Ahmad Fauzi |
Oleh Ahmad Fauzi
Penulis buku Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal
Duhai jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh. Sungguh merana dan terasingnya dirimu. Hati menangis tapi mulut harus tetap bersuara merdu. Hidupmu bagaikan dipasung di tiang salib jauh lebih lama dari yang dialami Yesus sang penebus dosa. Bedakmu yang tebal tercipta dari sengsara yang tak mau berpisah dari kulitmu. Bajumu yang terbuka dan aurat yang kau hamparkan ternyata masih kalah menariknya dari para pemimpin kita yang setiap hari memamerkan rumah mewah dan mobil mereka yang keluaran terbaru dari pabrikan terkenal. Tubuhmu, kutukan yang muncul bukan dari langit tapi ciptaan yang dinasibkan oleh kekuatan sosial dan ekonomi-politik. Adakah ahli spiritual dan mistikus yang sudi membahasakan desahanmu yang tidak kalah religiusnya dengan auman suara adzan di menara-menara rumah tuhan? Perjalanan hidupmu dalam meresapi penderitaan hingga merasuk dalam pori-pori tubuhmu adalah salah satu bentuk aktivisme spiritual yang mendarah daging dalam dunia.
“Kami tidak pernah memilih hidup seperti ini. Sejak kecil kami terbuai oleh pertanyaan tentang cita-cita masa depan. Dokter, insinyur, guru, profesor, direktur dan sebagainya, adalah suara-suara yang kini terdengar menyakitkan, karena semuanya itu adalah surga yang terampas dari hidup kami. Menatap kenyataan dan menyambung nyawa adalah jihad kami yang berlumpur. Dunia memang mencaci status dan cara hidup kami, tapi bolehkah kami bertanya; bukankah seharusnya kita terlahir dengan membawa warisan kekayaan tanah air ini sehingga kami mampu mencukupi perut dan mengisi kepala kami dengan pengetahuan. Dengan keduanya kami mampu bertarung dengan gagah di dunia pasar. Tapi, dalam kenyataannya kami dibesarkan dengan hutang dan kelaparan. Dililit usus kemiskinan, membuat kami susah mencerna peradaban. Orang tua dipenjara oleh kesengsaraan ekonomi, karena rantai kemiskinan dan kebodohan tidak mau enyah dari desa kami. Pembangunan tidak pernah sampai ke gubuk orang tua kami, karena jalur subsidi sudah dibajak oleh pegawai kelurahan, kecamatan, bupati, gubernuran dan pejabat-pejabat teras yang bekerja sama dengan babi-babi berdasi yang rakus dan perlente. Dari situlah, ekonomi-politik menasibkan hidup kami. Yang sudi mampir ke gubuk kami hanya lolongan adzan dan suara feminin ayat-ayat suci yang menuntut kami yang lemah untuk tetap hidup seperti makhluk bersayap lepas dari jejak kaki bumi. Duhai sang messiah, alasan apa yang membuat kami harus percaya padamu setiap pawai pemilu berarak-arak dengan uang dan penuh janji-janji penyelamatan?”
“Kami yang tercerabut dari kehidupan. Ibadah kami bukanlah sembahyang di masjid-masjid dan gereja-pura, tapi langkah kami menuntun para lelaki kaya menuju kamar peraduan surga. Keringat dan desahan kami adalah tasbih dan tahmid yang diajarkan setan untuk tetap dekat dengan nyawa kehidupan. Kami bersetubuh bukan karena cinta dan nafsu, tapi menghidupi nyawa yang diterlantarkan masyarakat dan negara. Persenggamaan kami menyehatkan ekonomi pusat dan daerah, kami penyetor pajak yang setia. Melakukan sesuatu yang tak mungkin dilakukan negara, itulah sedekah kami. Menceburkan diri dalam derita tapi penuh lapang dada. Bukankah hidup kami ini sungguh spiritualis? Muak dan marah, ungkapan perasaan kami pada orang-orang terpelajar dan terhormat tapi kebahagiaan mereka di dunia ekonomi dan politik justru menghisap darah kehidupan kami dengan kolusi dan korupsi. Makin cerdas dan pandai seseorang, tidak makin memperhalus watak dan akal-budinya. Pengetahuan dan pendidikan yang ada di kepala politisi dan pengusaha menjadi senjata pembunuh masa depan kami. Heran, kenapa mereka disebut orang terhormat sedang kami yang jadi korban dinamai makhluk setan, bukankah mereka lebih aniaya daripada kami.
Hidup inilah yang justru menanggung dosa-dosa para pejabat, koruptor, pendidik, pengusaha dan agamawan yang lari hanya mencari menang sendiri. Oleh merekalah, hidup kami menjadi seperti ini. Kami mampu menikmati dan menjalani kesengsaran yang diciptakan para kaum terpelajar dan terhormat. Ibadah kami adalah menanggung dosa yang lebih menyakitkan daripada yang Yesus alami, dan meminum limbah kebijakan yang dialirkan dari pabrik-pabrik pendidikan yang diciptakan negara.
Sungguh, kamilah yang patut disebut mistikus sejati meski harus menaiki tangga puncak spiritual yang dibuat setan daripada para sufi yang hanya hidup menyepi bersatu dengan tuhan tapi lupa akan kehidupan sekitar. Kami, mistikus lumpur hitam, menuju tuhan dengan tangga setan. Merasakan penderitaan dengan dzikir nyanyian dan takbir desahan malam. Menebus dan menanggung dosa, itulah ibadah kami. Semoga neraka berbelas kasihan pada tubuh ini, bahwa kami hanya berusaha melanjutkan hidup meski terlempar dari norma dan aturan masyarakat, karena mereka, para ulama dan orang terhormat hanya bisa menghujat dan memberi label haram jadah pada kami semua. Sungguh demi roh anggur, dengan melihat kami, mata kesakralan dan kesucian para ustadz dan kyai akan luntur ditelan keangkuhan mereka yang sok suci dan menghina kami.
“Doa kami, barang siapa yang sudi dan mau meresapi penderitaan kami, akan kami angkat menjadi nabi, nabi kaum pelacur, nabi kaum penjaja seks yang teraniaya oleh kejahatan ekonomi-politik negara.”
“Wahai kaum agamawan, para kyai dan ustadz, apakah ayat-ayat yang kau jual dengan murah bersama tubuhmu yang dibalut dengan benang nyala emas, dan sutera serta sorot kamera dan wibawa mampu membuatmu terhindar dari kawah neraka?”