Semarang, Harianjateng.com – Selama ini, optimalisasi pendidikan dalam keluarga masih dipatronkan pada peran ibu. Sedangkan peran ayah hanya berkisar pada peran ekonomi dan kepemimpinan dalam keluarga saja. Padahal, ayah juga berperan membentuk karakter anak dalam keluarga.
Oleh karena itu, momentum Hari Ayah yang diperingati hari Sabtu 12 November 2016, harus menjadi wahana instrospeski bagi semua ayah di Indonesia untuk lebih memahami perannya dalam dunia pendidikan, terutama memaksimalkan pendidikan dalam keluarga.
“Rumusnya memang ibu utamanya. Ibu, menjadi madrasah pertama, sekolah pertama bagi anak-anak sebelum menginjakkan kaki di bangku sekolah formal. Namun, sebenarnya ayah juga memiliki faktor penting bagi pembangunan karakter dan mental anak. Buktikan saja, anak yang punya ayah dengan yang yatim, pasti karakternya beda,” ujar Hamidulloh Ibda, Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng tersebut, Sabtu (12/11/2016).
Penulis buku Stop Pacaran Ayo Nikah ini juga mengatakan, bahwa sebenarnya keluarga menjadi sekolah dan kawah candradimuka untuk menggembleng kederdasan anak, baik itu kecerdasan intelektual, moral dan spiritual.
“Tri pusat pendidikan, menempatkan keluarga sebagai pendidikan pertama sebelum pendidikan di sekolah dan masyarakat. Nah, di sinilah ayah bisa menjadi guru bagi anak-anaknya. Sebab, peran ayah menurut saya tidak hanya di wilayah ekonomi, namun juga pembentukan kecerdasan anak, moral dan spiritual anak,” tandas lulusan Pascasarjana Unnes tersebut.
Peran Ayah Selama ini, sudah banyak gerakan ayah dalam menjawab tantangan zaman terhadap kepeduliaan pada anak. “Saat ini juga sudah ada gerakan bernama ‘Ayah Asi’, ini wujud kepedulian ayah untuk anak. Nah, selain itu, untuk edukasi, ayah bisa melakukan berbagai hal. Bisa lewat pendampingan anak, kedekatan anak yang dimanfaatkan untuk kegiatan edukasi, belajar, baca buku, nonton film edukatif, hiburan edukatif dan juga membelajarkan anak kepada sifat-sifat kepemimpinan atau laedership,” tandas pria asal Pati tersebut.
Secara intelektual, lanjut dia, ayah bisa mengajarkan anak untuk mencintai buku, mencintai karya-karya intelektual, mengajak anak dengan kegembiraan seperti liburan, namun yang edukatif. “Jadi tidak hanya berperan membelikan sandang dan perlengkapan anak, namun ayah di sini ya guru utama untuk menjadi penentu masa depan pendidikan anak,” tegas penulis buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner tersebut.
Sementara untuk membangun moral anak, menurut dia, ayah bisa mengajak anak untuk memahami silsilah keluarga dan beberapa tokoh-tokoh dunia. “Ya gampang sih menurut saya, anak kan mudah untuk diatur kalau keinginannya dipenuhi. Maka sebelum ‘ndablek’, anak-anak, baik itu cewek maupun cowok, ajak saja menyelami kisah-kisah moral para nabi dan rasul, para pahlawan termasuk mbah-mbah kita,” beber dia.
Sementara untuk kecerdasan spiritual maupun emosional, Ibda menjelaskan anak-anak harus diajarkan untuk lebih dekat dengan agama. “Yang Islam bisa diajak tadarus tiap hari, yang Kristen juga bisa diajak rajin ke geraja dan agama lain juga sama intinya mendekatkan diri dengan Tuhan lah,” lanjut dia.
Semua itu, kata dia, bisa terwujud ketika ibu dan ayah bisa sinergi. “Soalnya sifat dan watak anak itu selain imajintif adalah meniru. Nah, kalau ayahnya baik, agamis, kemungkinan dengan intensitas pengawaln yang konsisten, anak pasti baik dan agamis. Sebab, sejahat-jahatnya ayah, ia tak mau menjadikan anaknya seperti dia,” pungkasnya. (Red-HJ99).