Oleh: Despan Heryansyah
Penulis merupakan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII
Demokrasi di negeri kita selalu saja menimbulkan problem, dengan dalih kesejahteraan rakyat berbagai sistem terus dicoba nyatanya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap tujuan negara. Demokrasi liberal yang coba diterapkan pasca kemerdekaan terbukti melahirkan kegaduhan politik dan berdampak pada keutuhan NKRI. Demokrasi terpimpin pun tidak jauh berbeda karena menjadikan presiden Soekarno penguasa tunggal yang otoriter. Melalui semangat anti orde lama, kemudian lahirlah orde baru dengan demokrasi Pancasilanya, sekilas memang tampak “menggoda” karena menjadikan hukum sebagai panglima, namun akhirnya hukum hanya membelenggu rakyat dalam penindasan. Lalu lahirlah era reformasi dengan berbagai konsekuensinya, era ini lahir dengan slogan segala yang berkaitan dengan orde baru adalah musuh, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan Alienasi, yaitu suatu kondisi dimana masyarakat tanpa nilai karena nilai lama telah dihapus sementara nilai baru belum terbentuk.
Bawaslu dan Kewenangan Ekstra
Untuk mewujudkan pemilu dan pilkada yang berintegritas, maka dibentuklah Bawaslu yaitu Badan Pengawas Pemilu, yang menurut UU No 10 Tahun 2016 diberikan kewenangan ekstra yaitu dapat memberkan sanksi administrasi kepada calon yang terbukti melakukan money politics. Sekilas klausa ini memang nampak progresif, kita telah “muak” dengan masifnya aktifitas money politics yang dilakukan oleh calon kepala daerah dalam pilkada, bahkan money politicsini merupakan sebab utama setiap kepala daerah yang terpilih melakukan korupsi, yang dalam istilah awam disebut mengembalikan modal. Oleh karena itu, kehadiran bawaslu dengan kewenangan barunya ini dianggap sebagai langkah-langkah yang progresif.
Namun dalam prakteknya, bukan tidak mungkin norma yang dianggap progresif ini akan menimbulkan masalah. Hal ini sangat mungkin untuk terajadi, mengingat pilkada adalah momentum politik dimana kepentingan dan kekuasaanlah yang dijadikan panglima, jika sudah begini, maka berbagai macam cara akan dihalalkan. Bawaslu tentunya akan berhadapan dengan elit-elit partai dengan berbagai konsekuensinya, sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang politikus sangat lihai tidak saja mendapatkan citra tapi juga mempengaruhi orang lain. Penulis melihat setidaknya ada dua masalah yang akan dihadapi oleh bawaslu dalam menjalankan kewenangan ekstra (berupa sanksi pembatalan pencalonan) tersebut.
Pertama, bawaslu akan kesulitan dalam menentukan apa saja yang dikategorikan sebagaimoney politics. Hal ini dikarenakan money politics telah dibungkus damikian rupa sehingga lepas dari jerat hukum. Jika money politics dimaknai sebagai penggunaan uang atau barang untuk merayu/mengajak orang lain agar memilih calon atau partai tertentu, tentu akan sangat kesulitan dalam proses pembuktiannya. Karena mengajak dan merayu bagaimanapun tidak dilarang, justru disitulah makna dari kampanye dan sosialisasi. Terlebih lagi, saat ini money politics telah dibungkus dalam bentuk sedekah atau santunan kepada anak yatim, panti jompo, atau pun orang miskin, jika demikian tentu tak akan ada larangan terhadap sedekah karena bagi calon kepala daerah hal ini membuktikan kepeduliannya terhadap masyarakat setempat.
Kedua, bawaslu ini bukanlah lembaga yudikatif, sehingga keputusan yang dikeluarkan sifatnya beshicking, oleh karena itu bagi pihak yang merasa dirugikan dapat melawan putusan tersebut dengan mengajukan permohonan kepada lembaga yudikatif, yang dalam hal ini UU mengamanatkan kepada MA (Mahkamah Agung). Jika dilihat lebih mendalam, maka akan timbul pertanyaan lalu dimana letak mengikatnya putusan Bawaslu, jika putusannya ini harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh MA? Putusan Bawaslu terkesan mubazir, karena daya ikatnya lemah. Apalagi jika putusan MA ternyata berbeda dengan putusan Bawaslu, maka profesionalitas Bawaslu akan dipertanyakan, dan yang pasti kegaduhan politik tidak dapat dihindarkan. Kita lihat saja Februari 2017 mendatang, akankah kebijakan ini akan berdampak positif bagi perkembangan demokrasi bangsa, atau sebaliknya memperpanjang rekam buruk demokrasi di Indonesia. (*).