Eka Amaliyah Mugi Lestari. Dok. pribadi/Harian Jateng. |
Bagi Eka Amaliyah Mugi Lestari, menjadi guru memang tak harus berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab, menurut Eka, menjadi guru bisa untuk bekal di akhirat nanti. Berstatus PNS, swasta, hororer atau wiyata itu sama saja, akan tetapi prinsipnya adalah meluruskan niat untuk ibadah.
Perempuan yang memiliki gelar Sarjana Pendidikan Islam tersebut merupakan alumnus Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) FITK UIN Walisongo Semarang.
Menurut Eka, sapaannya, menjadi guru bukan semata-mata mengejar materi atau uang, akan tetapi lebih pada mendalami dunia pendidikan dan utamanya mengabdikan diri untuk ibadah dan sebagai bekal di kehidupan kelak.
Sarjana yang kini tinggal di Jl.Hayam Wuruk RT 05,Rw 03, Desa Dukuhwaru, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal tersebut, tidak hanya mengajar di SMA.
Akan tetapi, Eka mengabdikan dirinya dengan mengajar Kelas X dan XI SMA setempat dengan waktu mengajar 36 jam dan mengajar di SD dengan durasi 6 jam.
Perempuan lulusan SD N 03 Dukuhwaru, SMP Negeri 01 Dukuhwaru, SMA Negeri 2 Slawi tersebut berprinsip, bahwa mengajar itu memang harus didasari niat berbagai ilmu.
“Saya mengajar dengan niat untuk berbagi ilmu yang telah saya dapatkan di bangku sekolah dan kuliah,” ungkap dia.
Saya, lanjutnya, juga tidak berorientasi pada uang dan besarnya gaji.
Guru tak Harus Jadi PNS
Bagi Eka, menjadi guru memang tak harus jadi PNS. “Gaji saya nanti akan dibayar di akhirat, insya Allah. Karena kalau semua diukur dengan uang saya akan mengeluh terus gak ada ikhlasnya, mengajar jadi gak menyenangkan. Semua karena lillahi taala,” ungkap dia.
Menjadi guru, kata dia, adalah pilihan yang tak pernah saya sesali. “Menjadi hidup dari perubahan orang lain adalah bahagia,” beber dia.
Dikatannya, menjadi PNS atau tidak memang pilihan. Akan tetapi, bagi Eka, PNS bukanlah orientasi utama ketika terjun di dunia pendidikan.
“Saya sendiri sebenarnya juga ingin jadi PNS, tidak munafik. Tapi PNS atau tidak, bukan berarti menghalangi untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa,” jelas dia.
Hal itu juga diamini Eka, sebab, spirit guru dalam pendidikan justru lebih utama daripada metode dan guru itu sendiri.
(Laporan Sosok Harian Semarang/Foto: EAML).