Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Apa buah dari pilihan negara postkolonial menyetubuhi demokrasi liberal? Hanya ada dua anak biologisnya: krisis dan ketimpangan (crisis and social discrepancy).
Krisis adlh metoda kapitalis mengakumulasi kapitalnya. Ketimpangan adlh cara kapitalis mempertahankan kapitalnya. Beberapa riset menunjukkan bahwa 9 dari 10 negara postkolonial yg mengimani demokrasi liberal, kolap ekonominya krn krisis tak berkesudahan. 8 dari 10 negara postkolonial yg menyetubuhi demokrasi liberal, banjir kaum miskin tak berpreseden dan tumbuh langka konglomerat.
Di sini, nalar publik, mati. Kewenangan negara, defisit. Kewarasan pejabat, punah. Kemerdekaan bangsa, pupus.
Banjir asap, telenovela MKD, drama papah minta jatah dll jelas menunjukkan bhw pemerintah (presiden) tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk mengeksekusi setiap kebijakan publik yg bersendi kewarasan publik. Kewenangan eksekusi ini sudah ditentukan oleh kekuatan korporasi yg membiyayai presiden sblm dan sesudah berkuasa via pemilu. Intervensi korporasi dalam kebijakan publik dengan pasti telah menempatkan posisi presiden (sbg kepala negara) pada keadaan lunglai, loyo dan impoten.
Kuasa korporasi dalam menjajah-menjarah kewenangan negara telah jauh mengantarkan kehidupan warganegara limbo dan hanya bisa menonton, konsumsi atau paling banter memaki. Perilaku ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi korporasi agar tetap berdiri dengan gagah dalam penguasaan SDA&SDM. Bahkan untuk menghapus perdebatan2 subtansi kewarasan warganegara menuntut haknya, kuasa korporat hanya taburkan 0.5% buat media agar beritakan lendir 24 jam non stop.
Nalar publik akhirnya mati berkali-kali. Kematian itu menyebabkan kelumpuhan demokrasi. Dalam demokrasi yg lumpuh, cinta (suci) tak lagi tumbuh penuh seluruh. Negara jadi musuh kewarasan dan bangsa jadi mesin pembunuh kecerdasan. Cinta, negara dan bangsa makin teralienasi krn menjadi budaknya para budak kuasa kapital semata.
Apa harapan kalian kini?