Oleh Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Total hutang buat pencapresan adalah 66 Triliyun. Begitu besar. Begitu boros. Begitu mengikat. Mencekik sampai jokowi tak berkutik. Belum yg berupa non kapital: sahabat dan relawan, misalnya. Inilah resiko demokrasi pasar. Membayar apa yg dipinta pasar. Dicekik tengkulak dan rentenir.
Para tengkulak dan rentenir ini kebanyakan para pengemplang pajak. Sdh lama mereka mencuri. Via pemilu, hasil curian itu dicuci dan dilipatgandakan. Via jokowi, hasil copetan yg disimpan di negeri tax haven akan kembali via tax amnesty. Negara hanya alat bagi mereka meneguhkan perampokannya. Pemerintah yg berkuasa hanya begundalnya saja.
Akibat pertama, hapus subsidi. Kedua, naikkan pajak (kaum miskin). Ketiga, lemahnya penegakkan hukum. Keempat, perbanyak hutang (dalam dan luar negeri). Kelima, minus APBN.
Bukankah kini kita tak lagi menikmati sekolah yg terjangkau, obat yg terbeli, listrik dan air yg nyala stabil? Bukankah kita tak mendapati para pemilik rekening di Panama Papers disuruh bayar pajak? Bukankah kita sulit melihat elite dihukum berat saat rakyat dihukum semau-maunya? Bukankah utang kita rasionya per 2016 sekitar 27% (316T) dari PDB?
Masih tidak percaya? Yuk lihat postur APBN terkini: (1) APBN 2016: a)Belanja Negara= Rp 2.095.7 Trilyun. b)Pendapatan Negara= Rp 1.822.5 Trilyun.
(2) PENDAPATAN: a)Hasil pajak= Rp 1.546.7 Triyun. b)Hasil utang= Rp 273.8 Trilyun. c)Hibah= Rp 2 Trilyun.
(3)Terjadi defisit sekitar Rp 273.2 Trilyun. Dengan APBN minus ini maka terlihat bhw pemerintah tdk punya skala prioritas, tidak maksimal mencari pendapatan, tidak leluasa membuat program dan tidak mudah mengangkat PNS plus tdk bisa menciptakan lapangan pekerjaan yg luas.
Mestinya, pemerintah melakukan tiga hal: 1)Nasionalisasi aset strategis; 2)Rekapitalisasi BUMN; 3)Transformasi shadow economics menjadi economics state dng membuat UU Prostitusi, UU Narkoba, UU Perjudian.
Setidaknya, publik mengenal pemain besar yg berkuasa di shadow economic dan menjadi pencekik presiden. Pasti kita paham siapa Budi&Michael Hartono, Eka Tjipta Widjaja, Anthoni Salim, Susilo Wonowidjojo, Sri Prakash Lohia, Boenjamin Setiawan, Mochtar Riady, Sukanto Tanoto, Putera Sampoerna, Tahir, Bachtiar Karim, Theodore Rachmat, Martua Sitorus, Murdaya Poo, Ciliandra Fangiono, Achmad Hamami, Kartini Muljadi, Eddy Katuari, Low Tuck Kwong, Hary Tanoesoedibjo, Tomy Winata, Ciputra, Edwin Soeryadjaya, Djoko Susanto, Eka Tjandranegara, Harjo Sutanto, Soegiarto Adikoesoemo, Kusnan&Rusdi Kirana, Garibaldi Thohir, Sjamsul Nursalim, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, Kuncoro Wibowo, Sudhamek, Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Benny Subianto, Aksa Mahmud, Jogi Hendra Atmadja, Santosa Handojo, Prajogo Pangestu, Kiki Barki, Alexander Tedja, The Nin King, Winato Kartono, Sandiaga Salahuddin Uno, Trihatma Haliman, Arifin Panigoro, Sutjipto Nagaria, Aguan, Sofyan Wanandi, James Riyadi dan lain sebagainya.
Maka, jika hanya menggunakan pendekatan neoliberal yaitu utang, utang dan utang maka pemerintah sdng menggali kuburnya sendiri. Sebab yg dikerjakan hanya “besar pasak daripada tiang.”
Jika hanya mengandalkan tax amnesty, sesungguhnya kita sedang gantung diri. Sebab 6.519 konglomerat yg memarkir 13.300 Triliyun sesungguhnya hasil lari dari pajak, korupsi, narkoba, illegal logging, illegal fishing, human trafficking, prostitusi yg kemarin juga mensponsori pemilu dan capres2 kita. Bgmn mrk mau bayar mudah dan murah? Haehata-haehata tuan-tuan begundal. Tuan2 perlu revolusi ekonomi: kini dan sekarang.
Yang benar dan konstitusional: tangkap mereka, adili dan sita kekayaannya buat negara. Apalagi pemerintah (via BIN dan KPK) punya data yang dimiliki lengkap, mulai dari nama, paspor, nama perusahaan hingga nomor rekening dari para konglomerat hitam tersebut.
Kok bengong? Dasar! Tuan-tuan ini seperti pemerintah yang tidak memerintah dan penguasa tidak menguasai. Negara tanpa kepala negara. Merdeka tanpa kuasa. Memenangi pemilu untuk tunduk pada rentenir dan tengkulak saja. Astagfirullah.