Perajin dandang asal Cawet, Desa Surengede, Kecamatan Kertek sedang membuat dandang dan kenceng tradisional di rumahnya, Senin (30/11/2015).
|
Wonosobo, Harian Jateng – Sebagai salah satu alat traisional, dandang sebenarnya menjadi salah satu benda unik. Akan tetapi, di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, saat ini jumlah perajin dandang tradisional tersebut mulai punah, bahkan hanya tinggal dua orang saja, yaitu Suparman dan Parjiono yang bertahan untuk tetap melestarikannya di Wonosobo.
Seperti diketahui, perajin dandang tradisional di Wonosobo, seperti contoh ditemukan di kampung Cawet, Desa Surengede, Kecamatan Kertek mulai punah. Hal itu dikarenakan tidak ada penerus yang bergeliat mendalami kerajinan membuat dandang.
Suparman perajin dandang tradisional asal Cawet Wonosobo, kepada Harian Jateng, mengatakan bawa para perajin sudah mulai beralih profesi. Karena, sudah sangat sedikit masyarakat yang membutuhkan dandang tradisional.
“Sekarang mulai bergeser, masyarakat banyak yang menykai dandang modern yang terbuat dari alumunium,” katanya disela-sela membuat dandang dari bahan tembaga dirumahnya, Senin (30/11/2015).
Dikatakannya, pada saat kejayaan dandang tradisional, hampir semua warga memilih profesi perajin dandang. Akan tetapi, perjalanan waktu peminatnya semakin sedikit maka tinggal tersisa dua orang saja.
“Dulu ada ratusan perajin dandang yang terbuat dari tembaga. Tetapi, saat ini tinggal tersisa dua perajin saja,” beber dia.
Dia juga menegaskan, bahwa untuk dandang dari bahan tembaga kualitasnya lebih terjamin. Pasalnya, bertahan sampai puluhan tahun. Namun, untuk dandang yang modern hanya bertahan beberapa tahun.
“Sebenarnya dandang tradisional itu bisa dipakai puluhan tahun. Karena, bahannya dari tembaga. Sementara dandang dari bahan alumunium hanya bertahan beberapa tahun saja,” ujar pria tersebut.
Dia juga menjelaskan, bahwa mulai turunya permintaan dandang tradisional karena harganya yang cukup tinggi. Sebab, untuk penjualan dandang dihitung perkilo.
“Satu kilo itu harganya Rp120, dan setiap dandang biasanya mencapai 2,5 kg,” katanya.
Sementara itu, Parjiono perajin dandang tradisional yang tetap bertahan mengaku, tetap bertahan karena ingin melestarikannya. Sebab, sudah pernah mengalami kejayaan.
“Dulu setiap pasangan yang sudah nikah dan hendak pisah sudah tentu pesen dandang. Tetapi, saat ini sudah sangat jarang, kalah dengan dandang modern,” papar dia kepada Harian Jateng.
Pihakanya menjelaskan, dandang tradisional itu lebih menjamin ketika digunakan untuk memasak. Pasalnya, hasilnya untuk menanak nasi lebih enak rasanya.
“Sebenarnya kalau masak pakai dandang tradisional hasilnya lebih bagus. Sebab, rasanya berbeda dengan rasa pakai dandang modern,” tandasnya.
Dikatakannya, dandang itu biasanya digunakan untuk merebus air yang uapnya digunakan untuk mengukus, sekaligus sebagai tempat diletakkannya alat lain untuk menampung beras atau nasi.
Di Wonosobo sendiri, Angsang pada dandang tembaga tradisional dibuat dari anyaman bambu berbentuk runcing di bawah, sedangkan pada dandang aluminium moderen terbuat dari aluminium pula.
Sementara di bagian bawah kukusan bambu diletakkan separuh batok kelapa yang dilubangi agar air tidak mengenai nasi atau beras untuk kebutuhan sehari-hari. (Red-HJ99/Foto: Jam/Harian Jateng).