Semarang, Harianjateng.com – Bagi Dian Marta Wijayanti guru SD Negeri Sampangan 1 UPTD Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, sejarah atau peristiwa besar di setiap daerah, memiliki keunikan dan nilai estetik tersendiri.
Bahkan, sejarah tersebut menjadi “kekayaan” yang tidak dimiliki daerah lain. Pasalnya, tiap daerah memiliki kearifan lokal berbeda dengan daerah lain yang mengandung nilai-nilai historis yang sangat besar pengaruhnya terhadap pembangunan dan peradaban suatu daerah.
Agar mudah dicerna dan dipahami oleh generasi muda, maka sejarah tersebut perlu dikemas menarik, sederhana dan mudah dipahami melalui bahan ajar dalam pendidikan, terutama di bangku sekolah dasar. Salah satunya dengan dikemas dalam bentuk komik, apalagi komik bagi anak-anak adalah bacaan menarik dan tidak terlalu berat. “Bahan ajar yang saya buat berupa komik namanya Sepekan, akronim dari sejarah perjuangan setelah perjuangan. Saya memang mengambil khusus sejarah di Kota Semarang dan beberapa daerah lain,” ujar Dian Marta Wijayanti guru SD Negeri Sampangan 1 UPTD Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (30/11/2016).
Menurut mantan asesor EGRA USAID Prioritas tersebut, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan juga mengaplikasikan ruh sejarah bangsanya. “Globalisasi yang tak bisa dibendung seperti ini, mengharuskan suatu bangsa untuk tidak melupakan pengorbanan pahlawan kita,” ujar mahasiswi Dikdas PGSD Pascasarjana Unnes tersebut.
Angkat Kearifan Lokal
Oleh karena itu, kata dia, Komik Sepekan ini hadir sebagai komik edukatif yang bisa memudahkan pembelajaran di jenjang SD maupun MI sebagai media pembelajaran inovatif berbasis kearifan lokal.
Penulis buku Siapkah Saya Menjadi Guru SD Revolusioner tersebut menjelaskan, bahwa buku bahan ajar tersebut digunakannya untuk mengikuti lomba yang digelar Dinas Pendidikan Kota Semarang. “Buku ini adalah sebuah bahan ajar sederhana berbasis komik, khususnya untuk pembelajaran IPS di kelas 5 SD dan MI,” papar wisudawan terbaik PGSD Unnes 2013 tersebut.
Desain gambar di komik ini, lanjut dia, sangat simpel karena dibuat oleh seorang guru yang tidak paham sama sekali dengan desain grafis. “Komik berupa gambar coretan crayon, yang kemudian discan melalui scanner, lalu sedikit diperhalus dengan photoscape,” papar dia.
Setelah siap, lanjut dia, barulah gambar-gambar itu disusun dalam microsoft word dan dilengkapi dengan perangkat lainnya. “Ini merupakan bagian dari kegiatan belajar membuat bahan ajar,” lanjut dia.
Awal pembuatannya, lanjut dia, saya menggambar sendiri tanpa bantuan komputer. “Hanya imajinasi saya terhadap beberapa ilustrasi gambar sejarah setelah kemerdekaan di beberapa daerah,” beber perempuan kelahiran Blora tersebut.
Dari beberapa sejarah, katanya, saya mengambil lima tema. “Pertama itu tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang, lalu Pertempuran 10 November di Surabaya, kemudian Peristiwa Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, dan terakhir tentang sejarah Palagan Ambarawa,” tandas ibu dari Sastra Nadira Iswara tersebut.
Selain komik, kata dia, sebenarnya ada satu lagi buku, yaitu buku petunjuk penggunaan komik tersebut untuk pegangan guru sebelum menerapkannya di kelas. “Komik ini sudah saya terapkan sendiri di kelas saya, di SD Sampangan 1, hasilnya memang memudahkan siswa. Saat saya praktikkan, hampir 80 persen siswa saya di kelas, ternyata masih banyak yang buta sejarah, terutama terkait dengan peristiwa bersejarah di Kota Semarang sendiri,” ujar Direktur Smarta School tersebut.
Nah dengan hadirnya buku ini, lanjut Dian, saya harap bisa mempermudah dan mengingatkan memori sejarah anak-anak tentang peristiwa besar. “Karena anak-anak suka dengan komik, karena praktis dan sederhana. Mereka seperti bermain, tapi hakikatnya belajar IPS dan mengingatkan sejarah masa lalu,” tandas dia.
Dari komik edukatif tersebut, menurut Dian, tidak hanya untuk diikutkan perlombaan. “Namun penulis berharap komik edukatif ini bisa berguna dan menanamkan nilai-nilai patriotisme,” pungkasnya. (HJN).