Oleh Bahtiar Rizal Ainunnidhom
“Perempuan layaknya sumber mata air dan energi terbaik bagi kehidupan, sudah saatnya air ini naik ke permukaan untuk menyejukkan dahaga kemasyarakatan yang semakin kering”. (Lusia Ega Andriana)
Setiap tahunnya pada 22 Desember kita memperingati “Hari Ibu”. Dalam hal ini juga bisa disebut sebagai hari perempuan. Seringkali perayaan “Hari Ibu” jauh dari esensinya. Ekspresi ikut-ikutan merayakan gerakan kesetaraan gender sebagai budaya populer, tidak ada yang bisa memastikan apakah kodrat juga menjadi perbincangan di tengah gemerlapnya perayaan, dan kesetaraan dianggap sebagai gerakan kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Dalam dunia modern dengan fokus pada kompetensi dan performance, banyak yang meyakini bahwa gender sudah bukan merupakan faktor pembeda dominan, meski secara physical, laki-laki dan perempuan memang berbeda secara natur dan biologis. Tipe kepekaan, pendekatan, kelembutan yang identik dengan sosok perempuan sangat memungkinkan untuk menempati posisi strategis pada organisasi, lembaga, instansi tertentu.
Potensi ragawi, akal, dan hati yang dimiliki oleh perempaun seakan menjadi paket lengkap yang jika dikembangkan akan melahirkan perempuan-perempuan hebat pencipta sejarah. Hal ini pun telah dibuktikan Tri Rismani Walikota Surabaya yang kabarnya kini terpilih kembali, sepanjang sejarah Ia perempuan pertama yang terpilih sebagai Walikota Surabaya. Berbagai prestasi telah diraihnya dari tingkat nasional maupun internasional.
Mendorong perempuan untuk masuk ke sektor publik sudah sepatutnya didukung seluruh pihak, karena perempuan juga memiliki hak yang sama. Akses terhadap ruang publik bagi perempuan telah terbuka lebar. Tugas perempuan saat ini adalah bagaimana potensi ragawi, akal, dan hati yang melekat pada diri mereka dapat berkembang dan memotivasi mereka untuk terlibat aktif dalam pembangunan bangsa di berbagai sektor.
Tampaknya dewasa ini telah terjadi pergeseran makna tentang kesetaraan gender. Seorang kawan aktivis gender Muhammad Zaim mengatakan, bahwa feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan, bebas bukan berarti dapat bertindak semaunya.
Dapat dipahami bahwa kebebasan perempuan harus mempertimbangkan kodratnya sebagai ibu. Banyak kaum hawa terjun ke sektor publik namun lalai dengan tanggung jawabnya sebagai Ibu. Terlebih kasih sayang ibu pada seorang anak, apalagi di usia perkembangan 1-5 tahun sangat membutuhkan sentuhan lembut sosok Ibu. Cinta, perhatian, dan tanggungjawab terhadap sesama, merupakan dunia seorang Ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh dari setiap cinta dan kebersamaan. Anak adalah titipan Tuhan, sebagai generasi masa depan, maka jangan disia-siakan.
Kelalaian pengasuhan anak karena ibu terlalu sibuk dengan kariernya merupakan hal yang fatal. Menurut Freud, pada masa kanak-kanak, ikatan anak dengan ibu adalah ekspresi ikatan emosional yang paling mendalam. Kerinduan yang paling kuat dalam masa kanak-kanak dan sebuah kerinduan yang tidak pernah meninggalkan manusia, sampai akhirnya kembali ke ibu bumi (meninggal dunia).
Singkat kata perempuan memiliki kebebasan sesuai dengan kodratnya, tidak boleh lari dari tanggung jawab sebagai ibu yang memberikan kasih sayang kepada anak. Urusan domestik secara keseluruhan adalah tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Dan kebebasan itu bersifat kontekstual-dinamis. Semoga peringatan “Hari Ibu” kali ini tak sekedar euforia belaka.
-Penulis adalah Ketua Keluarga Mahasiswa Blora (KAMABA) Yogyakarta dan Anggota IKPM Jateng-DIY