Oleh: Mohammad Faisol Soleh
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, aktif dalam Forum Kajian dan Penulisan Hukum LEM FH UII)
Penegakan hukum merupakan ikhtiar menjadikan kebahagiaan sebagai sebuah ide menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh semua orang. Sebuah ide kebahagiaan tersebut diarahkan dalam usaha-usaha untuk menjunjungtinggi nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial, sehingga dapat terlaksana semestinya.
Layaknya suatu sistem, untuk mencapai ide kebahagiaan dalam masyarakat tentu dibutuhkan beberapa sub-sistem yang kolaboratif satu sama lain guna terwujudnya sistem yang sehat dalam mencapai tujuan bersama. Teori legal system juga telah mengajarkan bahwa suatu sistem hukum yang baik haruslah memenuhi unsur legal structure (aparat), legal substance (regulasi), dan legal culture (budaya masyarakat) yang keseluruhannya harus baik.
Keberadaan seluruh komponen sub-sistem hadir untuk bersama-sama saling menguatkan, saling membentengi, dan bahkan saling mengisi setiap kekurangan pada sub-sistem lain, inilah yang disebut sebagai sistem terpadu (integrated system).Kemudian muncul pertanyaan, apakah mungkin integrated system tersebut diwujudkan dalam dunia nyata penegakan hukum di Indonesia?
Fenomena kasus Pulomas setidaknya bisa menjadi pembelajaran dalam memahami konsep sistem diatas. Kasus pembunuhan sadis akhir tahun 2016 kemarin di Pulomas utara, Jakarta Timur menelan setidaknnya 6 orang meninggal dunia dari 5 orang lainnya selamat yang juga disekap di sebuah kamar mandi berukuran 2 x 1 meter. Aparat penegak hukum sempat dibuat kesulitan dalam menangani kasus tersebut, disebabkan motif kasus yang belum jelas, petunjuk yang minim, serta keterbatasan informasi yang didapat menjadi hambatan tersendiri. Kini kejadian pilu tersebut dibuat sedikit lega dengan diungkapnya beberapa orang oleh aparat Polisi yang diduga terlibat menjadi pelaku dalam kejadian naas tersebut.
Hampir sama dengan integrated system, penegakan hukum di Indonesia, khususnya bidang hukum pidana pada dasarnya juga menganut konsep sistem yang terintegrasi dalam penegakannya yang dikenal sebagai Integrated Criminal Justice System(ICJS). Barda Nawawi Ariefmenjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” atau ”sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”, yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem; yaitu : (1) kekuasaan ”penyidikan” oleh badan atau lembaga penyidik; (2) kekuasaan ”penuntutan” oleh badan atau lembaga penuntut umum; (3) kekuasaan ”mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana” oleh badan pengadilan; (4) kekuasaan ”pelaksanaan putusan atau pidana” oleh badan/aparat pelaksana atau eksekusi. Keempattahap sub-sistem itulah yang kemudian disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).
Tahapan demi tahapan memiliki perannya masing-masing, mulai penyidikan, penuntutan, putusan, hingga pelaksanaan putusan. Kasus Pulomas memang masih pada tahapan penyidikan, namun disinilah urgensinya. Peran aparat penyidik dalam menangani kasus dinilai sangat baik, hal ini karena langkah yang diambil oleh penyelidik dan penyidik (Polisi) agak sedikit berbeda, penegakan hukum yang langsug ditangani aparat Polisi pada kasus Pulomas dilaksanakan dengan menggunakan prinsip reward dan punishment. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengenai mekanisme tersebut dalam penanganan kasus Pulomas ini, dan tentu yang menjadi pembeda dengan penanganan kasus lainnya.
Membentuk iklim kompetisi dalam menangani kasus ini bagi para anggota Polisi yang bertugas memang menjadi ‘obat mujarab’ dalam menyelesaikan berbagai kasus dengan cepat, bahkan hasilnya tidak main-main, hanya dengan hitungan jam atau kurang dari 19 jam pelaku yang diduga berhasil terungkap dan ditemukan.
Di lain sisi, sebuah sistem terpadu hakikatnya telah terbentuk dari komitmen bersama para anggota Polisi dalam berkolaborasi bersama dengan yang lainnya guna menciptakan penegakan hukum yang jitu. Tanpa disadari, faktanya penyidik menganut dua prinsip sekaligus dalam menjalankan tugasnya, yakni prinsip reward dan punishment yang melahirkan kompetisi bagi para anggota penyelidik dan penyidik, serta prinsip kolaborasi bersama dalam mengungkap kasus-kasus yang terjadi.
Sekilas, memang kedua prinsip diatas dirasa bertententangan karena sifatnya yang menghendaki antara kepentingan individual atau kolektif. Namun, di sisi yang lain, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kedua prinsip tersebut dalam menciptakan sistem yang terpadu sebagaimana mestinya.
Fungsi individual menegaskan untuk senantiasa meningkatkan kemapuan dan kualitas dalam menjalankan tugas guna menjadi yang terbaik sebagai seorang anggota, sedang fungsi kolektif menjadikan setiap anggota penyelidik maupun penyidik yang bertugas mampu menjaga kualitas mereka masing-masing dengan terus mempertahankan jiwa kebersamaan antar anggota sehingga suatu struktur dapat kuat, kolaborasi kedua prinsip diatas kemudian penulis menyebut sebagai kolaborasi prinsip internal dan prinsip eksternal.
Urgensi tahapan penyidik memiliki peran vital yang menjadi akar dari baik dan buruknya tahapan selanjutnya, terlebih dalam ICJS merupakan tahapan awal sebelum dan menjadi penentu dari tiga rangkaian lainnya.Penegakan hukum pada kasus Pulomas dapat menjadi pembelajaran bagi penegakan sistem berbasis ICJS di Indonesia, terlebih dalam bidang regulasi (legal subtance) prinsip ICJS telah ‘mendarah daging’ pada beberapa peraturan hukum di Indonesia, seperti halnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sisi kesadaran masyarakat dalam kasus Pulomas ini juga patut dijadikan contoh, semakin banyak bantuan yang diberikan oleh masyarakat, keterangan dari saksi dan korban, serta berbagai tindakan lain (CCTV, perekam, video, dan sebagainya) guna mendukung kegiatan penegakan hukum menjadi cerminan baiknya budaya hukum masyarakat (legal culture) dalam kasus tersebut. Peran penyelidik dan penyidik dalam kasus tersebut tidak diragukan lagi, ‘jurus’ yang digunakan patut menjadi bahan pelajaran bagi arapat penegak hukum lain, sehingga patut kemudian menciptakan aparat penegak hukum (legal strucuture) yang kuat.
Terakhir, meski duka Pulomas masih terus ada, penegakan hukum yang menjadi ide kebahagiaan bagi masyarakat haruslah tetap berlanjut. Penegakan hukum sebagai upaya menjunjung tinggi nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sosial yang sepenuhnya diwujudkan dalam sebuah wadah sistem terpadu penegakan hukum menduduki peran penting yang harus diimplementasikan, sehingga terciptanya ‘karakter penegakan hukum Pulomas’ yang selanjutnya dan bahkan seterusnya. (*)