Oleh Dawamun Ni’am Alfatawi
Penulis merupakan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pegiat Komunitas SELeN (Selera Lokal Anak Negeri).
Kasus Samin versus Semen yang menjadi isu nasional telah membuat saya berfikir mengenai nasib sedulur samin, terutama soal penyebaran nilai dan spiritnya. Perjuangan ibu-ibu Samin tidak lama ini menjadi buah bibir di berbagai media (media massa dan media sopsial). Sedulur Samin seakan menjadi tameng sekaligus senjata dalam pendobrak dan mepertahankan sumberdaya alam.
Membenturkan Samin dengan Semen tampaknya mempunyai daya jual yang tinggi. Sejurus dengan itu orang-orang mulai mencari tahu apa itu samin? Dan bagaimana orang samin hidup?
Berbeda dengan dengan anggapan selama ini baik dizaman kolonial dan Orde Baru stereotip negatif yang disematkan pada orang samin mulai luntur. Dulu, orang samin dianggap orang bodoh dan tidak jarang dianggap gila, stereotip yang disematkan oleh pemerintah kolonial ini disematkan karean perlawanan yang dilakukannya. Cap negatif itu dimatkan lantaran kebingungan pemerintah kolonial atas perlawan perlawanan, yang tidak memungkinkan dilawan dengan senjata.
Perubahan stereotip yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah hal positif untuk orang samin. Akhirnya orang samin mulai bisa hidup tanpa pandangan negatif, bahkan mendapat sambutan baik dari orang di luar komunitas atau sukunya . Sebenarnya dengan perubahan stereotip yang terjadi, merupakan sebuah ujian bagi nilai-nilai yang diyakini dan diamalkan oleh orang samin.
Kejujuran, tidak iri hati, tidak mencuri, tidak menggangu orang lain dan sabar adalah nilai dasar yang mereka pegang. Spirit perlawanan tanpa kekerasan atas segala kesewenangan dan ketidak adilan menjadi dasar kelahiran gerakan mereka harus dibuktikan relevansinya dizaman sekarang. Musuh yang dihadapi sekarang berbeda dengan zaman sebelumnya, meskipun secara urgensinya sama.
Menurut Pramodya Ananta Toer, Ahimsanya Mahatma Ghandi terinpirasi dari spirit tanpa perlawanan orang Samin. Dari situ kita melihat pemikiran dan gagasan manusia Indonesia mampu menjadi cikal bakal perubahan di India. Lantas bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Akankah bibit ini mampu tumbuh dan berkembang kemudian menghasilkan buah?
Setelah berpuluh-puluh tahun nilai-ilai samin dianggap terbelakang dinegara ini. Mereka penganutnya dicap dengan orang bodoh dan bahkan gila, kini seakan mendobrak kesadaran kita yang mengaku sebagai manusia modern. Ini sekaligus membuktikan bahwa saat terjadi kebuntuan akan suatu persoalan tempat mencari jawaban ada pada kearifan lokal. Kita juga melihat betapa banyak orang-orang yang lahir dibumi nusantara adalah filsuf, karena mereka mampu melahirkan pemikiran dan gagasan mengahadapi problematika sosial.
Meraka lebih fasih memahami kenyataan dan mencari jawaban atasnya. Sementara manusia di zaman sekarang malah sibuk mengadopsi faham lain, bahkan terkadang memaksakan ideologi dan gagasan tidak cocok dengan budaya bangsa kita. Sekarang spirit perlawanan terhadap ketidak adilan orang Samin menghidupkan kembali optimisme masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya. Spirit itu telah menyebar dan bukan hanya menjadi milik sedulur sikep (Samin) saja.
Sampai mana spirit ini akan berkembang dan melahirkan perubahan masih menjadi misteri. Kemenangan rakyat kecil atas industri Semen di Pati Jawa Tengah telah menjadi bukti awal bahwa spirit Samin membawa perubahan. Paling tidak telah mengajarkan kita untuk lebih peduli dan merawat alam serta lingkungan sekitar kita.