Zamhuri peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) |
Kudus, Harianjateng.com – Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait isu ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Apresiasi itu dilayangkan peneliti Puskindo UMK, Zamhuri, karena pertimbangan Presiden yang dinilainya berpihak pada kepentingan nasional. Pertama, Presiden menekankan pada para menterinya dalam menyikapi adanya FCTC ini terlebih dahulu mengedepankan kepentingan nasional.
‘’Ini perlu diapresiasi, karena pemerintah sudah semestinya mementingkan kepentingan nasionalnya. Terlebih, sektor pertembakauan merupakan salah satu sumber pendapatan nasional yang strategis yang memberikan kontriusi secara siginifikan bagi penerimaan negara dan menopang perekonomian rakyat. Tahun 2015 ini saja, sumbangan sektor pertembakuan dari cukai saja mencapai Rp. 139,1 Triliun. Ini belum termasuk pajak dan retribusi lainnya,’’ tegasnya.
Kedua, Presiden mengingatkan pentingnya mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau. ‘’Rakyat yang menggantungkan ekonominya dari sektor tembakau, sangat besar. Berdasarkan data Komisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK), sekitar 30-35 juta orang bekerja dalam rangkaian produksi tembakau, cengkih, industri kretek, serta perdagangan tembakau,’’ terangnya.
Besarnya jumlah rakyat yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor tembakau bisa lebih besar jika kita melihat dampak multiplier effect dari keberadaan produk-produk tembakau. ‘’Seperti usaha di bidang kertas, percetakan, advertising, jasa transportasi, hingga bergeraknya pasar tradisional dan modern dan lain sebagainya,’’ lanjutnya.
Ketiga, sikap Presiden yang laik diapresiasi terkait isu FCTC ini, karena tidak ingin sekadar ikut tren dari negara-negara lain. ‘’Tidak ingin sekadar ikut tren meratifikasi FCTC dari negara lain, ini merupakan kearifan dari seorang Presiden, yang tentunya berangkat dari pemahaman akan kondisi obyektif yang ada di tanah air,’’ katanya.
Di sisi lain keberadaan Gerakan Anti Tembakau (GAT) pada tahun 2016 yang mengusung isu Aksesi/Ratifikasi FCTC perlu diwaspadai. “Negara Amerika yang merupakan negara tempat Bloomberg tinggal saja belum aksesi atau ratifikasi FCTC. Padahal posisi Bloomberg saat ini adalah Walikota New York, orang terkaya ke-6 di AS dan ke-8 di dunia dengan kekayaan $ 44,7 miliar, memiliki jaringan perguruan tinggi kesehatan masyarakat salah satunya John Hopkins University atau John Hopkins Bloomberg of Publik Health. Dengan kekuatan uang dan jaringan bisnis, universitas dan pemerintahan yang dimiliki kenapa dia tidak mendesak Presiden Obama meratifikasi FCTC”, tanya Zamhuri.
Menurut Zamhuri, meski Indonesia belum meratifikasi FCTC, namun dari sisi regulasi sudah melakukan diadopsi di peraturan pengendalian tembakau baik level UU, PP, atau peraturan daerah. “Data WHO, Amerika dan Indonesia sama-sama masuk dalam 10 negara konsumsi tembakau terbesar dunia. Amerika peringkat 5 dengan jumlah perokok 58 juta, sementara Indonesia 65 juta. Maka sikap Presiden Jokowi sudah tepat untuk tidak ikut trend karena sikap yang sama dilakukan oleh Presiden Obama yang belum meratifikasi FCTC.
Empat Ancaman
Dalam pandangan peneliti Puskindo itu, setidaknya empat ancaman jika FCTC diratifikasi. Pertama, pengaturan ingredient dan larangan aromatik rokok. Penolakan standardisasi ingredient produk ini karena akan memicu membanjirnya rokok putih di Indonesia, juga termasuk tembakau import.
Ancaman membanjirnya tembakau import ini, lantaran standardisasi produk dengan tembakau yang nikotin dan tar-nya sesuai standar WHO, lebih bisa dipenuhi tembakau luar negeri. Dampaknya, petani tembakau lokal dan buruh rokok kretek pun terancam kehilangan pekerjaan.
Dia menjelaskan, kandungan tar dan nikotin rokok kretek nasional saat ini berkisar 40-60 miligram dan 3-4 miligram, masih tiga kali lipat standar WHO. ‘’Karena bahan baku tembakau lokal kadar nikotinnya tinggi, maka harus dipenuhi dengan cara impor. Pilihan lainnya, membeli mesin laser pembuat filter yang canggih. Ini tentu akan sulit dipenuhi produsen kecil, meskipun diberikan waktu adaptasi hingga 10 tahun lamanya,’’ tuturnya.
