Oleh Harry Setya Nugraha
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
Di awal bulan Agustus lalu, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan temuan dana Pemerintah Daerah sejumlah Rp.214 triliun yang masih “tertidur” di bank. Dana tersebut merupakan dana yang seharunya dapat digunakan untuk keberlangsungan pembangunan di daerah, namun tidak segera terserap oleh karena beberapa hal, salah satunya disinyalir terjadi sebagai akibat dari kekhawatiran para pejabat pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan pencarian dana untuk pembangunan di daerahnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, pada akhir Juli 2016 lalu, dihadapan para Kapolda dan Kajati, Presiden Jokowi kembali menginstruksikan agar tidak ada lagi kriminalisasi kebijakan dalam penegakan hukum. Instruksi tersebut memperlihatkan bahwa ada suatu harapan dari pemerintah pusat kepada pejabat pemerintahan untuk tidak takut dalam mengambil suatu kebijakan.
Namun agaknya instruksi yang dikeluarkan Presiden hanya akan menjadi retorika semata jika tidak ada aturan hukum yang memayunginya. Oleh karena itu, kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) anti kriminalisasi kebijakan yang sebelumnya sempat diwacanakan pada September 2015 lalu menjadi suatu hal yang perlu untuk diperbincangkan kembali.
Urgensi
Setidaknya terdapat beberapa urgensi yang penulis lihat terhadap pemberlakuan PP tersebut, pertama, PP dikeluarkan sebagai ikhtiar dalam mempertegas kewenangan penegakan hukum terhadap kebijakan di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Pasal 6 ayat (1) undang-undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa Pejabat Pemerintah memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan.
Sebagai negara hukum, penggunaan wewenang tersebut bukanlah tanpa persyaratan. Warga masyarakat tentu tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai obyek kebijakan. Sehingganya, dalam Pasal 17 ayat (2) undang-undang tersebut memberikan larangan kepada pejabat pemerintahan untuk melampaui wewenang, mencampur adukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan pejabat pemerintahan wajib didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, dalam hal upaya pengawasan dan pembuktian terjadi atau tidaknya penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud, undang-undang Administrasi Pemerintahan memberikan tugas tersebut kepada aparat pengawasan intern pemerintahan dan/atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Adapun acuan dalam membuktikan dugaan penyalahgunaan wewenang, Pengadilan Tata Usaha Negara berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang.
Namun sangat disayangkan bahwa dalam kenyataannya, implementasi undang-undang tersebut khususnya mengenai diskresi belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Masih terlihat beberapa “kegalauan” oleh aparat penegak hukum mengenai batasan-batasan dalam menilai apakah suatu kebijakan yang dikeluarkan merupakan suatu perbuatan melawan hukum sehingganya harus dibuktikan melalui proses peradilan umum atau justru kebijakan tersebut hanya merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bersifat administratif sehingga cukup dibuktikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara
Untuk itu, kehadiran PP anti kriminalisasi kebijakan ini dapat menjadi aturan penjelas terhadap tumpang tindih kewenangan yang saat ini terjadi.
Dengan dikeluarkannya PP tersebut, penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisian dan kejaksaan tidak bisa langsung mengusut suatu dugaan tindak pidana berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan. Dengan kata lain, jika terdapat dugaan tindak pidana, pengawasan internal lembaga atau lembaga audit negara dululah yang maju mengusutnya. Sementara jika pelanggaran hanya berupa adimistrasi, penanganannya akan diserahkan ke pengawasan internal.
Kedua, PP ini dapat menjadi jalan tengah atas terjadinya disharmonisasi peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pdana Korupsi. Disharmonisasi tersebut berkaitan dengan akibat hukum yang ditimbulkan sebagai dampak penyalahgunaan wewenang yang berujung pada kerugian negara. Pasal 20 ayat (4) dan (5) undang-undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan yang pada intinya apabila terjadi penyalahgunaan kewenangan dalam konteks kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara, maka dilakukan pengembalian keuangan negara yang dibebankan kepada Badan Pemerintahan atau pejabat pemerintah.
Pertanyaannya adalah, apakah pengembalian kerugian keuangan negara tersebut sudah cukup menghapus suatu kesalahan yang dilakukan ataukah justru pengembalian kerugian keuangan negara tersebut tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Disharmonisasi aturan ini menjadi hal penting untuk diluruskan.
Ketiga, mempertegas jaminan perlindungan hukum terhadap diskresi yang akan dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan. Dengan kata lain, PP tersebut dapat dijadikan pondasi yang menegaskan ruang diskresi agar muncul suatu inovasi-inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Harus disadari, pemberlakuan PP anti kriminasisasi kebijakan ini bukan tanpa resiko. Oleh karena itu, perlu perhatian dan keterlibatan seluruh pihak untuk mengawasinya jikalau PP ini dapat diterapkan dikemudian harinya. (*).