Oleh Ana Khoirul Waro
Catatan yang sempat terabaikan
Menjejakkan kaki kembali di Kaliwungu adalah menziarahi harapan yang tersia-siakan. Membuka kembali kotak yang telah lama tersimpan rapi di rak. Kotor, penuh debu. Pandangan tertuju pada tempat parkir beratap fiber di sebelah utara bangunan beton berlantai empat. Disebelah timur agak ke utara hampir mepet tembok tetangga ada sumur. Di sumur itu, dulu, banyak yang dengan riuh menimba bergantian. Mandi. Karena tak mau terlalu lama ngantri di kotak-kotak kamar mandi.
Di parkiran beratap fiber berukuran kira-kira 7×7 meter itu, dulu, berdiri bangunan dua lantai, dengan dinding dan sekat papan, delapan kamar. Di salah satu kamar di lantai dua, sebelah utara yang menghadap ke barat yang, diatas pintu, bertulis “SUNAN GESENG”, disanalah aku bertempat ketika, sekitar 13 tahun silam, aku menjejakkan kaki pertama kali di tanah ini.
Dihampir setiap pagi, selepas subuh, tidak lupa ngapéli Lik Mahfud (semoga Allah mengampuni semua kealpaannya dan melapangkan kuburnya) untuk membeli ganjel perut; teh manis dan “blanggréng” dengan sambel terasi. Atau menunggu dua anak kecil yang dengan penuh semangat menjajakan dagangannya sebelum berangkat ke sekolah. “Gélékeee…Gélékeee…”. Sungguh aku rindu teriakan kedua bocah itu.
Tiba-tiba seperti terdengar suara yang tak asing bagiku. Ya! suara Abah dari aula memanggilku dengan pengeras suara selepas ngaji tafsir jalalain atau adzkar nawawi. Segera ku tutup pintu kamar, ku kunci dari dalam dengan paku yang menempel–yang dibengkokkan–di jerumpul pintu, kemudian krukupan sarung, pura-pura tidur. Tak peduli siapa yang berulang menggedor pintu sambil teriak: “Kang, timbali abah!” (Ndablek ya? Jangan ditiru!) Hehe
Aku masih ingat bagaimana dulu–dengan semangat–melagukan bersama bait demi bait nadhom ‘aqidatul awam, hidayatus shibyan, imrithi, alfiyah, atau membaca kembali kitab-kitab dengan makna gantung yang telah diajarkan sebelumnya sambil menunggu ustadz masuk kelas; yang hanya disekat satir dari triplek untuk memisahkan satu kelas dengan kelas yang lain.
Aku masih ingat bagaimana raut muka tegang diantara kami ketika ustadz memanggil kami satu per satu untuk maju menghafal nadhom atau sorogan. Masih terlihat jelas wajah-wajah takut tak mampu menghafal atau membaca kembali kitab yang telah dimaknai sendiri. Sebab konsekuensi ketika tak mampu menghafal atau baca kitab, kami harus rela berdiri di kelas sebelah sampai ngaji selesai. Dan itu sangat memalukan bagi kami.
Kaliwungu, membawaku kembali pada ingatan-ingatan tentang banyak hal.
Kebijaksanaan Abah dan Bu Nyai (semoga Gusti Allah senantiasa memberikan kesehatan untuk beliau), kearifan warga sekitar (apa kabar mak Sri, mak Khom, mak Nur, lik Bambang, pak Woh, om Gank, simbah–kopi slank, mami?), lalu-lalang kaum bersarung tanpa alas kaki dengan gudig yang menempel di selakangan atau sela jari, makan rame-rame dalam satu talam, seember pecerén yang diciduk sendiri untuk mandi sendiri (mambune iku lho, dikeramasi bolak-balik esih mambu ae. Hahaha), sampai penjalin yang siap mendarat di punggung-punggung para pelanggar aturan (aku termasuk didalamnya).
Pungkuran, 29/07/15 19:26
-Penulis adalah pecinta sastra, aktif di kegiatan sastra di Tegal.