Oleh Ali Damsuki
Seorang pemimpin selalu menjadi style dan panutan bagi seluruh masyarakat di suatu Negara. Gaya kepemimpinan dan kharisma intelektual dalam menanggapi suatu problematika menjadi indikator pemimpin yang peduli dengan nasib rakyat. Sebab, secara otomatis pemimpin tersebut akan memikirkan nasib rakyat samapi ke pelosok negeri.
Untuk mendapatkan seorang sosok pemimpin yang didambakan, pemilihan menjadi sebuah keniscayaan saat proses transisi kepemimpinan. Baik dalam lingkup daerah, nasional, maupun internasional. Dalam waktu dekat ini, pemilihan pemimpin daerah (Pilkada) menjadi trending topic di setiap daerah di Indonesia, khususnya Semarang.
Pemilihan ini menjadi sangat konroversial di berbagai kalangan, baik dalam masyarakat maupun lingkunp birokrasi daerah. Banyak pro-kontra terkait dengan pilkada tersebut. Diadakannya pilkada serentak yang diproyeksikan akan diselenggarakan tanggal 2-9 Desember 2015 di 263 provinsi, kota dan kabupaten merupakan agenda permanen. Sebagai salah satu pesta demokrasi di suatu wilayah setiap pasca pemilihan pemimpin, tak dapat dinafikkan selalu menuai prolematika. Baik dalam lingkup kepentingan pribadi maupuan kelompok, seperti halnya serangan fajar atau money politic, pemalsuan suara, black campien, dan lain sebagainya yang cenderung terhadap kecurangan.
Padahal, Pemilkuada pada hakikatnya harus dilakukan karena merupakan salah satu obligatoire dalam pelaksanaan fungsi pemerintah salah satunya memilih kepada daerah sebagain pelaksana peran eksekutif tingkat daerah. Serta untuk menentukan seorang pemimpin yang amanah, jujur, dan mampu mensejahterakan rakyat. Namun, ketika dalam pilkada dilakukan tindakan-tindakan yang cenderung kepada kecurangan. Secara otomatis, pemimpin tersebut akan memberikan dampak negative terhadap masyarakat dan Negara.
Sebenarnya, system demokrasi yang ada di Indonesia kurang relevan ketika diaplikasikan terhadap masyarakat yang notabennya sebagian masyarakat Islam. System demokrasi yang cenderung mengekor pada barat, sering mengalami problem yang sangat signifikan. Baik dari segi teknis maupun teorinya. Inilah yang melatarbekangi Indonesia seringkali terjadi konflik terkait dengan system birokrasi yang ada.
Selain itu, minimnya pemahaman esensi politik yang sesungguhnya. Sehingga banyak para politikus-politikus yang memanfaatkan politik secara praktis, tanpa mengetahu impact dari perilaku tersebut.
Dari kondisi tersebut, sesungguhnya perlu ada refleksi diri dan pelurusan niat kembali terhadap para politikus di Indonesia. Makna politik tidak hanya bersifat hedonis semata, akan tetapi rekontrusi neraga merupakan makna politik yang ada.
Dari pemahaman terkait dengan politik tersebut, tentu dalam pelaksanaan pilkada akan tertib tanpa adanya adu argument, adu fisik, atau bahkan sampai bermain politik kotor. Perlu disadari bahwa, esensi politik memiliki tujuan untuk pembangunan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mari kita sebagai generasi pemimpin berikutnya mulai belajar pendewasaan politik.
-Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang.