Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Ia hanya sejarah dari kekayaan, perampokan dan penderitaan. Maka mengenalnya di masa purba adalah Atlantis, di masa jaya adalah Nusantara dan di masa menderita adalah Indonesia. Inilah negeri yang cara mengatasi penderitaan dan kolonialisme harusnya belajar dari kegagalan Diponegoro. He was freedom fighter who stood up to Dutch colonialism, and was betrayed and ended up in exile. Ia bersama kawannya melawan penjajahan. Bertumbuh perang Sumatra dan perang Jawa saat itu secara gagah dan diaspora. Tapi kekalahannya membuat para idealis menjadi oportunis.
Para pemilik otoritas kecerdasan dan moral kapok karena kemiskinan dan penderitaan. Maka, kebanyakan akhirnya menyerah, kalah dan bahkan menjadi kaki tangan penjajah. Inilah problem nalar dan mental kolonial yang kita warisi. Betapa berat. Tetapi bukan tidak ada jalan keluar. Sekolah postkolonialah jawabannya. Sekolah ini akan jadi ajang besar persemaian kaum muda idealis perealisasi konstitusi.
Tak mudah menerima Indonesia. Separo lebih mata warganya bengkak. Air matanya habis. Tak ada lagi kesedihan yang tersisa di wajah mereka. Makin hari, kulihat ribuan orang tuna aksara. Kupastikan puluhan ribu orang tak punya rumah. Kusaksikan ratusan ribu orang tak bisa makan. Kutangisi jutaan orang tak punya rumah. Kuperhatikan puluhan juta pengangguran tak bisa bekerja. Setiap menit KKN merajalela. Tapi aku (dan kebanyakan kita) hanya bisa membaca, menulis, mengajar dan menunggu mati. Maka air mata apalagi yang bisa kutumpahkan? Kesedihan apalagi yang kukandungkan?
Di saat sendu setiap hari, aku ingin mengajak kalian menemui mereka satu per satu. Memberinya solusi melalui dentuman besar; kerja raksasa. Revolusi Jiwa. Sebab negeri ini terlalu kaya jika hanya untuk selesaikan masalah mereka. Terlebih, menurutku ini hanya soal ketersesatan jalan ekonomi-politik saja. Tapi, harus disadari bahwa makin jauh kita tersesat (dalam jalan ekonomi-politik) maka makin jauh kita dapati ketercerahan jalan. Sebab ketersesatan itu memabukkan.
Apalagi jika tersesat kaya, saat selainnya miskin. Tersesat pintar, saat selainnya bodoh. Ya. Inilah yang sedang terjadi. Rezim makin tersesat kaya dan pintar, saat rakyat makin miskin dan makin bodoh. Maka, mereka bahagia dan tertawa saat rakyat berduka dan menangis tanpa air mata.
Kini kawan-kawan, aku bertanya, “cukupkah kita menerima ketersesatan sebagai keilmiahan dan takdir semata? Cukupkah kita hanya berdoa saat doa-doa ahli agama ribuan tahun lalu hanya sekedar doa? Cukupkah? Di mana lagi kita bisa temui air mata yang menggerakan perubahan?” Air mata yang marah karena cintanya kepada republik.
Mari sudahi tetesan air mata ini. Sebab, selama tigapuluh delapan tahun hidup di republik, kesimpulannya sederhana bahwa ”Indonesia is common sense made difficult.” Bahkan, dengan jengkelnya, kita dapat mengatakan bahwa akal sehat pun dibuat sakit. Makanya, pembangunan ekonomi-politik kita masih jargon. Beberapa indikasi menguatkan hal tersebut. BPN (9:2014), menyebut bahwa 6.2% penduduk menguasai aset nasional. Sedangkan 93.8% penduduk mendapat sisanya. Tentu, dengan komposisi yang demikian timpang, sebaran kesejahteraan tak akan terwujud, pertumbuhan ekonomi yang rendah menjadi mubazir, kesenjangan ekonomi meningkat dan kerusuhan sosial akan tampak di depan mata.
Laporan itu menjadi indikator bahwa pembangunan selama ini tidak hebat karena yang tumbuh hanya dinikmati 6.2% penduduk. Angka 6% tiap tahun menjadi pertumbuhan yang tidak berkualitas dan tidak bermakna karena hanya segelintir orang yang menguasainya. Bukankah jumlah kemiskinan 56.72% =133 juta warga Indonesia adalah buktinya?