Oleh: Despan Heryansyah
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII.
Rabu 27 Julli 2016, wacana reshuffle yang sudah sejak beberapa bulan belakangan muncul, akhirnya terlaksana. Tak tanggung-tanggung, 12 dari 34 menteri di reshuffle oleh presiden Jokowi, diantaranya Menko Kemaritiman, Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Desa dan PDTT, Menteri Perhubungan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri ESDM, Menteri PAN/RB. Terlepas dari alasan yang dikemukakan oleh pemerintah, reshuffle kabinet jilid 2 ini setidaknya menggambarkan perubahan konstelasi politik, terutama setelah masuknya beberapa partai baru dalam pemerintahan (baca koalisi), yaitu Golkar dan PAN. Prof Muhajir Effendi yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, meskipun dari perwakilan profesional, namun tidak lepas dari anggapan keaktifannya sebagai kader Muhammadiyah (mengingat Muhammadiyah memiliki hubungan darah dengan PAN).
Di kalangan masyarakat, reshufflekabinet kali menyisakan beberapa pertanyaan bahkan kekecewaan, pasalnya beberapa menteri yang dianggap memiliki kinerja baik namun malah dicopot dari pemerintahan, sebut saja Anis Baswedan, Sudirman Said, dan Jonan Ignasius. Deretan nama-nama di atas adalah menteri-menteri yang dikenal profesional saat menjabat, namun harus menjadi “korban” perubahan konstelasi politik di tingkat pusat. Jika benar alasan politik ini yang melatar belakangi reshuffle beberapa menteri di atas, tentu hal ini tidak adil, maka wajar saja jika banyak pihak yang menyayangkan keputusan presiden Jokowi ini.
Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 memang memberikan kewenangan pengangkatan dan pemberhentian menteri (sebagai pembantu presiden) di tangan presiden secara mutlak. Artinya pengangkatan dan pemberhentian menteri menjadi hak preogratif presiden, oleh karena itu, segala sesuatunya bergantung kepada presiden. Dalam konteks sistem presidensiil, hal ini tentu dapat dibenarkan, namun sebagai presiden yang memegang amanah dari rakyat, maka aspirasi rakyat harus juga diperhatikan oleh presiden, karena bagaimanapun begitulah pengejawantahan dari prinsip kedaulatan rakyat. Maka dari itu, ke depan muncul wacana pengangkatan dan pemberhentian menteri tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kemauan presiden, tetapi juga ada mekanisme lain agar suara rakyat tetap terakomodir.
Kepentingan Politik
Dalam konteks politik, tindakan reshufflekabinet oleh presiden Jokowi ini, merupakan hal yang wajar. Meski menganut sistem presidensiil, namun banyak kebijakan pemerintah yang harus terlebih dahulu harus mendapatkan dukungan (baca persetujuan) dari parlemen, oleh karenanya, dukungan suara mayoritas parlemen dapat memuluskan semua program yang diambil oleh pemerintah. Masuknya Golkar dan PAN dalam pemerintahan, meningkatkan dukungan diparlemen hingga 69%. Jika presiden dapat memelihara kesolidan tim koalisi dalam jangka panjang, ini tidak saja dapat mempermudah semua kebijakan presiden Jokowi tetapi juga berpengaruh pada momentum politik 2019.
Namun demikian, koalisi “gemuk” yang saat ini terjadi bukan tanpa resiko,utamanya bagi rakyat yang kerap kali menjadi korban atas setiap kebijakan pemerintah. Setidaknya tiga hal yang ke depan harus menjadi perhatian, pertama, koalisi gemuk dapat mengakibatkan setiap kebijakan pemerintah dilatar belakangi oleh transaksi politik saja, landasannya bukan lagi kepentingan rakyat namun siapa mendapatkan apa. Hal ini dapat saja terjadi jika koalisi hanya didasari pada politik kepentingan bukan kerangka yang jelas dan sistematis.
Kedua, koalisi gemuk juga dapat berakibat pada hilangnya check and ballances di parlemen, karena semua anggota partai koalisi beranggapan bahwa setiap keputusan presiden harus didukung apapun konsekuensinya. Hal ini tidak dapat dibenarkan, karena parlemen adalah wakil rakyat, dipilih oleh rakyat, bukan oleh presiden. Jika keadaan ini terjadi, akan menimbulkan akibat yang ketiga, yaitu hilangnya kontrol/pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, yang jelas akan berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Keberadaan tiga konsekuensi koalisi gemuk di atas harus diantisipasi bersama oleh seluruh komponen bangsa, peran media masa dalam hal ini sangat dibutuhkan, untuk selalu memberikan informasi yang akurat, imparsial, dan berimbang. Di sisi lain, keberadaan partai oposisi meskipun minoritas tetap sangat dibutuhkan, suara mereka diparlemen sebagai kontrol setiap kebijakan pemerintah adalah suara rakyat yang sesungguhnya.