Pudji Dwi Darmoko. |
Pemalang, Harian Jateng – Istilah golput atau golongan putih sebenarnya untuk mengambarkan pilihan politis seseorang terhadap pilihannya dalam pemilu, muncul di era orde baru sebagai bentuk protes pada pemerintahan pak Harto yang otoriter.
Akan tetapi istilah golput saat ini seakan akan bergeser maknanya, yaitu diartikan orang yang punya hak suara tetapi tidak nyoblos, tanpa melihat latar belakang politisnya, apakah sebagai bentuk protes, bentuk kemalasan karena dianggap tidak berpengaruh terhadap kehidupan pribadinya atau karena faktor teknis misalnya ketika hari pemilihan harus keluar kota, atau nelayan yang terlanjur melaut, para perantau yang tidak sempat pulang kampung atau faktor faktor lainnya.
Rendahnya partisipasi dalam pilkada pemalang 2015 yang diperkirakan hanya sekitar 58,6 % atau dengan kata lain tingginya angka golput ataupun suara yang rusak yang diperkirakan sebanyak 41,4 %.
Menurut salah satu akademisi Sekolah Tiiggi Ilmu Tarbiyah Pemalang, dan cendekiawan muda Pemalang, Pudji Dwi Darmoko, MHum., yang sering disapa Puji Dar, menyatakan faktor yang menyebabkan rendahnya partisipasi warga pada pilkada 2015 adalah mencuatnya skeptisme, sikap ini tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang skeptis akan keberlangsungan Pilkada. Kebanyakan masyarakat yang skeptis adalah kaum miskin atau perantauan. Ini dapat dimengerti karena asumsi rakyat kecil bahwa siapapun yang terpilih menjadi bupati dan wakil bupati, kehidupan mereka tidak berubah dan bahkan kehidupan mereka bertambah miskin atau dimiskinkan. Sehingga, golongan masyarakat ini lebih memilih bekerja daripada libur untuk memilih.
Dan angka masyarakat skeptis semakin tinggi, dikarenakan tidak ditemukannya hasil pembangunan daerah yang nyata dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat, infrastruktur yang rusak parah tak berujung.
Mereka lupa bahwa Kekuasaan yang didapat adalah sebuah amanah, bukan sebuah jabatan yang diperebutkan. Oleh karena itu seseorang yang menjadi pemimpin, berarti dia sedang memikul amanah yang sangat besar yang harus ditunaikan sebagaimana mestinya. “Sesungguhnya kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun jumlahnya kecil, namun mereka juga mengambil posisi untuk tidak memilih karena alasan ideologis. Umumnya masyarakat golongan ideologis golput berasal dari kalangan cendekiawan level atas yang alasan sistem politik yang buruk hingga landasan religius. Kebobrokan dan skandal yang sering disiarkan media TV semakin menguatkan keyakinan ideologis masyarakat ini .
Di samping itu faktor antara harapan dan janji-janji yang di ucapkan oleh pemimpin maupun calon pemimpin, juga merupakan salah satu pemicu golput ini.
Lebih lanjut Pudji Dar mengungkapkan untuk lebih mensejahterakan dan memajukan perekonomian sebuah daerah tentu di butuhkan pemimpin yang tidak sekedar pandai membuat dan mengobral visi-misi, kemudian berserikat melakukan korupsi merampok uang rakyat dengan segala bentuk metamorfonya dan beribu alasan.
Boleh dikatakan rakyat sudah sangat muak dengan sikap penguasa yang begitu kehilangan nilai moralitasnya, sehingga golput dijadikan sebagai alternatif pilihan.
Kenyataan yang terjadi di lapangan dari Pilkada ke Pilkada tetap saja kepala daerah seakan hanya melakukan tindakan bodoh yang sama, menebar janji, menebar uang kemudian mengambil kembali dengan paksa melalui APBN dan APBD. Kekuasaan sekarang sepertinya menjadi ajang untuk memperkaya diri dan kelompoknya. (Red-HJ99/Sarwo Edy).