Oleh Despan Heryansyah
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII)
Terlepas dari pro kontra aksi umat Islam (baca beberapa organisasi Islam) pada 4 November lalu, satu hal yang patut di apresiasi adalah umat Islam nyatanya masih solid. Beberapa dari organisasi itu sebelumnya selalu berbeda pandangan dalam banyak hal (utamanya masalah fikih), namun saat menghadapi apa yang menurut mereka “ancaman” bersama, maka solidaritaspun muncul. Sesuatu yang patut dijaga dan dilestarikan, karena meskipun Indonesia adalah negara Pancasila, merawat ke-Islaman sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, jutru Islam sendiri tidak bisa dilepaskan dari NKRI.
Agama dan Demokrasi
Kenyataan di atas, juga menjelaskan dan membuktikan bagaimana hubungan demorkasi dan agama di Indonesia. Dalam sejarah kelahirannya di zaman Yunani kuno (polis), demokrasi tidaklah memiliki relevansi dengan agama. Bahkan di era modern ini, demokrasi kerap dipisahkan dari agama. Di beberapa negara Barat, sudah sejak lama mengembangkan negara sekuler, dengan pemisahan secara tegas antara agama dan negara yang termasuk pula di dalamnya agama dan demokrasi.
Meski masuk dengan cara yang tidak “lazim”, agama (khususnya Islam) di Indonesia memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Indonesia telah memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan agama. Namun tidak pula berarti Indonesia secara otomatis menjadi negara sekuler, bahkan agama tidak pernah lepas dari seluruh aktivitas masyarakat Indonesia. Meski tidak sebagai dasar formal seluruh kebijakan pemerintah, tetapi agama diyakini menjadi ruh dari setiap kebijakan tersebut. Demokrasi biasanya melahirkan liberalisme dan kapitalisme, namun tidak begitu halnya di Indonesia, ini semata-mata tidak lepas dari peran agama dalam memaknai demokrasi.
Dalam pandangan yang lebih lanjut, bahkan agama dijadikan sebagai timbangan mengenai prinsip apa dari demorkasi yang akan diterapkan. Apa yang menurut agama boleh atau “mubah” untuk dilakukan, maka ia diterima untuk kemudian dipraktekkan, namun apa yang bagi agama haram, secara otomatis masyarakat akan meninggalkannya. Kentalnya hubungan antara agama (Islam) dan demokrasi ini, setidaknya dapat dilihat dalam dua hal.
Pertama, dalam kebijakan yang akan diambil oleh negara. Ulama Islam tidak pernah absen untuk menilai semua kebijakan negara, apakah ia haram atau halal. Suatu kebijakan yang meskipun boleh secara yuridis, namun jika agama memandangnya sebagai apa yang diharamkan, maka negara tidak akan coba masuk ke ranah itu. Selalu ada keterlibatan ulama dalam menilai kebijakan yang akan diambil oleh negara. Dalam tataran ini, terlihat bagaimana meskipun Islam tidak dijadikan sebagai sistem resmi bernegara, namun ruh nya senantiasa hidup dalam kehidupan bernegara. Kebijakan yang bertentangan dengan kehendak agama, sudah barang tentu akan mendapatkan banyak penolakan.
Kedua, agama (Islam) sangat eksis dalam menentukan bagaimana moral para penganutnya. Salah satu inti dari doktrin agama adalah mengajarkan perbuatan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh (haram), sudah barang tentu ini sangat bermanfaat dalam merawat demokrasi di suatu negara. Demokrasi membutuhkan batasan moral agar kebebasan tidak kebablasan, sebaliknya agama membutuhkan peran demokrasi agar para pengikutnya bebas menjalankan ibadah. Dalam pengertian lain, agama berperan dalam demokrasi agar demokrasi yang dijalankan tetap berada pada penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tidak melewati batas.
Dalam dua kerangka di atas, maka kesadaran akan relasi agama dan demokrasi mutlak dibutuhkan. Demokrasi yang melanggar batas-batas agama, akan hancur dengan sendirinya. Oleh karena itu,dalam konteks Indonesia demokrasi tidak berada dalam ruang hampa, ia tetap berada dalam bingkai agama. Begitulah demokrasi Indonesia dijalankan.(*)