Ali Rido |
Oleh Ali Rido
Penulis adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Pascasarjana FH UII
Gelombang penolakan terhadap aktivitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia terlihat kian deras. Tak lama setelah Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menolak kampanye dilegalkannya pernikahan LGBT, baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang pada intinya mengharamkan aktivitas LGBT karena bertentangan dengan konstitusi dan hukum agama. Bagi entitas pro LGBT, langkah Wapres dan MUI jelas dicap sebagai diskriminasi minoritas dan ketidaksensitifan dalam penyelenggaraan negara yang berbasis konstitusi dan hak asasi manusia (HAM). Tidak hanya itu, mungkin Indonesia dipandang telah keluar dari praktik bernegara modern seperti Belanda, Belgia, Spanyol, Swedia yang telah melegalkan perkawinan sejenis dan menjadi surga bagi LGBT untuk menunjukkan eksistensi sosialnya. Atas hal itu, kemudian menimbulkan tanya apakah betul penolakan LGBT di Indonesia telah melanggar UUD 1945 dan berbelok dari koridor HAM?
Beberapa pasal di dalam UUD 1945 memang tegas menjamin setiap warga negara Indonesia memiliki derajat yang sama dengan warga negara lainnya di hadapan hukum, sehingga kelompok LGBT pun diberikan hak yang sama pula untuk bertindak dan beraktivitas. Untaian pasal tersebut setidaknya termaktub dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Namun, apakah rangkaian pasal itu dapat menjadi pelindung absolut terhadap aktivitas LGBT?. Tegas jawabannya tidak, mengapa?. Keberadaan pasal-pasal itu sesungguhnya tidak bisa dijadikan apologi untuk menghadirkan liberaliasasi dan legalisasi atas aktivitas kelompok LGBT, karena sesuai dengan konstruksi UUD 1945 bahwa dalam mengekspresikan kebebasan beraktivitas wajib menghormati HAM orang lain guna terciptanya tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalil tegas itu tersusun rapi dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
Bahkan di ketentuan selanjutnya, kontitusi juga mengijinkan pembatasan terhadap HAM, termasuk hak dan kebebasan setiap orang atas dasar; (1). untuk menghormati hak orang lain, (2). pertimbangan moral, (3). nilai-nilai agama, (4). keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Atas ketentuan itu pula, sesungguhnya pemerintah memiliki pijakan konstitusional untuk membuat regulasi berupa undang-undang yang bertujuan untuk melarang aktivitas LGBT di Indonesia.
Pesan dan sekaligus arti penting atas bangunan pasal UUD 1945 di atas adalah, pertama, bahwa paham HAM yang dianut Indonesia adalah HAM berkeadaban yang berpijak pada filosofi Pancasila sebagai ideologi negara dan konstitusi sebagai hukum dasarnya. Oleh karenanya, dalam kerja HAM Indonesia adalah merujuk pada kemanusian yang adil dan beradab dengan menjunjung tingga budaya murni Indonesia, tanpa mengekor pada praktek HAM dan budaya negara lain. Kedua, bahwa ritme kebebasan di Indonesia bukan lah kebebasan an sichyang dijalankan secara sempit dengan mengesampingkan nilai-nilai moral dan agama yang dipahami secara umum di Indonesia.
Walau demikian, penolakan terhadap LGBT tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tidak melanggar hukum. Oleh karena itu, dalam menyikapi aktivitas LGBT diperlukan langkah-langkah bijak dari pemerintah, masyarakat dan MUI. Pertama, Pemerintah beserta elemen penegak hukumnya boleh saja melarang aktivitas penyandang LGBT, tetapi penting juga untuk berperan menjadi pelindung dan penjamin hak atas rasa aman bagi kelompok LGBT karena bagaimanapun mereka juga adalah warga negara Indonesia (WNI). Artinya, tugas pemerintah hanya pada pelarangan aktivitas LGBT bukan melarang keberadaannya sebagai WNI. Pada sisi yang lain, Pemerintah dalam melakukan sosialisasi mengenai bahaya LGBT juga tidak dilakukan dengan cara menyebar kebencian.
Kedua, masyarakat sebagai komunitas yang bersinggungan langsung dengan entitas LGBT, harus turut melakukan pendekatan persuasif dan tidak mendiskriminasikan keberadaan kelompok LGBT. Keberterimaan secara terbuka terhadap komunitas LGBT menjadi hal yang wajib dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, MUI harus memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa fatwa keharaman LGBT bukan dimaksudkan untuk “melegitimasi” bagi sekelompok orang untuk melakukan anarkistis terhadap kelompok LGBT, melainkan sebagai kejelasan bahwa LGBT adalah aktivitas yang menyalahi kodrat dan ajaran agama sehingga penganutnya perlu diajak diajak ke jalan sebenarnya untuk kemudian bisa menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang bisa membangun Indonesia.
Terakhir, mengingat aktivitas LGBT merupakan hal yang bersifat pribadi dan bukan untuk disebarluaskan, maka sudah sepatutnya mereka untuk tidak melakukan promosi ataupun perekrutan terhadap orang lain apalagi sampai pada permintaan untuk dilegalkannya pernikahan LGBT. Sebagai entitas yang hidup di bumi Indonesia, maka seyogianya pelaku LGBT juga harus menyadari penuh terhadap arus ideologi dan HAM Indonesia yang dari awal jelas mengedepankan prinsip-prinsip keagamaan, keadaban dan kemanusiaan, sehingga nilai-nilai itu pula yang wajib dihormati oleh pelaku LGBT sebelum mereka menuntut penghormatan. Wallahu a’lam.