Oleh M Yudhie Haryono
Penulis adalah Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Ini bukan kultum soal partai tertentu: PKS (Pustun Kesandung Sapi). Tetapi ini melanjutkan diskusi tema pokok dalam Alquran di episode ke-17. Soal keadilan dan kesejahteraan.
Tesisnya begini, “jika tauhid merupakan penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah.” Dus, islam adalah agama keadilan. Tak layak mengaku islam jika tak mampu berpikir, berucap dan bertindak adil.
Kata adil dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di Alquran. Misalnya dlm QS. Al-Baqarah (2): 48, 123, dan 282 (dua kali); An-Nisa (4): 58; Al-Ma’idah (5): 95 (dua kali) dan 106; Al-An‘am (6): 70&152; An-Nahl (16): 76&90, S. Al-Hujurat (49): 9; At-Thalaq (65): 2; Al-Infithar (82): 7.
Kata adil dalam Alquran memiliki empat makna. Pertama, artinya “sama.” Bisa juga bermakna “berada di pertengahan dan mempersamakan.” Sebab sama salah satu rukun keadilan.
Kedua, artinya “seimbang.” Tidak memihak kecuali pada keseimbangan. Hukum dlm islam memang harus membuat seimbang dan berbasis keseimbangan.
Ketiga, artinya “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya.” Pengertian ini didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat.” Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain. Hilirnya melahirkan keadilan sosial.
Keempat, arti dinisbahkan kepada Allah. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikanNya. Keadilannya mengandung konsekuensi bahwa rahmatnya tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Di samping itu, kata adil digunakan juga dalam berbagai arti, yakni (1)Kebenaran: QS. Al-Baqarah (2): 282; (2)Sandaran perbuatan kepada selain Allah dan atau menyimpang dari kebenaran: QS. An-Nisa’ (4): 135; (3)Membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukanNya (musyrik): QS. Al-An‘am (6): 1 dan 150; (4)Menebus: QS. Al-Baqarah (2): 48, 123 dan Al-An‘am (6): 70.
Tetapi, tak ada progresifitas dlm keadilan kecuali dengan menempatkan kesejahteraan sebagai goalnya. Adil tanpa sejahtera itu seperti cinta bertepuk sebelah tangan. Seperti cinta istri tanpa suami.
Sejahtera bermakna mencapai kemakmuran menyeluruh: material, spiritual dan moral. Konsep kesejahteraan kita harus lebih komprehensif karena berbasis keadilan menyeluruh. Inilah diktum baru kita kini, “aku islam maka aku adil; aku adil maka aku sejahtera; aku sejahtera maka aku bertuhan.” Inilah citra dan makna subtantif dari ciuman sang kekasih pada keadilan dan genggaman sang adil pada kesejahteraan.
Adil dan sejahtera pangkal bahagia. Dan, kata Syahrir, “hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan kebahagiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Kini, mari praktek dlm setiap tempat dan waktu.(*)