Magelang, Harianjateng.com – Festival Lima Gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menunjukkan raut wajah gembira masyarakat desa sehingga memikat berbagai pihak untuk hadir menyaksikannya, kata pengamat seni dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Utrech, Belanda, berasal dari Indonesia, Dodog Soeseno.
“Wajah-wajah mereka gembira, tua muda, besar, kecil, senang dan terhibur. Mereka sepertinya telah menjadikan festival ini sebagai kegiatan ‘kulina’ (terbiasa, red.),” katanya di sela menyaksikan pementasan kesenian pada festival hari kelima dari enam hari (19 sampai dengan 24 Juli 2016) di Magelang, Jateng, Sabtu (23/7/2016).
Para tamu festival yang diselenggarakan kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang, baik dari desa-desa sekitar lokasi pergelaran seni dan budaya maupun dari berbagai kota besar serta luar negeri, disambut secara hangat oleh warga dusun sebagai tuan rumah kegiatan itu, sebagaimana saudara dan keluarga.
Festival Lima Gunung XV/2016 berlangsung di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu, dengan tema “Pala Kependhem”. Pembukaan festival secara mandiri itu, melalui prosesi ritual dan doa di Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.
Warga juga menyiapkan rumah-rumah mereka untuk menginap para tamu, transit berbagai kelompok kesenian dari luar daerah, termasuk memberikan suguhan kepada para tamu secara memadai dan khas desa.
“Sepertinya warga desa menunjukkan ketulusan. Tidak memadang ‘sopo kowe, sopo saya’ (siapa Anda, siapa saya, red.). Mereka menganggap kami para penonton dari luar daerah ini sebagai penduduk di sini,” ujar Dodog yang juga pengajar seni murni di Sekolah Tinggi Seni Rupa Utrech dan Royal Academy of Art Deenhaag, Belanda itu.
Dodog yang selama 37 tahun tinggal di Eropa itu menyebut masyarakat desa menyambut para tamu dengan “tangan terbuka” dan hal itu sebagai salah satu wujud ketulusan pribadi.
Terkait dengan penyelenggaraan festival, kata dia, terkesan secara spontan dan tidak banyak dibicarakan akan sesungguhnya dilakukan secara terorganisasi yang baik, dan terutama melibatkan masyarakat lokal.
Sekitar 50 grup kesenian dari berbagai kelompok di Komunitas Lima Gunung dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut itu, berbagai grup dari desa-desa sekitar lokasi festival, dan para seniman dari sejumlah kota besar, terlibat dalam pementasan kesenian.
Berbagai pementasan kesenian di panggung utama bernama “Panggung Kimpul” para hari kelima festival, antara lain, musik kolaborasi antara gamelan dan modern (Borobudur), performa musik “Meditation II Movement Strings Part” (UKSW Salatiga), tari “Obros” (Komunitas Lereng Menoreh, Salaman), tari “Ngoser Banyumasan” (Unnes Semarang), tarian “Kidung Lereng Merapi” (SD Soronalan 2 Sawangan), dan musik dangdut kontemporer (Jaya Abadi Bandung).
Selain itu, musik “Suara Bumi” (Nareswara Yogyakarta), tari “Jatilan” (Loka Art Yogyakarta), performa seni “Ganjel Lumbung” (Saka Galeri Solo), musik dan tari “Salju” (Gondrong Gunarto dan kawan Solo), performa musik dan gerak “Sorengseng” (Sapu Jagat Squad Sahabat Lima Gunung Solo), dan ketoprak Hima Jawa (UNY Yogyakarta).
Hujan cukup deras sempat mewarnai pementasan festival hari kelima itu, selama sekitar 1 jam, mulai pukul 15.36 s.d. 16.46 WIB. Namun, setelah reda, berbagai kelompok kesenian melanjutkan pementasan hingga malam hari, sedangkan masyarakat tetap berkumpul di arena pementasan untuk menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian. (Red-HJ99/ant).