Pemalang, Harian Jateng – Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Pemalang No. 9 Tahun 1996, tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang yang menyatakan “Hari jadi Kabupaten Pemalang ditetapkan pada tanggal 24 Januari 1575 Masehi bertepatan dengan hari Kamis kliwon 1 Syawal 1496 atau 982 Hijriyah”. Tidak terasa tahun ini pada tanggal 24 januari 2016, sudah memasuki tahun ke 441. Bukan umur yang muda lagi, banyak peristiwa sejarah baik yag manis sampai yang getir menyertai perkembangan dan perjalanan Pemalang sampai seperti saat ini.
Dalam rangka memperingati hari jadi ke 441 tahun ini, pemda pemalang melalui Humas Pemalang sudah menginformasikan ke masyarakat umum, khususnya masyarakat pemalang tentang rangkaian kegiatan yang akan diadakan, sayangnya masih sebatas di sosial media, sedangkan informasi yang berupa baliho maupun spanduk belum terlihat di sudut sudut kota di seluruh kabupaten Pemalang.
Agenda pada hari Jumat tanggal 22 januari 2016, pukul 09.00 WIB akan diadakan ziarah ke makam Suronatan dan pada pukul 15.00 wib diadakan semaan al-quran di makam Pangeran Benowo, Penggarit, kecamatan Taman.
Pada hari Sabtu 23 januari 2016, mulai pukul 15.30 akan di adakan Pemalang bersholawat yang menampilkan Habib Luthfie bin Yahya dari pekalongan, dilanjutkan pemecahan rekor penabuh rabana 8.000 orang dan malamnya gelaran seni budaya dengan tajuk “Ngaji Bareng Slank” yang akan menampilkan Budayawan Zastrow Al-Ngatawi (Ki Ageng Ganjur) Feat Slank. Sebelumnya, pada pagi hari di agendakan Zastrow Al-Ngatawi, Slank beserta fans Slanker dan OI (Orang Indonesia) Pemalang mengadakan kegiatan Penanaman Pohon di Penggarit, Taman.
Kegiatan-kegiatan dalam merayakan hari jadi Pemalang ini tentunya akan disambut antusias oleh semua lapisan masyarakat, akan tetapi disisi lain perlu adanya kritikan yang kritis agar ke depannya lebih baik. Seperti yang dikemukakan oleh Puji Dwi Darmoko, Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Pemalang, Akademisi, budayawan dan Dosen STIT Pemalang. Menurut Puji Dar, Dua kegiatan tersebut sudah barang tentu sangat menarik perhatian seluruh masyarakat.
Namun ada sisi lain yang kiranya perlu dikritisi. Sebagai rakyat dan sebagai akademisi, tentu sangat tergelitik untukmencermati kegiatan menyambut HUT Pemalang tersebut.
Pertama, tentang kegiatan musik yang dikemas dengan slogan “Ngajibareng SLANK” yang konon menyedot anggaran lebih dari 500 juta rupiah, jika dana tersebut dari sponsor mungkin masih dapat dimengerti, namun manakala dana itu dari APBD, jelas sangat mencederai rakyat Pemalang, karena di saat ekonomi rakyat belum menunjukan peningkatan signifikan, justru pemerintah begitu seenaknya menggunakan dan rakyat untuk kegiatan yang hanya bersifat “wah”.
Tentu akan lebih elegan dan simpatik jika uang sebanyak itu digunakan untuk kegitan yang langsung mempunyai efekekonomi atau kemaslahatan terhadap masyarakat banyak.
Kedua, tentang kegiatan Tabuh Rebana yang akan dicatatkan di MURI ternyata juga mendatangkan implikasi yang sungguh tidak baik. Dari sudut pandang budaya, Rebana bukanlah hasil budaya Indonesia apalagi Jawa, jadi sungguh sangat bertolak belakang dengan spirit “Local wisdom (kearifan lokal)” yang selalu digemborkan pemerintah agar dijadikan sebagai unsur utama dalam pembangunan. Masih banyak budaya lokal “Pemalangan” yang perlu ditampilkan dan diuri-uri. Dari sudut pandang agama, Rebana juga bukanlah representasi nilai-nilai Islam, artinya berRebana ria tidak dapat dijadikaan sebagai cerminan adanya ruh religius.
Yang sangat memprihatinkkan adalah untuk mensukseskan acara tabuh rebana dengan melibatkan banyak orang, ada himbauan kepada sekolah-sekolah agar berpartisipasi mengirimkan siswa-siswinya berjumlah antara 50 – 60 siswa. Sementara untuk melengkapi siswa sejumlah 50 an saja dibutuhkan rebana antara 6- 8 set, di mana per set berisi 6-7 rebana dengan harga kisaran 1,6 per set rebana, maka tiap sekolah setidaknya harus mengeluarkan anggaran berkisar 10 – 15 juta tergantung jumlah siswa yang diberangkatkan. Apa keuntungan bagi Pemalang? tidak ada selain “wah” dan “hebat” karena dicatat di MURI. Harap diketahui bahwa produsen Rebana bukanlah dari masyarakat Pemalang, itu artinya ada perputaranuang sampai hampir 1 milyar hanya untuk pengadaan rebana lari keluar Pemalang, dan setelah selesai kegiatan, dapatdipastikan rebana-rebana tersebut masuk GUDANG. Hal ini hamper sama persis dengan kegiatan HUT Pemalang tahun lalu yang mengadakan pencatatan MURI untuk kegiatan “Ngebek’ bersama.
Hasilnya pasca ngebek bareng semua ebeg atau jarankepang tersebut nyaris tidak ada follow up kegiatan, semisal tiap bulan sekali ditampilkan di berbagai destinasi wisata yang ada di Pemalang. Dinas Pariwisata dan Budaya pun tak berkutik menindak lanjuti kesenian ngebek tersebut.
Perlu dipertanyakan apakah pencatatan ke MURI itu berdasar realitas jumlah peserta penabuh Rebana yang hadir di lapangan ? bukan berdasar laporan data dari panitia HUT semata ? jika ini yang terjadi bukankah sudah masuk kategori PembohonganPublik ? kenapa seakan Pemerintah begitu kehilangan ide cerdas dan cemerlang sekedar memeriahkan HUT nya? Masih banyak kesenian “lokal” Pemalangan yang perlu ditonjolkan ke dunia luar semisal kesenian Sintren, kuntulan, atau yang cakupannya lebih luas seprti wayang golek / wayang kulit yang mungkin bias ditampilkan di tiap kecamatan .
Senada dengan Puji Dar, salah satu budayawan pemalang Ki Suryo Singo Carito juga berpendapat alangkah baiknya menggali potensi kekhasan budaya daerah ataupun kekhasan daerah yang sudah ada. Misalnya pemecahan rekor seribu mangkok grombyang atau lontong dekem dimana di kota lain tidak ada, juga termasuk dalam kearifan lokal. (Red-HJ99/Sarwo Edy).