Oleh M. Yasin al – Arif, SH
Mahasiswa Magister Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 18 Agustus 2016 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan sejumlah pimpinan negara memperingati hari konstitusi. Bersamaan dengan itu, wacana amandemen ulang kembali bergaung ke publik setelah agak lama tak terdengar. Adalah Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ingin merampungkan draf awal perubahan yang menjadi pemantik awal bergulirnya wacana ini.
Menurut UUD 1945 Pasal 37tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk melakukan perubahan adalah harus diagendakan dalam sidang MPRyg dihadiri oleh 1/3 jumlah anggota MPR, ditunjukkan pasal-pasal yang akan diubah, sidang MPR hrus dihadiri 2/3 anggota MPR, dan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu.
Sedikit menengok kebelakang, wacana amandamen ulang sebenarnya sudah bergulir sejak tahun 2007 yang dipelopori oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan DPD sudah menyiapkan naskah draft naskah perubahan UUD 1945. Namun karena jumlah DPD tidak mencukupi kuorum untuk sidang MPR, maka usulan perubahan ini kandas di tengah jalan.
Bertolak dari hal tersebut, mencuatnya kembali wacana amandemen akhir-ahir ini mengusung tema yang berbeda dari apa yang telah diusulkan oleh DPD. Jika beberapa tahun silam mengusung tema penguatan DPD agar tercipta sistem strong bicameral, kali ini amandemen ulang memuat tema wacana menghidupkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Inkonsistensi Pemilihan Sistem
Kendatipun demikian, diskursus ini masih menimbulkan pro kontra baik dikalangan pengamat maupun akademisi.Pihak pro mendalilkan bahwa GBHN perlu dikembalikan lagi agar penyelenggaraan negara mempunyai satu tuntunan yang dijadikan pedoman sehingga proses pembangunan terarah dan tersistematisasi dengan baik.
Sedangkan pihak kontra menilai pengembalian GBHN tidak sejalan dengan logika bahwa tiadanya GBHN saat ini adalah akibat ketiadaan dalam UUD. Sehingga MPR mempunyai kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya sebagai lembaga tinggi negara.Pun demikian RPJP dan RPJM sejatinya sudah mencerminkan GBHN pada masa Orde Baru.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mereaktualisasikan GBHN yang secara logika sudah tidak ada dalam UUD. Apakah amandemen ulang merupakan langkah yang tepat untuk mengusung wacana dikembalikannya kembali GBHN?. Menanggapi hal ini, ada yang berpendapat bahwa GBHN perlu dimasukkan dalam TAP MPR dan ada pula hanya cukup dimasukkan dalam UU yang sudah ada.
Menurut penulis, sangat disayangkan jika amandeman ulang dilakukan hanya sekedar mengembalikan GBHN dan mencantumkannya dalam UUD, sebab jika melihat dinamika ketatanegaraan pasca perubahan UUD yang terakhir pada tahun 2002 banyak yang harus dibenahi, seperti penataan kelembagaan negara yang juga tidak kalah pentingnya.
Terlepas dari berbagai perdebatan di atas, wacana menghidupkan kembali GBHN merupakan bentuk inkonsistensi penyelenggara negara dalam memilih sistem. Pasalnya, setelah reformasi melalui amandemen UUD telah disepakati bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR. Konsekuensinya MPR tidak lagi memilih Presiden dan tidak pula menetapkan GBHN untuk mengarahkan Presiden.
Sehingga wajar jika pedoman yang digunakan adalah mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Seharusnya penyelenggara negara konsisten dengan sistem yang sudah dipilih setelah dilakukannya amandemen pasca reformasi bukan menghardik bahwa RPJM dan RPJP tidak tepat dan mengusung kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan.
Kaji Ulang
Walau bagaimanapun, diskursus menghidupkan kembali GBHN ini masih perlu dikaji ulang dengan matang untuk melihat urgensi dikembalikannya lagi. Dalam hal ini, penulis tidak sependapat jika GBHN dihidupkan kembali. Mengingat pertama,MPR tidak lagi tepat ditempatkan sebagai lembaga pembentuk GBHN.
Sebab MPR bukan lembaga tertinggi negara yang mempunyai kewenangan untuk mengarahkan Presiden melalui GBHN.GBHN ada karena presiden di bawah MPR dan melalui GBHN, MPR dapat dapat memantau kinerja Presiden. Adapun yang tetap bersikukuh untuk menghidupkan GBHN tidak melalui jalan amandemen ulang melainkan dengan memasukkan UU saja, hal ini malah akan mengacaukan sistem yang sudah ada.
Kedua, menghindari bola liar wacana menghidupkan GBHN hanya dijadikan oleh para elite sebagai alat untuk menjadikan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi. Maka wacana menghidupkan GBHN melalui amandemen ulang harus ditolak dan dihentikan. Oleh karenanya penyelenggara negara lebih baik fokus pada perbaikan sistem yang sudah ada.