Ilustrasi: Foto: Kriminalitas.com |
Oleh: Despan Heryansyah, SHI., MH.
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor FH UII Yogyakarta dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII
Belakangan bahaya laten miras (minuman keras) kembali mencuat, memang diakui masalah miras ini sudah sejak lama mengemuka, namun timbul tenggelam oleh pemberitaan media. Bahkan akhir-akhir ini miras memunculkan masalah-masalah baru yang kian kompleks, tidak hanya kematian tetapi juga kejahatan lain yang menjadikan orang lain yang tak bersalah sebagai korbannya. Dua kemungkinan yang setidaknya jika belajar dari pengalaman masa lalu yang ditimbulkan oleh miras.
Pertama kematian, setiap bulannya miras yang dioplos dengan barang-barang lain selalu merenggut nya, belakangan kebanyakan korbannya adalah para pelajar SMA dan SMP. Realitas yang kembali mencoreng nama baik pendidikan di negara kita. Namun ironinya, meski miras oplosan ini telah berulang kali merenggut nyawa peminumnya, masyarakat sepertinya tidak pernah takut akan bahaya tersebut. Hal ini sesungguhnya tidak hanya disebabkan oleh rendahnya moralitas dan pengetahuan masyarakat tetapi juga karena tidak adanya aturan yang secara tegas melarang miras di tingkat nasional.
Kedua kejahatan, miras dapat mengurangi (bahkan menghilangkan) tingkat kesadaran seseorang, sehingga orang itu akan melakukan sesuatu diluar kontrol kesadarannya, misalnya melakukan kejahatan.
“Musibah” moral yang menimpa bangsa Indonesia beberapa pekan terakhir sungguh sangat memilukan sekaligus memalukan. Biasanya kita geram dengan “ulah” wakil yang rakyat yang kerap mempertontonkan lakon antagonis (kontra rakyat), kini kita menyaksikan rakyat yang berulah dengan melakukan tindakan immoral yang jauh dari kemanusiaan. Krisis moral dan karakter nyatanya tidak hanya membelenggu para penguasa, tetapi juga telah menjalar kepada rakyat. Terlebih tindakan-tindakan itu sebagian besar korban dan pelakunya adalah anak-anak dibawah umur, sehingga masalah yang timbul tidak hanya berkaitan dengan moral bangsa tetapi juga mengancam masa depan bangsa jika generasinya seperti demikian.
Sebagian besar dari masalah itu disebabkan oleh miras, para pelaku sebelum melakukan kejahatan (berupa pemerkosaan dan pembunuhan sadis) terlebih dahulu mengkonsumsi miras, sehingga kesadaran menjadi berkurang dan hasrat serta keberanian melakukan kejahatan menjadi bertambah. Akibatnya, beberapa siswi SD dan SMP menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan, dan beberapa siswa yang juga masih SMP dan SMA harus mendekam di penjara. Suatu kejadian yang sesungguhnya diluar akal sehat, bagaimana mungkin anak SMP dan SMA telah memiliki hasrat serta keberania melakukan kejahatan besar berupa pemerkosaan dan pembunuhan.
Peran Negara dan Urgensi UU Miras
Dua masalah serius di atas sebagai akibat dari minuman keras (miras), berupa kematian para peminumnya atau tindakan kejahatan para peminum miras, selayaknya telah cukup untuk membuktikan bahaya laten miras yang bahkan telah sejajar dengan narkoba. Sebagai organisasi tertinggi yang memiliki sifat memaksa, memonopoli, dan mencakup semua, seharusnya negara segera mengambil peran aktif dalam masalah miras ini. Pasalnya, yang terancam tidak hanya hak warga negara untuk hidup aman dan nyaman dalam wilayah NKRI, tetapi juga generasi masa depan bangsa, ini artinya keutuhan bangsa ikut dipertaruhkan.
Namun sayangnya, hingga hari ini tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang miras secara tegas. Dengan berbagai macam alasan, akhirnya pengaturan diserahkan kepada masing-masing daerah untuk mengaturnya dalam bentuk perda (peraturan daerah). Sehingga ada daerah yang telah tegas melarang peredaran miras, tetapi ada juga daerah yang belum mengaturnya. Bagi penulis, pengaturan tentang miras tidak cukup hanya dalam bentuk perda, karena cakupan perda sangat terbatas, bahkan sanksi yang diberikanpun terbatas, sehingga efek jera yang menjadi salah satu tujuan pemidanaan tidak tercapai.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua langkah konkrit yang harus dilakukan untuk mengatasi bahaya laten miras ini, Petama, pengaturan tentang miras tidak cukup hanya dalam bentuk perda, pemerintah pusat harus campur tangan untuk mengaturnya dalam bentuk undang-undang, karena dengan undang-undang selain cakupannya luas juga dapat mengatur sanksi yang tegas terhadap pelakunya.
Kedua melalui pendidikan, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas formal di sekolah, salah satu hadis Nabi Muhammad SAW menyatakan, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang akan mengantarkannya menjadi nasrani, yahudi, atau majusyi. Ini artinya peran besar keluarga (utamanya orang tua) dalam proses pendidikan anak adalah yang paling pokok, orang tua selayaknya berperan aktif untuk memastikan anak-anaknya dalam pergaulan yang baik. Akhirnya, kebaikan bangsalah yang kita harapkan untu masa depan.