Oleh Suwanto
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan FAIB UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan PPs Pendidikan Kimia UNY
Tugas utama kepolisian yaitu melayani, mengayomi, melindungi, dan menjaga keamanan masyarakat. Hal tersebut mutlak harus dilakukan dalam kondisi apapun. Beban tugas yang demikian berat secara tak langsung dapat memicu tingkat stres yang tinggi, terutama jika terdapat berbagai tekanan baik itu di lingkungan keluarganya, masyarakat, maupun internal lembaga itu sendiri. Sebagai aparat keamanan, maka polisi sangat dianjurkan punya badan (jasmani) serta mental yang sehat agar keamanan dapat terjaga.
IPW (Indonesia Police Watch) mencatat di sepanjang tahun 2015 lalu, tingkat stres para anggota polisi cenderung meningkat. Hal ini, ditunjukkan dengan tingginya angka bunuh diri ataupun terbunuh oleh rekan kerja yang total jumlahnya mencapai 92 jiwa. Dimana 18 diantaranya meninggal dunia dan sisanya harus menjalani perawatan intensif akibat luka serius. Tentunya, hal ini patut mendapat perhatian serius, mengingat polisi memiliki peranan yang sangat vital di negara yang sering terjadi konflik.
Berdasarkan catatan IPW tersebut, dapat dilihat bahwa kondisi mental polisi dalam keadaan tidak stabil, sehingga kurang mampu mengendalikan diri. Akibatnya, dapat menghilangkan nyawa baik itu nyawa sendiri maupun nyawa rekan kerjanya ataupun orang lain. Hilangnya jiwa ini tentu bukanlah satu-satunya efek, melainkan masih banyak efek buruk lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa anggota kepolisian juga memerlukan perasaan nyaman sebelum mampu mengamankan masyarakat sebagai tugas utamanya.
Rasa hormat dan terima kasih yang semakin surut dan rendahnya gaji polisi terutama pada tingkatan bawah, diduga menjadi pemicu munculnya tekanan psikis polisi. Dan tekanan yang tidak mampu diatasi tersebut lama-kelamaan pada akhirnya menumpuk menjadi stres. Masalah psikis ini tentu saja menjadi problem yang urgen mengingat pentingnya peran polisi. Dan Jika peran tersebut disalahgunakannya, bukan tidak mungkin polisi menjadi pihak yang justru mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.
Apalagi polisi memegang dan mampu menggunakan berbagai macam senjata, terutama senjata api yang jika berada di tangan yang salah maka akan sangat berbahaya. Demikian jika berada di tangan yang tepat tentunya akan sangat membantu. Oleh karenanya, diperlukan sinergi dari berbagai pihak terutama pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Tanpa kerjasama dari pihak-pihak ini usaha untuk menjaga psikologis aggota polisi akan sia-sia.
Pemerintah yang dalam hal ini lembaga tinggi di tingkat kepolisian, sudah saatnya mengambil tindakan antisipatif seperti lebih memperhatikan kesejahteraan polisi, selalu mengecek kesehatan jasmani, psikologis, dan mental anggota polisi secara rutin. Kondisinya juga senantiasa terpantau. Dalam tes penerimaan anggota kepolisian juga harus memperhatikan faktor emosi selain juga kecerdasan intelektual dan kemampuan fisiknya.
Masyarakat sebagai komunitas yang berada di dalam naungan polisi harus bersikap bijak, terutama menanggapi image/citra polisi yang semakin negatif. Dalam artian, yang tidak berkepentingan diharapkan tidak memberi komentar yang berlebihan yang menyudutkan dan membuat citra polisi jadi negatif. Sehingga masalah tidak semakin rumit. Selain itu, masyarakat juga diharapkan tidak memberikan beban/tekanan yang berlebih terutama dalam menuntut kinerja namun. Kita harus mengapresiasi kinerjanya.
Oleh karena itu, sudah saatnya elemen masyarakat juga harus kembali belajar cara mengargai jasa seseorang sekecil apapun, termasuk jasa aparat kepolisian. Keluarga dalam hal ini punya peran yang cukup besar sehingga diharapkan keluargan mampu menjadi tempat kembali yang menyenangkan bagi anggota polisi. Bukan malah tempat yang justru memberikan tekanan yang semakin besar. Kebanggaan keluarga terhadap anggota keluarga yang menjadi anggota polisi akan memberi nilai lebih bagi perkembangan mental dan psikologi polisi, sehingga kondisi psikologi polisi akan selalu terjaga.