan melanjutkan pembicaraannya: “Ingatlah (jangan kau lakukan) perkataan bohong dan kesaksian palsu”. Beliau mengulangi perkataannya itu sehingga kami mengharapkan beliau menghentikan sabdanya”. Entah setan apa yang mematikan sel-sel otak acong, hingga dia tak sempat memahami petuah pak kyai.
Tournamen yang diselenggarakan pun dimulai, dengan ketekunan dan semangat, acong menyapu bersih semua lawannya hingga akhirnya acong menuju babak final yang telah diimpikan acong. Perasaan senang bercampur rasa berdosa karena telah berdusta pada ibunya semakin menghantuinya, hingga hati kecil acong mulai berontak untuk sesegera mungkin jujur pada ibunya.
Tepat ketika mega merah mulai muncul dari langit timur dan setelah semua orang menenangkan jiwa untuk sekedar mengadu pada sang khalik, acong menemui ibunya dengan langkah yang pelan serta hati yang gelisah.
Terdengar suara lirih asma-asma allah dari bibir orang tua yang mulai kering dan pecah-pecah, serta terlihat tasbih yang melingkari tangan ibu acong. Ya! Nampaknya ibu acong sedang berdzikir di samping kamar tidurnya beralaskan sajadah dengan motif ka’bah yang dirindukan banyak orang islam itu. Dengan langkah yang pelan acong menghampiri ibunya dan mengatakan semua kesalahannya karena membohongi ibunya, kesalahan karena telah mengambil waktu ngajinya untuk sekadar melatih kaki-kaki itu.
Suasana kala itu sangat sunyi sekali, hanya terdengar nyanyian jangkrik serta nada-nada khas ala pedesaan. Acong semakin tertunduk tak berdaya ketika tasbih yang berotasi di tangan orang tua itu seketika terhenti, dan bibir yang sedari tadi melantunkan asma-asma allah diam tanpa sepatah katapun.
Dipandanginya acong dengan tatapan yang membuat hati acong semakin gelisah, acong pasrah dengan apa yang akan keluar dari bibir tua itu. “ibu sudah tau semuanya dari Naf’an nak… ibu bangga kamu punya bakat yang bagus… ibu Cuma pesan jangan lupa ibadahnya…” kata-kata dengan nada lirih ini membuat senang acong, perasaan yang dari awal selalu gelisah kini berubah menjadi kebahagiaan. Dalam hatinya ia bertrimakasih pada Naf’an yang telah membantunya ketika ia tak berani jujur pada ibunya Naf’an membantu untuk menyampaikan semuanya pada ibunya.
Pagi itu seusai sekolah dengan perasaan yang senang acong berniat membelikan sajadah pada ibunya, Sebagai ucapan terima kasih pada ibunya yang telah memberi izin untuk menyalurkan bakatnya itu. Acong menyadari kalau sajadah yang digunakan ibunya sudah tak layak lagi.
Bergegas acong untuk pulang dan tak sabar segera memberikan sajadah untuk ibu tercintanya, acong segera mengayuh sepedanya dengan cepat. Sesampainya didepan rumah acong terhenti dan kaget, dilihatnya banyak orang berkumpul di rumahnya, dan terlihat jelas kibaran bendera kuning yang seakan menghancurkan hati acong. Acong mendapati ibunya sudah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Tak mungkin acong hidup sebatang kara, tak mungkin acong haruss pergi sekolah tanpa mencium bau wangi tangan ibunya, tak mungkin dibawah atap ini dia tidur sendiri.
Sesudah puas meneteskan air mata acong, setelah merampungkan ngaji dengan pak kyainya, sesudah mendapatkan juara dalam tournamen taekwondo dan mendapat beasiswa di universitas indonesia, setelah mendapat gelar sarjana, setelah bisa mengubah istana kecil ibunya menjadi istana yang megah. Itu semua dilakukan untuk kedua orang tuanya.
-Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (Fakdakom) UIN Walisongo Semarang.