Konferensi pers usai diskusi, Sabtu (30/1/2016). |
Kudus, Harian Jateng – Reuni anggota Forum Alumni Aktivis Perhumpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI), yang menggelar reuni di Universita Muria Kudus (UMK), Sabtu (30/1/2016). Sekitar 80 alumni tersebut berkumpul membahas berbagai hal untuk Indonesia.
Forum reuni tersebut, justru diisi dengan beragam diskusi terkait tema-tema kebangsaan. Anggota FAA PPMI yang sudah menjadi tokoh publik pun mementingkan hadir, untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi bangsa dan negeri ini.
Mereka antara lain Abdul Rahman Ma’mun, Deddy Hermawan, Dr. Wignyo Adiyoso, Deddy Hermawan, Dr. M. Alfan Alfian, Sunarto Ciptoharjono, Dr. Arkam Asikin, Eko Bambang Subiantoro, Rusman, Didik Supriyanto, Hasan Aoni Aziz, Ines Handayani, Arif Data Kusuma.
Kemudian juga Andreas Ambar Purwanto, Ari Ambarwati M.Pd, Rommy Fibri, Dwidjo Utomo M, Rohman Budijanto, Trijono, Wahyu Susilo, Rama Prambudhi Dikimara, dan Danang Sangga Buwana.
‘’Diskusi terfokus ini kami bagi dalam tiga bidang, yakni bidang hukum dan politik, bidang ekonomi dan lingkungan, serta bidang kebudayaan dan pendidikan indonesia,’’ ujar ketua Presidium FAA PPMI Agung Sedaya dalam konferensi pers di lantai I Ruang VIP Gedung Rektorat UMK usai digelarnya diskusi.
Agung menjelaskan, terkait bidang hukum dan politik, rezim elektoral saat ini yang meliputi Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Legislatif, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menempatkan Partai Politik (Parpol) sebagai salah satu instrumen demokrasi yang penting.
‘’Namun demikian, Parpol tidak terlepas dari sejumlah persoalan yang membuatnya mandeg dan berjalan di tempat. Minimnya anggaran negara, misalnya, menjadi faktor umum Parpol mudah terjebak pada perilaku koruptif. Selain itu, kualitas politisi dalam tubuh Parpol juga beragam, yang berpotensi mereduksi kualitas politik demokrasi internal partai,’’ ungkapnya didampingi Rommy Fibri, Hasan Aoni Aziz, Dr. Alfan Alfian, Wahyu Susilo, Dwidjo Utomo M, dan Andreas Ambar Purwanto.
Di luar itu, lanjutnya, korupsi dan politik uang menjadi bentuk kejahatan yang membutuhkan praktik penegakan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal ini menjadi garda depan, institusi yang secara aktif mengantisipasi praktik korupsi di tanah air.
Belakangan, menurutnya lebih lanjut, KPK mendapatkan tantangan terkait publik yang terus mempertanyakan tingkat efektivitas KPK dalam penegakkan hukum. Kasus-kasus korupsi di tingkat elit politik dan pemerintahan yang terus bertambah, membuat masyarakat cenderung menyangsikan adanya kepastian hukum di Negara Republik Indonesia.
‘’FAA PPMI berkomitmen mendorong sejumlah agenda terkait politik elektoral dan penegakan hukum melakukan jejaring kerja untuk mendorong gerakan pemberantasan korupsi, menginisiasi program penyadaran publik melalui media digital, inovasi dan kreativitas, serta mendorong Parpol menjadi partai modern yang mampu memperbaiki kualitas demokrasi internal (kaderisasi d an manajemen yang mampu meningkatkan partisipasi publik dalam politik elektoral,’’ tegasnya.
Ditambahkannya, terkait bidang ekonomi dan lingkungan, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini memunculkan istilah pembangunan infrastrukturisme, yang mampu memunculkan harapan.
‘’Akan tetapi percepatan pembangunan juga harus disikapi secara kritis. Sebab, di tingkat mikro problemnya justru bukan pada infrastruktur, namun ketidakberanian melangkah serta minimnya inisiatif dan kreativitas. Diberlkukannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), juga menjadi salah satu dilema,’’ tutrunya.
Dijelaskannya, sebagian masyarakat khawatir MEA akan membuat masyarakat Indonesia gagal bersaing dan tertinggal dengan negara lain, apalagi belum banyak informasi yang memadai tentang MEA, sehingga kemandirian ekonomi menjadi hal penting yang harus dibangun.
‘’Beberapa hal yang harus disikapi kemudian adalah adanya tumpang tindih regulasi, karena terkadang justru menjadi penghalang kreativitas anak negeri. Terkait E-comerse, harus disikapi dengan kritis karena sepertinya memberi kemudahan. Tetapi dengan hanya menjadi pengguna, justru memberi keuntungan bagi pemodal besar,’’ lanjutnya.
Sedang di luar itu, yang menjadi perhatian, semestinya dengan penduduk Indonesia yang besar dengan pasar yang besar menjadi daya saing, setidaknya kita yang menentukan. ‘’Selama ini kita selalu melihat Indonesia dari kacamata Jakarta. Sehingga efeknya acap kali melihatnya dengan kacamata makro,’’ tandasnya.
Sedang terkait bidang kebudayaan dan pendidikan, Indonesia sebagai negara kebangsaan memiliki tanggung jawab membangun kesadaran nasional.
‘’Usaha untuk mempersatukan negeri tidak akan terwujud jika masyarakat tidak memegang peran sosial dan kebudayaan. Dalam konteks ini, masyarakat perlu digugah kembali tentang budaya persatuan dan kesatuan dalam bingkai nasionalisme,’’ urainya.
Namun fakta saat ini, ada hal-hal mengancam nasionalisme dan nyata dihadapi hari ini, yang tecermin dari sekularisme, radikalisme dan terorisme. ‘’Ketiga ideologi itu sangat kontra dengan budaya Indonesia, sehingga perlu pelurusan bersama mengenai sikap dasar masyarakat agar tidak melepaskan jiwa kebangsaan,’’ katanya.
Terkait hal ini, Agung Sedayu mengutarakan, salah satu usaha yang perlu dilakukan untuk memperkuat jiwa kebangsaan adalah dengan pendidikan. Untuk hal ini, FAA PPMI merekomendasikan menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan yang dijauhkan dari sikap intoleransi dan radikalisme.
‘’Selain itu, yaitu menjunjung tinggi budaya bangsa yang mencirikan cita rasa budaya khas Indonesia, menguatkan pola pendidikan Indonesia secara profesional antara lain melalui pendidikan literasi dan meninjau ulang Ujian Nasional (UN), dan melakukan penguatan kurikulum berbasis etika moralitas dan kebudayaan berkeadaban, sehingga hal-hal yang bersifat negatif (hasutan kebencian, pornografi dan intoleransi) tidak mendominasi,’’ paparnya. (Red-HJ99/Eros).