Suasana diskusi publik FAA PPMI |
Jakarta, Harian Jateng – Kasus lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBTI) dan pedofilia membuat geram beberapa aktivis. Apalagi, anak-anak, remaja Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Publik dikejutkan oleh artis Saipul Jamil yang menjadi tersangka kasus pencabulan terhadap remaja pria 17 tahun di kediamannya, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sebelumnya, dalam kesempatan yang berbeda, Jaksa Agung HM. Prasetyo menyatakan bahwa kekerasan seksual telah menjadi kejahatan luar biasa, extraordinary crime, dan Negara harus meresponnya dengan membuat landasan hukum setingkat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Apa yang disampaikan Jaksa Agung tersebut menggambarkan bahwa Indonesia memang sedang dalam keadaan darurat kejahatan seksual terhadap anak. Lebih dari 10 juta anak Indonesia mengalami kekerasan seksual dan para predator seringnya adalah orang-orang terdekat korban. Bulan lalu masyarakat riuh dengan munculnya akun Twitter @GayKids_botplg yang memajang, memamerkan foto serta identitas pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Anak-anak itu pun terstigma dengan sebutan anak-anak gay yang kemudian rentan menjadi sasaran predator dan perilaku seks menyimpang pedofil.
Sedihnya, keberadaan akun tersebut justru membuat sebagian masyarakat makin asyik berkutat dalam perdebatan pro-kontra kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBTI).
Masyarakat cenderung memposisikan fenomena akun Gaykids itu sebagai potret eksistensi LGBTI ketimbang kejahatan seksual. Bahkan menginternalisai stigma negatif pada anak, menilai akun itu milik anak-anak sesat yang berupaya membujuk anak-anak lain menjadi gay. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, eksploitasi seksual dan stigma negatif bersamaan mendera anak-anak.
Setiap anak memiliki hak tumbuh kembang yang baik, termasuk dalam hal pendidikan seksual. Namun tampaknya pendidikan seksual yang baik terhadap anak masih menjadi barang langka di negeri ini. Keluarga, lingkungan, bahkan sekolah masih menjadikan seksual sebagai barang tabu untuk dibicarakan. Hal itu menyebabkan anak secara diam-diam mencari tahu sendiri melalui berbagai sarana dan pergaulan di luar pengawasan orang tua.
Padahal di sisi lain, teknologi informasi dan kemudahan akses internet sudah sangat maju seiring dengan semakin pluralnya kondisi masyarakat. “Alhasil, anak yang belum paham konsekuensi aktivitas seksual yang mereka lakukan itu menjadi rentan terperosok dalam pergaulan seksual bebas bahkan menjadi korban eksploitasi seksual orang dewasa,” kata Agung Sedayu, Koordinator Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI).
Akun Twitter @GayKids_botplg salah satu contoh bentuk eksploitasi seksual terhadap anak. Akun itu memajang dan memamerkan foto dan identitas anak-anak usia pelajar sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA) yang mereka sebut sebagai anak-anak gay. Di saat yang hampir bersamaan bermunculan berbagai akun sejenis, seperti Gay SMP dan Gay SMA. Tidak sekedar memajang, akun itu juga berisi ajakan dan memperdagangkan anak-anak tersebut. Perbuatan eksploitasi seksual, perdagangan anak, dan praktik pedofilia jelas sebuah kejahatan serius. “Polisi harus tegas menindak dan menghukum siapapun pelakunya,” katanya.
Sikap intoleran, eksklusi dan diskriminasi membuat kelompok minoritas LGBT dalam posisi yang rumit. Masyarakat dengan modal stigma negatif akan sembrono mengaitkan keberadaan minoritas LGBT sebagai tersangka utama pedofil dan predator pemburu anak-anak. Padahal kejahatan seksual terhadap anak itu bisa dilakukan oleh siapa saja.
Masyarakat tidak boleh lupa bahwa pelaku eksploitasi seksual juga dari kelompok masyarakat heteroseksual dan sering kali adalah orang-orang terdekat anak. “Karena itu bisa mengurangi kewaspadaan kita dalam melindungi anak dari kekerasan seksual,” kata Agung.
Kebencian dan sikap mendiskriminasi kelompok minoritas LGBT jelas bukan solusi untuk menekan angka korban perilaku menyimpang pedofilia atau mengakhiri eksploitasi seksual pada anak. Memberikan ruang pendidikan seksual yang wajar dan seimbang dengan tingkat pertumbuhan anak nampaknya lebih tepat, ketimbang menduga pemilik akun banal Gaykids adalah generasi muda yang sesat tak bermoral. “Perlu komitmen dari semua pihak melawan prilaku pedofilia, siapapun mereka,” katanya. (Red-HJ99).