Oleh M. Yasin al-Arif, S.H
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII dan Mahasiswa Magister Hukum UII
Saat ini pemerintah tengah menggodok draft revisi Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Legislatif dan Undang-Undang No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (UU Pemilu) yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemilu secara serentak tahun 2019. Hal inimerupakan tanggapan pemerintah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan pemilu pada tahun 2019 harus dilaksanakan secara serentak.
Isu ambang batas parlemen (parliamentary threshold) lagi-lagi menjadi salah satu poin yang mendapat perhatian khusus. Isu ini menggeliat ke public bak bola panas yang cepat menyambar. Di awaliolehPartai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang memberikan angka 7%. Ternyata usulan ini menyulut politikus partai lain danmulaiberani memberikan angka, seperti PKS 4-5%, dan Golkar 10%.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah belum dapat memutuskan karena masih menampung berbagai aspirasi yang nantinya akan dimunculkan dalam sebuah draft untuk dibahas di DPR. Melihati situasi politik saat ini yang mana dukungan partai terhadap pemerintah mempunyai jumlah lebih besar dari oposisi akan memberikan peluang besar terhadap lolosnya draft revisi di DPR.
Penyederhanaan Partai
Parliementary Threshold atau ambang batas parlemen merupakan perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu legislatif agar diikutkan dalam penentuan peroleh¬an kursi di DPR. Melalui pembatasan inilah setiap partai yang turut dalam pemilu harus mampu mendapatkan suara tertentu yang sudah ditetapkan agar dapat duduk dalamkursiparlemen.
Jamak diketahui bahwa pascareformasi partai politik tumbuh bak cawan di kala hujan, tak terbendung hingga terjadi multipartai ekstrim. Tentu hal ini menjadi problematika jika dihadapkan dengan sistem presidensial. Karena akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan, terlebih jika presiden terpilih adalah dari partai minoritas di parlemen.
Oleh karenanya diperlukan penyederhanaan jumlah partai di Parlemen. Disinilah perlunya peranan hukum untuk memberikan rekayasa dalam mengatur itu, parliementary threshold sebagai upaya untuk merampingkan jumlah partai politik di Parlemen dalam praktiknya memiliki dampak efektif terhadap penyederhanaan partai di parlemen.
Dari hasil pemilu 2014 menunjukkan bahwa dari 15 partai politik peserta pemilu 2014 yang lolos mendapatkan kursi di DPR adalah 10 partai. Parliementary threshold yang diterapkan dalam pemilu tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 bahwa jatah kursi untuk DPR (Nasional) hanya di berikan ke pada partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sekurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional.
Semakin besar ambang batas yang dijadikan ketentuan maka akan memberikan hasil yang lebih efektif dalam menyederhanakan partai politik. Hal ini dapat dilihat dari hasil simulasi. Simulasi terhadap hasil Pemilu 1999 menunjukkan, padabesaran 3%, 4%, dan 5%, jumlah partai politik di DPR tidak berbeda, yakni 5. Hal yang sama juga terjadipadahasilPemilu 2004, di mana penerapanambang batas 3%, 4% dan 5%, meloloskan 7 partai politik ke DPR.
Namun jika simulasi diterapkan pada hasil Pemilu 2009, padabesaran 3% jumlah partai politik sama dengan yang ada saat ini, yaitu 9. Pada besaran 4% jumlah partai yang memenuhi ambang batas sebanyak 8; dan jika besaran 5% diterapkan, partai politik yang memenuhi ambang batas sebanyak 6.
Melihat simulasi di atas, maka tidak perlu ada keraguan untuk menaikkan presentasi ambang batas yang lebih tinggi. Menaikkan ambang batas bukan berarti menghilangkan eksistensi partai politik dan menghilangkan kesempatan orang untuk berserikat, berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan sebagaimana dilindungi Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945.Sebab dengan adanya parliementary threshold setiap orang masih diberikan hak untuk membentuk partai politik.
Penguatan Sistem Presidensial
Jika penguatan sistem presidensial dijadikan sebagai tujuan utama dalam revisi UU Pemilu, maka meningkatkan ambang batas parlemen menjadi sebuah keniscayaan. Pasalnya peningkatan ambang batas terbukti efektif untuk menyederhanakan partai politik. Sehingga sistem presidensial tidak lagi berhdapan dengan multipartai ekstrim tetapi dengan multi partai sederhana.
Menurut penulis setidaknya ada dua alasan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menyederhanakan partai politik dan memperkuat sistem presidensial. Pertama, sistem multipartai ekstrim bukanlah pasangan sistem presidensial, jika hal ini dipaksakan maka akan menimbulkan instabilitas pemerintahan dan tidak mendorong stabilitas demokrasi karena kombinasi ini akan menimbulkan berbagai kesulitan dalam hubungan antara presiden dengan parlemen.
Terlebih lagi multipartai ekstrim sering kali menimbulkan keadaan politik di parlemen yang terfragmentasi. Maka tidak jarang kebijakan pemerintah akan terbengkalai karena perbedaan pandangan yang cukup signifikan. Kedua, dengan berkurangnya jumlah partai politik di parlemen maka akan mengurangi fragmentasi kekuatan politik di Parlemen. Sehingga hambatan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah akan berkurang.
Dalam momentum revisi UU pemilu kali ini pemerintah harus membaca kembali agenda reformasi bahwa penguatan presidensial merupakan salah satu poin yang telah disepakati. Oleh karenanya berbagai usaha untuk mengarah kesana pun harus dilaksanakan, salah satunya dengan menaikkan ambang batas parlemen dalam pemilu untuk menyederhanakan partai politik.