Oleh Moh. Masrur Raziqi
Bagi kita keberadaan sarung bukanlah sesuatu yang asing di kehidupan kita sehari-hari. Bahkan bisa dikatakan, hampir semua masyarakat Indonesia tidak lepas dari pakaian yang satu ini. Banyak alasan yang mendasari mengapa sarung ini begitu lekat dengan masyarakat kita. Salah satunya, disebabkan karena kain sarung ini digunakan sebagai maskot suatu daerah, seperti halnya kain poleng dan ulos. Akan tetapi, di dalam coretan sederhana yang saya tulis ini, saya tidak berbicara jauh tentang sarung-sarung kedaerahan. Melainkan berbicara mengenai sarung yang biasa di pakai oleh masyarakat pedesaan dan kaum santri ini.
Esksistensi sarung yang begitu tinggi di mata masyarakat, dapat kita lihat dari kehidupan kita sehari-hari. Berapa banyak masyarakat kita yang di setiap harinya memakai pakaian ini dalam beraktivitas. Lebih-lebih para santri di pondok pesantren, mereka sudah menjadikan sarung ini sebagai pakaian kebesaran bagi mereka, di samping mereka memang diwajibkan untuk memakai sarung dalam kesehariannya. Kendati sarung telah membumi dimasyarakat kita, ternyata masih sediki di antara kita yang mengetahui bagaimana kronologi kain sarung ini masuk dan menjamur di masyarakat kita. Serta apa saja nilai filosofis yang terkandung dalam kain ini, sehingga masyarakat terasa “ndak waleh” memakainya.
Dari berbagai literatur yang saya temukan, sarung berasal dari negeri Yaman. Di tersebut, sarung dikenal dengan sebutan “futtah”. Dalam sejarahnya, kain ini digunakan oleh para saudagar negeri timur yang hendak berdagang sekaligus berdakwah di negeri ini, sekitar abad ke 14. Dari kontak komunikasi yang terjalin dengan masyarakat pribumi kala itu, akhirnya pakaian ini mulai di lirik oleh masyarakat kala itu. Kesederhanaan dalam pembuatan dan kemudahan dalam pemakaiannya menjadi alasan mendasar mengapa kain sarung ini begitu mudah di lirik oleh masyarakat pribumi.
Selanjutnya, para saudagar ini secara perlahan melakukan agresi dakwahnya dengan cara mengundang masyarakat pribumi untuk beramah-tamah ke kediamannya. Di sela-sela jamuannya, mereka menyisipkan nasehat-nasehat agama yang mereka sampaikan kepada masyarakat. Melihat hangatnya tanggapan masyarakat pribumi terhadap upaya mereka, akhirnya para da’i ini melakukan agresi dakwahnya secara secara berkelanjutan. Mereka menjalankan misinya dengan beragam cara, ada yang menyampaikannya di sela-sela kesibukan mereka dalam beraktivitas sehari-hari. Ada juga, yang secara sengaja mengajak masyarakat pribumi untuk membentuk halaqah-halaqah yang mengkaji segala permasalahan kehidupan.
Pembentukan halaqah inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya dua hal yang monumental, yaitu cikal-bakal lahirnya pesantren dan tradisi bersarung di kalangan santri. Setelah melalui proses yang begitu panjang, akhirnya para jamaah ini secara konvensi membentuk kesepakatan bahwa, sarung merupakan pakaian kebesaran bagi santri. Pemandangan ini pun juga tidak berubah pada saat para penjajah masuk ke Indonesia. Puncaknya, ketika Belanda menguasai negeri ini. Hal ini dikarenakan penjajah Belanda ini sangat anti terhadap tradisi ke-Islaman. Sebab, selain merampas kekayaan hasil bumi milik masyarakat pribumi, mereka juga membawa misi kristenisasi, atau yang lebih kita kenal dengan sebutan misi 3G (Gold, Glory, dan Gospel).
Tekanan yang dilancarkan Belanda pada masyarakat bumi begitu luar biasa. Utamanya terhadap tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh, salah satunya adalah tokoh agama seperti kiai. Tekanan-tekanan yang dilancarkan begitu beragam, mulai dari pengasingan, penyiksaan, hingga pembunuhan. Namun, kendati demikian kondisi tersebut tidak menyulutkan semangat kaum santri dalam melakukan aksi perlawanan. Mereka tetap secara getol turut menyuarakan kemerdekaan bagi Indonesia, meski nyawa sebagai taruhannya. Sebagai simbol perlawanan, mereka (kaum santri) tetap menggunakan sarung sebagai pakaian kebesarannya. Mereka tidak gentar dengan apa yang dilakukannya dapat memudahkan Belanda dalam mendeteksi keberadaan mereka. Walaupun ancaman yang akan datang adalah penindasan dan penyiksaan.
Sejarah menjamurnya sarung yang begitu luar biasa ini, membuat mata hati saya terasa tergugah. Bahwa, ternyata tidak hanya kalangan militer saja yang berani angkat senjata, tidak hanya kalangan elit politik saja yang pandai dalam menyuarakan pandangan politiknya dan para mahasiswa saja yang mahir dalam berorasi. Namun ternyata, santri pun juga tidak kalah berani dari kalangan militer dalam menyuarakan perlawanannya, dengan memakai sarung sebagai simbol perlawanan.
-Penulis adalah Santri Pondok Pesantren MIA Tulungagung dan Pegiat literasi di Pusat Kajian Filsafat dan Theologi di Tulungagung