Kesenian Barongan Blora yang menjadi local wisdom Blora. |
Blora, Harian Jateng – Barongan Blora sebagai salah satu khazanah budaya khas Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dinilai perlu masuk dalam sistem pendidikan, yaitu dimasukkan dalam muatan lokal di jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA.
Secara teori, muatan lokal adalah kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas potensi daerah, termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak menjadi bagian dari mata pelajaran yang ada.
Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada keterampilan. Namun bisa mengacu pengembangan pada potensi dan kebutuhan lingkungan, kebutuhan, minat, dan bakat peserta didik, ketersediaan daya dukung/potensi satuan pendidikan internal dan eksternal.
“Salah satunya kan budaya, selain Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) dan sejarah atau histori,” ungkap Hamidulloh Ibda, pemerhati pendidikan Blora dalam diskusi di kantor Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng, Senin (2/11/2015).
Jadi teorinya sudah jelas, kata dia, dan Blora sudah memenuhi hal itu. “Salah satu tujuannya kan mengenalkan dan menjadikan pelajar Blora lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya daerah, termasuk barongan Blora,” beber dia.
Hal itu menjadi penting karena di tengah gempuran globalisasi, kesenian menarik tersebut harus ditata rapi agar pelestariannya jelas, salah satunya dimasukkan dalam muatan lokal di dalam pendidikan.
“Muatan lokal itu sudah menjadi kewenangan tiap daerah, jadi agar bisa mengangkat kesenian ini agar dikenal dan diketahui lewat pendidikan, maka sangat pantas masuk dalam muatan lokal, khususnya di tingkat SMA, bahkan di tingkat SD dan SMP juga perlu,” kata dia.
Menurut mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang tersebut, kesenian yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat ini sangat menarik, dan sangat berbeda dengan reog ponorogo.
“Jadi muatan lokal itu seharusnya bukan hanya Bahasa Jawa saja, namun kesenian ini hanya khusus dan menjadi kearifan lokal Blora,” beber pria tersebut.
Direktur Forum Muda Cendekia (Formaci) Jawa Tengah tersebut, juga mengatakan bahwa selama ini kepedulian dan ketahanan barongan Blora hanya diuri-uri oleh segelintir orang yang sudah kerasukan cinta pada barongan saja, terutama pelaku seniman dan perajin barongan Blora.
“Kalau mau investasi seni kepada generasi muda, tentunya ya seni ini harus dimasukkan ke dalam mata pelajaran. Jadi nanti sistemnya, tidak hanya menjadi ekstrakurikuler saja, namun menjadi muatan wajib yang dipelajari mulai dari sejarah, asal-usul, filosofi, epistemologi, ontologi, aksiologi, sampai bagaimana cara memasarkan barongan Blora dalam konteks warisan sejarah dan di bidang kerajinan,” jelas dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, perlu adanya penelitian dan FGD khusus, yang membedah sejarah barongan Blora.
“Jadi sebelum menulis buku barongan Blora, perlu dikumpulkan sejarawan barongan, pelaku seni, akademisi, sampai pelaku bisnis atau perajin barongan, semua kalau sinergi, pasti kesenian ini akan abadi selamanya lewat pendidikan karena sudah tersistem,” papar peneliti barongan tersebut.
“Tujuan simpelnya, biar wong Blora ki reti Blorane gitu lah,” tukas dia. Kalau yang jangka panjang, kata dia, salah satunya ya di atas.
Contohkanlah di Brebes, kata dia, itu ada mulok cara membuat telur asin. “Jadi seumpama pelajar SMA di Brebes lulus sekolah dan tidak kuat kuliah, minimal mereka bisa membuat telur asin dan tidak jadi pengangguran. Sama seperti konsep barongan, kalau sudah jadi mulok, pelajar Blora lulus SMA, kalau nggak kuliah, mereka bisa jadi seniman barong dan pelaku bisnis barongan, kan tidak pengangguran,” ungkap dia. (Red-HJ44/Foto: Indra/Harian Jateng).