Kedua, pengaturan diversifikasi dan penggantian tanaman tembakau ke tanaman lain. Disebutkan dalam Pembukaan FCTC alenia ke-12 menetapkan dilakukannya pemutusan rantai suplai bahan baku tembakau, untuk menghapus seluruh bentuk perdagangan tembakau dan rokok di negara-negara anggota.
‘’Pasal 17 dan 26 poin e FCTC menegaskan bentuk pemutusan rantai suplai bahan baku dalam program diversifikasi (pengalihan) tembakau para petani dan buruh pengolahan tembakau ke jenis tanaman lain. Spirit penggantian tanaman tembakau ini diadopsi dalam PP 109/2012 pasal 7 dan 58,’’ ungkapnya. Pengaturan diversifikasi ini memicu kegelisahan para petani tembakau Indonesia, karena petani tidak bisa sertamerta mengalihkan tanaman komoditi lain.
Ketiga, penerapan tarif cukai mencapai 80 % dari harga rokok. Pasal 6 FCTC mengatur mengenai pengenaan cukai dan pajak tembakau dan rokok setinggi mungkin, supaya bisa mengurangi konsumsi tembakau. Asumsi dasarnya, jika cukai dan pajak tinggi, maka tingkat konsumsi masyarakat terhadap rokok akan menurun.
‘’Kebijakan ini direkomendasikan melalui guideline hasil pertemuan Conference of Parties (CoP) ke-4 di Uruguay pada 2010. Dalam CoP ke-4 di Uruguay ini, negara-negara anggota didorong untuk menerapkan tarif cukai dan pajak mencapai 80 persen dari harga rokok,’’ katanya.
Tetapi asumsi tingginya tarif cukai dan pajak tinggi untuk mengurangi konsumsi rokok, tidak terbukti. Berdasarkan data-data pasar rokok gelap di dunia, harga rokok yang tinggi telah memicu perdagangan rokok gelap di berbagai negara karena telah melampaui angka psikologis kemampuan beli masyarakat.
Keempat, ancaman yang akan muncul jika FCTC diratifikasi, yaitu pembatasan lembaga negara berhubungan dengan industri rokok. ‘’Pasal 5.3 FCTC disebutkan, lembaga-lembaga negara anggota dilarang berinteraksi dengan industri tembakau dalam upaya komersialisasi. Pengaturan ini telah disokong dalam guideline hasil CoP ke-3 tahun 2008 di Durban, Afsel,’’ urainya.
Bagi Zamhuri, pengaturan seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena bertentangan dengan hak-hak hukum, hak ekonomi industri rokok di suatu negara. ‘’Industri rokok adalah industri legal yang memiliki hak yang sama dengan warga lain di dalam suatu negara,’’ paparnya.
Menurutnya, jika prinsip pembatasan diterapkan, akan berdampak pada merosotnya national interest suatu negara terhadap industri nasional mereka dalam rangka perlindungan kepentingan nasional.
‘’Dari sisi kedaulatan negara yang merdeka seperti Indonesia, keikutsertaan sebagai anggota FCTC dapat mendistorsi aspek kedaulatan negara, karena terjadinya perubahan regulasi hasil CoP anggota yang dapat mereview kebijakan nasional di bidang pertanian, perdagangan, dan industri, karena FCTC bersifat dinamis,’’ ujarnya.
Di luar empat ancaman di atas, berbagai peraturan yang mengarah pada pengaturan ingredient, akan berdampak pada struktur pasar kretek di waktu-waktu mendatang. ‘’Pasar kretek baik Sigaret Kretek Mesin (SKM) maupun Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Indonesia, mencapai 93 persen dengan total omzet tak kurang dari Rp. 276 triliun pada 2014. Pasar ini akan terganggu jika FCTC diratifikasi,’’ tegasnya.
Selain itu, dalam FCTC juga ada guideline yang merupakan hasil pembahasan para anggota dalam pertemuan CoP yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Meskipun guideline dalam konvensi FCTC sifatnya tidak wajib, namun kenyataannya kesepakatan hasil CoP merupakan aturan yang mengikat anggotanya.
‘’Untuk itu, FCTC merupakan regulasi produk asing yang tidak sekadar harus dicurigai, tetapi harus ditolak. Adalah kesalahan fatal jika pemerintah sampai meratifikasi FCTC, karena negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman dan Zimbabwe pun tidak meratifikasinya sampai hari ini,’’ tandas Zamhuri. (Red-HJ99).