Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, Selasa (22/12/2015).
|
Kudus, Harian Jateng – Di tengah banyaknya penilaian sementara pihak bahwa Indonesia belum benar-benar siap menghadapi kebijakan pasar bebas ASEAN (MEA), apalagi pasar global, maka ada satu komoditi yang sudah sangat siap menghadapi berbagai persaingan global, bagaiamana pun bentuknya, yaitu Industri Hasil Tembakau (IHT) atau kretek.
Hal itu disampaikan peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK), Zamhuri, Selasa (22/12/2015).
‘’IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Kretek memiliki karakter yang lebih unggul dibanding lainnya,” ujar dia.
Keunggulan karakter ini, bahkan melebihi sektor real estate dan konstruksi, kesehatan dan farmasi, telekomunikasi, bahkan jika dibandingkan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekali pun. Mulai dari inputproduksi, pengelolaan, hingga proses distribusi.
‘’Semua hal terkait input produksi, pengelolaan, hingga proses distribusi kretek, dikerjakan di dalam negeri, oleh pelaku usaha nasional, dengan melibatkan tenaga kerja yang terampil,’’ ungkapnya.
IHT, lanjut Zamhuri, merupakan industri nasional yang kuat di tengah kecenderungan de-industrialisasi. ‘’Kontribusi IHT pun sangat besar. Di tahun 2014, nilai penjualan IHT sebesar Rp 276 triliun. Jika melihat kecenderungan, tren penjualan selalu mengalami kenaikan, jika tidak ada pembatasan produksi,’’ paparnya.
Ditambahkannya, selama lima tahun terakhir, IHT memberikan kontribusi pada negara rata-rata sebesar 9,8 % terhadap pendapatan total perpajakan di tanah air. ‘’Ini menjadikan IHT sebagai salah satu kontributor utama pendapatan negara dari sektor pajak dan cukai,’’ terangnya.
Pada 2010, penerimaan cukai nasional dari sektor kretek mencapai Rp. 66,164 triliun, dan mengalami kenaikan pada 2011 menjadi Rp. 73,252 triliun, lalu pada 2012 mencapai Rp 90,55 triliun, 2013 sebesar Rp. 103,57 trilian, tahun 2014 penerimaan negara dari sektor IHT mencapai Rp. 102,75 triliun, dan pada 2015, targetnya sebesar Rp. 139 triliun.
Sementara itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja sekitar 5,98 juta, terdiri dari 4,28 juta di sektor manufakturing (produksi dan distribusi), dan 1,7 juta di sektor hulu (pertanian tembakau dan cengkih).
Selain potensi ekonomi yang besar, IHT memiliki karakteristik budaya kretek sebagai modal sosial. ‘’Perpaduan antara kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional dan budaya kretek bertahan sampai sekarang,’’ tandas Zamhuri.
Budaya kretek yang mengakar, inilah yang mendukung ‘’kestabilan’’ permintaan produksi IHT dalam negeri. ’’Ini menjadi peluang bagi eksistensi industri kretek nasional, sekaligus ancaman bagi pelaku usaha kretek nasional. Sebab, pelaku usaha asing akan mengincar potensi besar ini.
Jika tidak dikelola secara bijak oleh stakeholders, maka tidak menutup kemungkinan nasib IHT seperti komoditas lain yang dikuasasi asing di era pasar terbuka, termasuk MEA,’’ tuturnya. (Red-HJ99/Eros).