Jakarta, Harianjateng.com – Agar menimbulkan efek jera dan memulihkan kerugian negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mendorong gagasan pemberian beban biaya sosial kepada koruptor. Artinya, hukuman bagi terdakwa korupsi dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian yang selama ini dilakukan.
Anggota Komisi III dari Fraksi NasDem Taufiqulhadi menilai gagasan tersebut sebagai hal yang wajar yang terus berkembang di masyarakat seiring semangat pemberantasan korupsi.
Dia juga tidak keberatan jika pemberian hukuman ini diberlakukan selama dalam konteks memberikan efek jera.
“Maka harus dilaksanakan, asal itu bukan suatu hal yang mengada-ada,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat (16/09/2016).
Hanya saja, Taufiq memandang, gagasan ini perlu dikomunikasikan dan didiskusikan terlebih dahulu bersama legislatif.
“Tentu tidak bisa gagasan ini ujug-ujug diterapkan langsung kepada terpidana, apalagi saat ini kita sedang membahas KUHP,”ungkap Legislator Jawa Timur IV tersebut.
Namun menurutnya, korupsi di Indonesia masih sulit ditekan apabila terpidana hanya dikenakan hukuman tanpa disita asetnya.
“Sebesar apa pun hukuman atau berapa lama pun masa hukuman, tanpa menyita aset kekayaan hasil korupsi tidak akan menimbulkan efek jera yang berarti bagi koruptor,” ungkapnya.
Dalam konteks menjatuhkan moral, hukuman setahun dua tahun cukup bisa membuat harga diri koruptor hancur di lingkungannya. Namun dalam hal menimbulkan efek jera, hukuman yang selama ini ada tidak akan mampu melakukannya.
Oleh karena itu, menurut Taufiq, memperkuat UU Pengambilan Aset (Asset Recovery) Hasil Korupsi jauh lebih penting daripada memperberat hukuman kepada koruptor.
“Sita dan habisi dulu harta kekayaan hasil korupsinya yang tersimpan di mana saja, baru kemudian dia dihukum secara porposional sesuai tindakan hukum yang dijatuhkan kepada dia,” pungkasnya. (Red-HJ99/hms).