Semarang, Harianjateng.com – Penelitian adalah konsep yang abstrak. Karena bersifat abstrak, terkadang kita susah memahaminya. Peraturan Kepala LIPI Nomor 2 Tahun 2014 tentang “Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti” mendefinisikan penelitian sebagai kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik simpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Definisi tersebut panjang dan bisa jadi kita pusing memahami. Berikut ini adalah penjelasan Prof. Irwan Abdullah, Ph,D, Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) ketika menjadi narasumber dalam kegiatan pra penelitian di Kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, 10 Januari 2017.
Menurut Irwan, penelitian adalah suatu usaha untuk menjelaskan hubungan satu dengan yang lain. Itu saja? “Contohnya adalah hubungan antara “Agama dan Radikalisme” , “hubungan antara curah hujan dengan vertilitas”, “usia dosen dengan usia mobil”. Penelitian tentang Hubungan antara curah hujan dengan tingkat kelahiran, maka semakin banyak hujan, mobilitas rendah, aktivitas di luar rumah berkurang, sehingga yang banyak adalah “aktivitas” di dalam rumah. Oleh karena itu, banyaknya curah hujan menyebabkan banyak anak,” beber lulusan doktor University of Amsterdam, Netherlands tersebut.
Penelitian tentang “hubungan antara usia dosen dengan usia mobil”, lanjut dia, menunjukkan bahwa semakin tua usia dosen maka usia mobil semakin muda. “Hal ini karena dosen tua sudah banyak mengumpulkan uang,” lanjut pria yang pernah menjadi Direktur Sekolah Pascasarjana UGM tersebut.
Pola hubungan dalam penelitian setidaknya memiliki 3 pola. “Pertama pola korelasi, kedua pola sebab akibat, dan ketiga pola afinitas. Pola korelasi ada yang bersifat positif ada juga yang bersifat negatif. Seperti “curah hujan” dengan “banyak anak” ini bersifat korelatif. Ada juga pola hubungan yang bersifat “sebab akibat” selain itu ada yang bersifat “afinitas” misalnya The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism nya Max Weber. Pola hubungan afinitas itu digambarkan seperti rela kereta api,” papar pakar Consumer Society dan Interreligious Studies tersebut.
Proses Berpikir Dalam proses penelitian sejatinya kita melakukan beberapa tahapan untuk dapat menggali data di lapangan. Tahapan yang harus dilalui tersebut merupakan “proses berpikir” peneliti yang secara praktis harus dilakukan yakni: (1) teori, (2) konsep, (3) variabel, (4) indikator, dan (5) data.
Sebagai contoh kita ingin menggali tentang “kemiskinan”, lanjut dia, maka kita tidak mungkin menanyakan secara langsung tentang kemiskinan tersebut. Misalnya, “di desa x yang termasuk miskin siapa saja?” atau “bapak orang miskin atau bukan?”.
“Demikian juga ketika penelitian tentang partisipasi, maka peneliti tidak diperkenankan bertanya langsung “apakah partisipasi pemilu di sini tinggi ?”. kita harus mem-break down konsep-konsep penelitian tersebut menjadi lebih operasional,” beber dia.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari teori. “Misalnya tentang radikalisme, teori yang digunakan adalah gerakan sosial maka misal teorinya Zald and McCarthy mendefiniskan gerakan sosial sebagai: “Serangkaian pendapat dan keyakinan dalam suatu masyarakat, yang mewakili suatu kepentingan bagi perubahan unsur-unsur tertentu struktur sosial dan/ atau perubahan cara distribusi dalam suatu masyarakat,” lanjut dia.
Definisi tersebut penting untuk menjelaskan bahwa ada 4 hal dalam radikalisme: (1) ideologi, (2) kelompok kepentingan, (3) perubahan struktural, dan (4) sistem distribusi.
Dari konsep tersebut kemudian diturunkan menjadi variabel yaitu meliputi: 1. Ideologi (Orientasi, sumber, ajaran) 2. Kelompok kepentingan (karakter kelompok, kepemimpinan, misi) 3. Struktur Sosial (pola relasi/ikatan, pengelompokan, dan stratifikasi) 4. Sistem Distribusi (pola distribusi, mekanisme, distribusi, akses)
“Jika radikalisme dikaitkan dengan agama, maka agama menjadi variabel intervening bukan variabel independen. Variabel independen radikalisme adalah ketimpangan global dan faktor historis antropologis dan sosiologis tentang: ketimpangan dalam infrastruktur, kultural, dan struktural,” ujar dia.
Jika dibuat rumusan penelitian, lanjut dia, maka akan muncul satu masalah (dalam penelitian masalah itu hanya satu) yakni “Mengapa agama menjadi faktor dominan dalam praktik dan wacana radikalisme?” dari masalah tersebut kemudian dirumuskan: 1. Bagaimana praktik dan wacana radikalisme berlangsung? 2. Bagaimana Agama berhubungan dengan radikalisme (causes, korelasi, Affinity?) 3. Bagaimana kondisi infrastruktural, kultural, dan struktural menjelaskan relasi agama dengan radikalisme
Rumusan masalah tersebut dibreak down dari pola pikir, kata dia, sehingga jika kita mampu membuat pola pikir penelitian langkah ke depannya menjadi lebih mudah. “Bab 1 sejatinya merupakan pengembangan dari proposal. Bab 2 merupakan setting lokasi. Penyusunan bab 3 jawaban atas rumusan masalah pertama, bab 4 merupakan rumusan masalah kedua, bab 5 merupakan rumusan masalah ketiga, dan bab 6 atau terakhir merupakan simpulan,” tutup dia.
Dalam kegiatan pra penelitian di Kantor Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang tersebut, hadir pula Dr Aji Sofanudin SPdI MSi peneliti Balitbang Semarang, serta sejumlah tamu undangan. (Red-HJ99/Hms).